Musim Panas

1363 Words
Jalanan tampak lengang sejauh mata memandang. Matahari pagi seperti sengaja menyembunyikan diri, meski butiran embun perlahan menghilang seiring dengan waktu yang mulai beranjak. Langit terlihat gelap meski awan tidak tampak menghiasi. Rumah-rumah tingkat berbeton terlihat berjajar sepanjang jalan besar menuju pusat kota. Jendela satu persatu mulai disingkap, tidak banyak aktifitas dipagi ini. Musim panas harusnya membuat orang enggan beranjak dari rumah mereka. Rabiah merapikan tempat tidurnya sembari mendengarkan murattal dari smartphone nya. Aktifitasnya pagi ini, dia harus bergegas ke kampus. Jadwalnya pagi ini dimulai jam 8 pagi. Matanya menatap jam yang menempel didinding kamarnya, jam 06.15. Telinganya samar mendengar cipratan air. Bukan hanya dia yang punya jadwal pagi, bibirnya mengulum senyum. Hari ini sepertinya akan jadi hari yang sibuk. Dia harus menyiapkan bahan untuk mengumpulkan tugas akhir. Rabiah memasukkan satu persatu buku besar yang ada diatas meja didekat tempat tidurnya. Hari ini adalah jadwalnya untuk konsultasi dengan salah satu professor kampusnya untuk mengumpulkan nilai maksimal yang diinginkan standar kampus agar bisa mengikuti ujian kelulusan. Rabiah kuliah disalah satu universitas terbesar di Yordania melalui jalur beasiswa salah satu yayasan di Indonesia. Universitas Mu’tah, yang terletak di provinsi Al-Karak sekitar 120km dari arah selatan kota Amman, ibukota sekaligus pusat peradaban Yordania. Rabiah mengulum senyum mengingat bagaimana dia bisa terdampar disini. Kenapa Yordania? Itu pertanyaan Abi dan Uminya saat dia memutuskan memilih Yordania sebagai Negara tempatnya menimba ilmu, sementara ada banyak universitas Timur Tengah yang menawarkan beasiswa kala itu. Sederhana. Rabiah menyukai Mu’tah, amat menyukainya. Nama tempat ini selalu mengingatkannya pada perang mu’tah. Perang besar yang melibatkan 3000 tentara kaum muslimin melawan 200.000 pasukan tentara Romawi. Perang ini mensyahidkan 12 kaum muslimin, tiga diantaranya adalah panglima kaum muslimin yang ditunjuk oleh Rasulullah sendiri, Zaid bin Haritsa Radhiallahu ‘anhu, Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan Abdullah bin Rawahah radhiallu ‘anhu. Hingga tampuk kepemimpinan diambil “si pedang Allah” Khalid bin Walid. Dibawah kepemimpinannya, kaum muslimin berhasil memukul mundur pasukan Romawi yang saat itu dipimpin Heraklius. Semangat juang mereka dalam membela panji-panji islam sungguh selalu membuat hatinya basah. Mereka sama sekali tidak gentar ataupun ketakutan mendengar pasukan kaum kafir yang berkali-kali lipat jauhnya dari jumlah mereka. Tiga ribu melawan dua ratus ribu bukanlah jumlah yang seimbang, tapi disinilah kuasa Allah terjadi. Mereka tahu selama berpegang pada Islam, Allah akan memuliakan mereka, menang atau syahid, dan Allah sungguh membayar lunas pengorbanan mereka dengan surga. Rabiah menyukai semangat juang mereka. Dia selalu menjadikan kisah perjuangan para syuhada sebagai pemicu semangatnya saat menimba ilmu di Negeri orang. “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” Potongan salah satu ayat alQur’an dalam surah Al-Baqarah itu adalah janji Allah pada hambanya yang syahid. Rabiah menyapu sudut matanya yang basah, hal yang selalu terjadi saat dia teringat tentang sejarah kota ini. Matanya sekali lagi menyapu pemandangan didepannya lewat jendela kamarnya. Matahari mulai menampakkan diri. Bibir mungilnya bertasbih memuji kebesaran Rab-nya. Sebentar lagi dia akan menyelesaikan kuliahnya, dan akan meninggalkan tempat ini, tempat yang selalu membuatnya jatuh cinta. “Nak, umi tahu kamu menyukai tempat itu, tapi tempat ini lebih membutuhkanmu. Ilmu yang kamu dapatkan harus bermanfaat untuk kelangsungan umat. Apa kamu tidak kasihan melihat anak-anak yang tidak mengenal nabi mereka sendiri? Mereka asing dengan agamanya sendiri. Keberkahan ilmu bukan pada berapa banyak yang kamu dapatkan, tapi seberapa banyak manfaat yang kamu berikan.” Rabiah ingat pesan Uminya saat dia mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan studi disini. Uminya tidak menentang keinginannya, tapi dia ingin putrinya pulang dan mengabdi di desanya dulu. Rabiah tidak keberatan dengan permintaan Uminya, sama sekali tidak. Dia memang berniat mengabdi di kampungnya, Pernah sekali dia pulang dan sungguh terkejut saat menyadari bagaimana anak-anak sekarang asing dengan agama mereka sendiri. Hanya saja, dia merasa ilmu yang dia miliki masih kurang. Dia ingin meraup ilmu sebanyak mungkin sebelum pulang ke negaranya, Indonesia. Ketukan di pintu membuyarkan Rabiah dari kegundahannya. “Ya?” gumamnya sebagai jawaban. Pintu kamarnya terbuka dan tampaklah sesosok gadis mungil yang mengenakan hijab baby blue menatapnya penuh senyum. “Shoobakhul