Berulang kali Nuri memperhatikan Hans yang masih membaca file yang kini berada di tangannya setelah Nuri menyerahkan padanya.
“Kenapa, matamu, sakit?” tegur Hans tanpa mengalihkan perhatiannya dari lembaran kertas di depannya.
Merusak selera. Padahal Nuri baru saja berniat mencari makanan yang ada di lemari Hans setelah pria itu memberikan kebebasan mengeksploitasi harta karun yang ada di rumahnya tersebut.
Apa sih susahnya bersikap ramah sama orang lain. Apakah karena dia adalah karyawannya sehingga Hans merasa tidak pantas beramah tamah padanya?
Wooi, aku ini manusia juga sama seperti dirimu, Kau memang seorang direktur tapi tidak begitu juga bersikap dengan seorang wanita.
Tapi…ada kesalahan besar yang terjadi saat ini. Nuri adalah karyawannya Hans, dia justru yang harus menjaga sikapnya kalau tidak mau dipecat. Bukankah peraturan seorang atasan tidak pernah salah?
Seandainya saja Hans mau bersikap ramah, lelaki itu sangat menarik. Nuri yakin kalau Hans adalah lelaki yang baik. Sayang dia terlalu sombong untuk turun dan menjejak bumi.
“Oh. Saya hanya mau memastikan kalau hasil kerja saja bisa diterima bapak dan tidak ada perbaikan,” jawab Nuri buru-buru.
Setelah rasa hausnya hilang, Nuri sudah bersiap-siap pulang. Sudah tidak ada lagi semangat untuk mencari apa pun yang bisa membuatnya kenyang. Lebih baik dia segera pulang dan mencari makanan di luar dari pada dia terus gerilya di lemari Hans.
Bagaimana pun Hans sudah mendapatkan hasil dari pekerjaan yang sudah dia lakukan setengah hari tadi. Dari roman wajahnya Nuri yakin kalau semuanya baik-baik saja.
“Tidak ada. Kau bekerja dengan baik dan konsentrasi sehingga aku sangat puas. Besok temui aku jam 7.30 di ruanganku,” beritahu Hans.
“Tujuh tiga puluh? Maaf, setahu saya jam kerja itu dimulai dari jam 8.30 sampai jam 16.30. Apa saya lembur se-jam?”
“Ternyata kamu wanita yang penuh perhitungan. Benar. Kau lembur 1 jam. Jadi jangan terlambat kalau kau mau mendapat bayaran.”
Nuri terdiam. Tidak ada maksud di dalam hatinya untuk perhitungan, selama ini dia bahkan tidak pernah memperhitungkan apakah dia lembur atau tidak.
Selama bekerja Nuri seringkali pulang malam apa bila dia belum menyeselaikan pekerjaannya meskipun dia bisa melakukannya besok pagi.
Dalam diamnya Nuri berpikir kalau dia tidak seharusnya menantang lelaki nomor satu di Dwi Bagaskara Development Tbk. Dia yakin dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Hans, lelaki itu bisa melakukan apa pun yang dia inginkan, termasuk membuatnya lembur.
“Saya mengerti. Karena berkas yang bapak perlukan sudah bapak terima, saya permisi.”
Ucapan Nuri yang terdengar mengalah membuat Hans yang baru selesai membaca hasil kerjanya balik memandang lalu memasukkan lembaran kertas ke dalam file yang dibawa Nuri.
Dengan sebelah tangannya dia meletakkan berkas tersebut di atas meja sementara matanya terus mengawasi Nuri sebagai satu-satunya karyawan yang paling berani menentangnya.
Hans tidak pernah mengerti mengapa ayahnya melarang dia bertindak tegas pada Nuri sementara semua orang sudah mengetahui kalau Nuri kadang berbuat seenaknya.
“Silahkan. Ingat jam 7.30 tidak boleh lebih atau kau harus menerima akibat dari keterlambatan tersebut,” ujar Hans mengingatkan.
“Baik Pak. Saya permisi, Selamat Sore.”
“Sore.”
Wajah Nuri begitu lega karena dia sudah keluar dari apartemen Hans yang membuat dia tidak nyaman.
Nuri sudah berada di lantai bawah apartemen yang dihuni Hans yang merupakan area pertokoan dan restoran.
Baru saja dia berniat masuk ke dalam restoran siap saji, telinganya yang selalu dapat mendengar suara ponselnya menghentikan langkah kakinya dan memilih berdiri agak ke sudut untuk menghindari pengunjung restoran yang memiliki niat sama seperti dirinya. Menikmati makanan untuk menghindari kelaparan.
Mencari tempat yang aman dan tidak mengganggu lalu lalang pengunjung restoran, Nuri mengeluarkan ponsel yang ada di kantong jasnya. Sebuah nama terlihat di layar ponselnya membuatnya mengerenyit. Karena yang menelepon adalah Irma, ibunya sendiri.
“Iya Mak,” sahut Nuri.
“Eneng udah sampe mana? Udah pulang belon?” suara ibunya terdengar jelas di telinga Nuri.
“Udah. Nuri udah pulang. Tadi ngenterin berkas ke rumahnya boss dulu.”
“Eneng ke rumah boss sama siapa? Sendirian?”
“Iya, Mak, Tapi ini juga udah mau pulang. Ada apaan, tumben emak telepon Nuri jam segini,” tnya Nuri heran.
Setahunya ibunya baru akan menelepon dirinya kalau sudah melewati jam 7 malam dia belum pulang, tapi sekarang, waktu Magrib saja belum tiba.
“Engga apa-apa. Emak pengen tanya aja tumben udah mau Magerib, Enur belum juga sampe rumah,” jawab Irma.
“Ya udah, Enur hati-hati bawa mobilnya ya,” pesan Irma pada Nuri yang hanya bisa tersenyum.
“Iya, Mak, Tapi…Nuri sepertinya mau Sholat dulu, Mak, tanggung udah masuk waktu Magrib,” jawab Nuri yang melihat jam di pergelangan tangannya.
“Iya. Pokoknya Enur hati-hati ya.”
Setelah mengucapkan pesannya, Irma meletakkan gagang telepon ke tempatnya lagi sementara di ruang tamu suaminya sedang berbicara serius dengan lelaki yang terlihat sangat asing.
Irma tidak mengerti mengapa lelaki setengah baya yang begitu gagah dan mendapat pengawalan sering datang menemui suaminya, Aris.
Irma bukan wanita yang bisa ikut campur dalam pembicaraan mereka, tetapi suaminya juga sampai saat ini tidak pernah mengatakan secara rinci apa saja yang mereka bicarakan.
“Maunya si Om itu apaan, ya. Kenapa perasaan aye kagak enak ngeliatnya. Semoga Bang Aris mau ngomong ntar,” ucap Irma pelan.
Di ruang tamu yang lebih mirip dengan paseban luas, Aris sedang menerima tamu seorang lelaki gagah yang usianya lebih tua darinya. Sikap tamunya yang berwibawa dan terpelajar membuat Aris ragu-ragu dengan tawaran yang diberikan lelaki itu.
“Saya minta maaf kalau belum bisa memberikan jawaban pada Bapak. Kami hanya orang biasa, saya khawatir nantinya tidak cocok dengan kehidupan Tuan sekeluarga,” ujar Aris.
“Tidak ada yang orang biasa di dunia ini Pak Aris. Kita semua adalah sama. Sama-sama mahluk ciptaan Tuhan. Saya yakin Nuri adalah pilihan yang tepat.”
“Pak Gatot terlalu memuji sementara saya tahu kalau bapak belum pernah berkenalan dengan putri saya,” sahut Aris tidak enak.
Sekilas terlihat senyuman di bibir lelaki yang bernama Gatot. Saat ini dia tidak bisa mengatakan kalau dirinya sudah mengenal anak gadis keluarga Aris Sanjaya. Dia khawatir kalau dia mengatakan sekarang bisa menimbulkan salah paham yang tidak pada tempatnya.
“Pak Aris tidak perlu khawatir. Saat saya memilih Nuri sebagai bagian keluarga saya, maka semuanya sudah saya perhitungkan dengan baik,” jawab Gatot.
“Terima kasih atas tawaran bapak, tapi maaf kalau saya belum bisa memberikan jawaban pada bapak,” sahut Aris.
Aris belum mengenal Gatot jadi tidak mungkin baginya menerima lamaran pria itu untuk putrinya. Apakah Nuri sudah tidak laku lagi sehingga dia terburu-buru menerima lamaran dari seorang lelaki yang usianya saja lebih tua dari usia dirinya.
“Kalau saya boleh tahu, apa alasan Pak Aris menolaknya,” cecar Gatot tidak kenal menyerah.
“Sebenarnya saya dan keluarga belum mengenal bapak jadi, bagaimana mungkin saya menyerahkan putri saya. Nuri adalah harta saya yang paling berharga dari seluruh kekayaan yang saya miliki.”
“Kebahagiaan Nuri adalah kebahagiaan terbesar saya dan istri saya. Saya akan menyerahkan apa saja agar putri saya bahagia.”
“Saya mengerti dan saya tidak akan memaksa Pak Aris untuk bertindak buru-buru. Bapak bisa mengatakan pada Nuri secara pelan-pelan. Semoga setelah bapak dan keluarga bicara pada Nuri, nanti keputusannya akan berubah,” ujar Gatot.
“Kalau begitu saya permisi, semoga saja nanti keputusan Pak Aris yang menolak lamaran saya akan berubah,” kata Gatot mulai bangun dari duduknya.
“Sekali lagi saya minta maaf telah menolak tawaran Pak Gatot,” ujar Aris mengikuti Gatot keluar dari ruang tamu.
Mereka berjalan beriringan menuju mobil mewah Gatot dimana sudah berdiri seorang pengawal yang bergerak cepat membuka pintu mobil untuknya.
“Selamat sore Pak Aris. Sekali lagi, kalau bapak berubah pikiran, Pak Aris bisa menghubungi saya di kartu nama yang pernah saya berikan. Masih menyimpannya, kan?”
“Masih Pak. Kartu nama Pak Gatot masih saya simpan. Saya akan menghubungi Pak Gatot kalau nantinya ada perubahan,” jawab Aris sebelum mobil Gatot bergerak.
Lambaian tangan diberikan oleh Gatot yang dibalas Aris dengan lambaian walaupun tidak bersemangat seperti yang dilakukan oleh Gatot.