Bukan senyum manis yang diharapkan oleh Inez setelah Nuri menyampaikan tanggapannya. Sebelumnya Inez sangat mengharapkan komentar yang pedas sehingga dia bisa membalasnya kalau bisa dia akan membuat Nuri malu di depan rekan-rekan mereka semua.
“Aku tidak pernah berpikir aku rugi karena kau bisa datang lebih pagi. Aku justru khawatir mereka yang biasanya mengikutimu berbalik tidak suka bahkan meninggalkan dukungannya padamu,” jawab Inez membuat senyum Nuri berubah menjadi kekehan yang tidak dapat ditahan.
“Mengikutiku? Kau yakin mereka tidak akan suka? Sepertinya kau tidak kenal denganku, padahal sudah begitu lama kita berada di ruangan yang sama. Tapi terserah-lah. Itu urusanku, terima kasih sudah perhatian padaku,” jawab Nuri melanjutkan langkahnya menuju meja kerjanya.
Inez tahu dia tidak bisa melawan Nuri, bagaimanapun dia tidak bisa membantah ucapannya karena siapa pun mengenal Nuri sebagai karyawan yang selalu berhasil menjaring konsumen potensial hingga perusahaan mereka mendapatkan keuntungan.
Sementara di ruang pimpinan, Hans masih berdiri memperhatikan pintu yang sudah di tutup rapat oleh Nuri. Matanya nanar tidak menduga seorang pegawai bisa membuatnya tidak berkutik.
Dia adalah seorang pimpinan perusahaan yang seharusnya dihormati oleh pegawainya tapi apa yang terjadi? Hans justru seperti ditampar dengan kalimat yang keluar dari mulut pegawainya sendiri yang bernama Nuri.
Dengan mengangkat bahu berusaha tidak peduli, Hans segera menekan nomor Desi, agar menyiapkan berkas-berkas yang harus dia tanda tangani.
Wajah Nuri masih memperlihatkan suasana hatinya yang gondok bin mangkel karena sikap semena-mena Hans. Tapi apakah Hans melakukan kesalahan besar dengan tindakannya?
Bagaimana pun Nuri harus mengakui kalau Hans tidak melakukan kesalahan yang fatal. Siapa yang bisa menduga kalau rapat tersebut tidak jadi. Dia masih sempat melihat wajah jengkel dan kecewa yang tidak dapat di sembunyikan olehnya.
Kalau seorang Hans saja tidak bisa berkutik lalu bagaimana dengan dirinya? Dia hanya seorang pegawai yang hanya bisa patuh pada perintah atasan.
“Kak Nuri, ini laporan penjualan bulan ini. Kata Pak Ganjar, bisa di periksa dulu sebelum diserahkan pada Bu Anggie,” kata Alea.
Dengan memegang beberapa file, Alea menyerahkannya pada Nuri file yang ada di tangan kanannya sementara di tangan kirinya masih ada beberapa file yang belum dia serahkan pada yang berhak.
“Terima kasih, ya. Nanti aku serahkan pada Bu Anggie kalau sudah selesai,” jawab Nuri sebelum Alea menuju meja lainnya.
Seandainya saja dia boleh memiliki tambahan anak buah lagi di tim-nya, Nuri sangat ingin merektut Alea, tapi sayang, Ganjar sudah tidak bisa memberikan tambahan karena ada beberapa tim penjualan yang justru masih kekurangan tenaga marketing, salah satunya Inez walaupun berada di bagian yang berbeda.
Melihat laporan penjualan selama 3 bulan terakhir membuat Nuri tersenyum lebar. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana roman bahagia timses-nya.
Dia menyadari menjual hunian tidak seperti menjual kacang goreng ataupun makanan lainnya. Mereka harus pintar memberikan penjelasan dan juga bisa menilai siapa customer yang memang membutuhkan rumah dan apartement.
Selama ini mereka sudah bekerja keras dan Nuri bersyukur anggota tim-nya percaya dengan kerja keras mereka bisa mendapatkan hasil yang baik.
“Heh, senyum-senyum aja. Selamat ya. Kuartal pertama ini tim kalian kembali menjadi yang terbaik,” suara Ganjar menyapa telinga Nuri.
“Terima kasih, Pak. Saya gembira karena hasil kerja mereka mendapat hasil terbaik,” jawab Nuri bangga.
“Karena mereka mempunyai pimpinan yang bisa memberi mereka motivasi. Omong-omong kau sudah bertemu dengan Pak Hans?” kata Ganjar membuat alis Nuri naik.
“Bertemu dengan Pak Hans? Untuk apa ya, Pak. Saya tidak mendapat informasi apa-apa,” kata Nuri heran.
“Tidak apa-apa. Hanya sebagai peringatan saja. Kalau bertemu dengannya, sedikit mungkin kau menghindar,” saran Ganjar.
Sedikit mungkin menghindar? Bukankah selama ini hal tersebut yang selalu dia lakukan? Dan kenapa Ganjar memberinya peringatan tersebut?
Alismatanya yang sebelumnya hanya sebelah yang naik kini bukan lagi naik tetapi sudah membentuk garis lengkung dengan sedikit kerutan yang cantik.
“Apa ada masalah, Pak? Di kantor ini yang jarang bertemu dengan Pak Hans, mungkin hanya saya, jadi saya heran sekaligus tidak mengerti dengan ucapan Bapak. Apakah ada yang salah atau seseorang telah membuatnya marah?” tanya Nuri ingin tahu.
Nuri jelas ingin tahu karena pagi tadi dia meninggalkan Hans dalam keadaan marah dan hal tersebut berlaku untuk keduanya walaupun dirinya tidak bisa memperlihatkan kemarahannya secara terbuka.
Namun, Hans bukan lelaki bodoh sehingga dia sangat yakin kalau Hans mengerti di setiap kata yang dia ucapkan dan semuanya mengandung kemarahan yang telah dikemas dengan ketenangan yang bisa menipu.
“Kau benar. Seseorang sudah membuatnya marah dan aku tidak tahu siapa yang sudah melakukannya. Kalau laporan tersebut sudah kau setujui, serahkan pada Anggie,” kata Ganjar dengan mata menyelidik.
Bukan tanpa alasan dia langsung menuju meja Nuri begitu dia mendengar ada beberapa karyawan yang mendapat teguran dari Hans yang dilakukan di depan pegawai lain.
Selama ini Hans selalu marah dan menegur karyawan yang bermasalah dengan memberi perintah menghadapnya, tapi sejak siang jam istirahat selesai, setiap teguran berlaku saat itu juga bila Hans melihat kesalahan yang dibuat oleh pegawainya.
Di dalam hati Ganjar terselip kecurigaan bahwa yang membuat Hans bertindak di luar kebiasaannya adalah salah satu anak buahnya dan orangnya siapa lagi kalau bukan Nuri.
Selama ini dia selalu mengamati bagaimana Nuri dan Hans selalu memasang wajah perang setiap kali Nuri tidak bisa menghindar. Dan hari ini dia mendengar dari satpam di depan kalau Nuri datang lebih pagi dari biasanya. Tidak lama dari kedatangan Hans.
“Bagaimana kalau kau ke ruanganku sekarang. Aku perlu pendapatmu tentang Alea. Bukankah kau mau dia masuk ke tim-mu?” suara Ganjar kembali terdengar membuat wajah Nuri hampir terbelah karena senyumnya terlalu lebar.
“Hah? Bapak serius mempertimbangkan permintaan saya. Apa lagi yang bisa saya katakan selain ucapan terima kasih. Saya tahu, Bapak pasti menilai saya lebay. Tapi percayalah saya sangat serius.”
“Apa saya harus sekarang ke ruangan Bapak? Bapak lihat pekerjaan saya masih banyak yang belum selesai. Apa saya boleh menyelesaikan ini dulu?” kata Nuri dengan mata berbinar-binar.
“Selesaikan saja dulu karena aku juga harus menghadap Pak Hans,” beritahu Ganjar.
“Bapak mau ke ruangan bapak, apa ini berkaitan dengan ucapan bapak tadi?” tanya Nuri ragu-ragu yang membuat Ganjar mengerutkan alisnya.
“Aku tidak mau menuduhmu, tapi satu-satunya pegawaiku yang sering membuat Pak Hans naik darah adalah dirimu. Jadi, apakah benar?”
“Bagaimana kalau saya katakan tidak aka nada asap kalau tidak ada api?” tanya Nuri dengan mengedipkan mata.
“Yeah, setidaknya aku tidak salah saat berpikir seperti itu. Nuri, kalian tidak memiliki hubungan dekat sebagai pasangan kekasih, kan?”
“Tentu saja tidak pak, yang saya inginkan adalah menjadi istrinya dan bukan kekasihnya,” jawab Nuri tertawa.
“Bagaimana kalau doa-mu terkabul?”
“Kalau begitu antara musibah dan berkah,” jawab Nuri tanpa menjelaskan artinya karena siapa pun tahu siapa yang mendapat musibah dan berkah.
“Jangan terlalu mengumbar emosi. Pak Hans adalah pimpinan di perusahaan ini dan dia bisa melakukan apa pun perubahan di perusahaan ini dan kita sebagai pegawai tidak bisa berbuat apa-apa. Kau mungkin tidak peduli karena kau sudah memiliki segala-galanya, tapi bagaimana dengan yang lain?” pesan Ganjar setelah beberapa saat dia diam dengan mata tertuju pada Nuri.
“Saya mengerti, dan saya berjanji tidak akan membuat masalah dengannya,” janji Nuri yang hanya dianggukkan saja oleh Ganjar.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Ganjar meninggalkan meja Nuri karena ia langsung berjalan menuju lift yang akan membawanya ke kantor Hans.
Nuri masih memperhatikan Ganjar yang berjalan menjauh. Dia baru saja memikirkan Alea dan siapa yang bisa menduga kalau pikirannya membuat keinginannya terkabul.
Hanya satu yang masih mengganjal di hati Nuri, yaitu tentang Hans. Apa yang akan dilakukan oleh Hans bila mereka terus menerus saling bermusuhan sementara dirinya hanyalah pegawai di perusahaannya.