khoir yaa Rabiah.”1 “Shobakhunnuri yaa Aleesha.”2 Balas Rabiah lembut. “iftahinnafidhata litadhkhulassyamsu.”3 “Na’am.”4 “Habis nangis?” Rabiah tertawa mendengarnya. Dia tidak bisa menyembunyikan apapun dari sahabatnya ini. “Apa sejelas itu?” Alesha menunduk. “Wajah putihmu bersemburat kemerahan setiap kali menangis atau malu. Kenapa?” Rabiah berjalan dan duduk di kursi belajarnya. Wajahnya menatap sahabatnya dalam sendu. “Aku bakal kangen tempat ini Sha.” Pandangannya menerawang jauh kedepan. Memori tentang awal-awal kedatangannya ketempat ini berkelebat. Sungguh dia akan merindukan tempat ini. Perjuangan ke tempat ini tidak mudah. Ada banyak tangis dan tawa yang mengiringinya. “Istighfar Biah. Ilmu bisa didapat darimana saja, dan ingat kita tidak boleh menyukai sesuatu secara berlebihan. Orang-orang disana lebih membutuhkanmu, dan percayalah rencana Allah pasti yang terbaik.” Rabiah berdiri dan memeluk sahabatnya. Dia bersyukur memiliki sahabat yang selalu mengingatkannya saat dia lalai. Dia ingat salah satu sabda nabi yang mengatakan bahwa seseorang itu tergantung pada agama temannya, oleh karena itu, salah satu diantara kita hendaknya memperhatikan siapa yang kita jadikan teman. Ini adalah anugerah, dan Rabiah selalu bersyukur memiliki sahabat yang selalu mengingatkannya. “Terima kasih karena selalu mengingatkan,” gumamnya penuh syukur. Aleesha balas memeluk dan mengelus pelan punggung sahabatnya. “Kita ini saudara Biah, sudah seharusnya saling mengingatkan.” Aleesha melepaskan pelukan sahabatnya. “Sudah, sekarang kita sarapan setelah itu dhuha dan ngampus. Kuliah pagi juga?” Rabiah mengangguk. “Bagaimana dengan Aliyah?” “Dia berangkat duluan, katanya ada yang harus dicari.” Mereka hanya tinggal bertiga di rumah ini atau Rabiah lebih suka menyebutnya apartemen, karena ukurannya tidak besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi dengan dapur yang didapuk sebagai tempat makan. Rabiah sendiri di kamar, sementara Aleesha dengan Aliyah menempati kamar yang lebih besar. Mereka sudah saling mengenal sejak lama meski teman mereka Aliyah masih 1 tahun di kota ini. Rabiah mengenal Aleesha sejak pertama menginjakkan kaki di Mu’tah. Mereka sama-sama kuliah di Mu’tah, Rabiah mengambil fakultas Syariah fokus di Ushul Fiqh sementara Aleesha fokus di ushuluddin. Bibirnya sekali lagi mengumamkan tasbih memuji kebesaran Rab-nya, karena diberi kesempatan menimba ilmu di negeri orang yang jauh dari tanah kelahirannya. Suka duka sebagai anak rantau sudah mereka lalui bersama. Sungguh dia seharusnya bersyukur bisa menimba ilmu di salah satu Negeri yang diberkahi ini. “Lagi memikirkan apa?” Rabiah tersenyum tipis. “Lagi mengingat momen-momen kita pertama kali ke tempat ini,” Aleesha ikut tersenyum mendengarnya. “Itu momen bersejarah yang penuh perjuangan,” Rabiah mengangguk setuju. “Aku ingat saat pertama kali ke tempat ini, makanannya sungguh membuat lidah demonstrasi,” guraunya mengingat pertama kali ke tempat ini, yang paling mengganggunya adalah makanan. Negara ini minim rempah-rempah, tidak seperti di Indonesia, jadilah dia harus berusaha amat keras agar terbiasa dengannya, karena jika menurutkan seleranya, dia harus mengeluarkan biaya mahal untuk membelinya-sesuatu yang tidak mungkin dia lakukan. “Kau ingat saat pertama kali mencoba manshaf5?” Aleesha tertawa pelan. Bagaimana tidak? Lidah mereka tidak terbiasa dengan salah satu makanan khas Yordania itu dan ketika pertemuan dengan sesama mahasiswa, mereka harus berusaha keras, menekan agar wajah mereka tidak kelihatan menunjukkan protes saat teman mahasisiwa Yordania menyajikan Manshaf sebagai jamuan untuk menyambut mereka. “Saat wajahku seperti orang yang di marahi?” “Atau wajahku yang terlihat seperti menelan pil pahit?” Mereka berdua tersenyum lebar saat kenangan pertama kali ke tempat ini kembali menguar. Indah, mereka selalu mengingatnya sebagai momen pembelajaran untuk terus menempa diri dengan tantangan apapun yang menghadang. Pahit manis akan selalu menjadi warna bagi mereka yang ingin menimba ilmu. “Jangan sedih, dimanapun kita berada kewajiban untuk menuntut ilmu akan selau mengiringi, tidak peduli dimana tempatnya,” Rabiah mengangguk. “Semoga kita bisa tetap istiqomah. Aamin yaa robbal’alamiin,” “Aamiin,” Aleesha ikut mendo’akan. Rabiah mendesah, mencoba menekan kegelisahannya. Rasanya berat berpisah dengan tempat ini. Tempat yang penuh sejarah dan juga tangisan. 1. Selamat pagi 2. Selamat pagi juga 3. Bukalah jendelanya biar udara masuk 4. Ya 5. Hidangan tradisional khas Yordania yang dibuat dari daging domba yang dimasak dengan saus yang terbuat dari fermentasi yoghurt yang dikeringkan dan biasanya disajikan dengan nasi atau bulgur
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD