Awas Darah Tinggi

1269 Words
Nuri berjalan meninggalkan kantor Hans dengan langkahnya yang tenang. Tidak terburu-buru dan juga tidak perlahan membuat Hans memandangnya seperti orang pesakitan. Di dalam hatinya dia sibuk mengomel. Sejak kapan dia yang merupakan seorang direktur utama perusahaan pengembang paling terkenal di bumi Nusantara ini ditinggalkan begitu saja oleh karyawannya. Karyawan yang sejak awal pertemuan mereka sudah berani melawannya walaupun Nuri melakukannya tidak secara langsung. Tidak pernah terlintas sedikitpun di benak Hans ada karyawan yang tidak peduli padanya sementara karyawan wanita lainnya begitu terpesona dan memandangnya dengan mata tidak berkedip seolah-olah dirinya adalah hidangan paling lezat yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Nuri justru baru memandangnya begitu dia menegurnya. Itupun dia lakukan tanpa ada minat sama sekali. Sudah seringkali Hans menerima sikap wanita yang berpura-pura acuh dan tidak peduli padanya, tetapi diam-diam berusaha menarik perhatiannya, tetapi Nuri…gadis itu tidak pernah melakukannya, yang ada dia selalu menghindarinya seolah-olah dia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang harus dihindari. “Sebelum kau menutup pintu, aku ingin kau menyiapkan presentasi rencana pembangunan cluster mewah yang berada di perbatasan Jakarta Timur. Setelah selesai kau bisa membawanya kembali ke sini. Aku harus memeriksanya kembali karena kita akan melakukan presentasi bersama di depan para pemegang saham,” perintah Hans menghentikan langkah Nuri. “Bapak yakin mau melakukannya bersama saya?” tanya Nuri ragu-ragu begitu dia berbalik dan berhadapan dengan Hans yang kini berjalan mendekatinya. “Kenapa? Kau punya masalah dengan saya?” tanya Hans dengan mata menyelidik. “Eh engga Pak. Saya justru khawatir kalau bapak yang terganggu sama saya,” jawab Nuri berusaha menyelesaikan pembicaraan mereka. Tidak ingin membuang waktu, Nuri langsung mengerjakan tugas yang diberikan Hans padanya setelah mendapatkan berkas yang diberikan Desi padanya. Dalam hati Nuri berpikir kalau Desi adalah wanita yang memiliki kesabaran yang sangat tinggi, terutama dengan bos seperti Hans.  “Mba Nuri, sudah waktunya istirahat, Mba Nuri ga mau makan siang dulu,” tegur Alea yang sudah berdiri di depan mejanya. “Engga. Kalau ga keberatan beliin roti pisang keju 2 sama lemon tea ya. Ini uangnya,” jawab Nuri mengulurkan uang pecahan ratusan ribu pada Alea. “Cuma itu aja Mba. Ga ada yang lainnya?” tanya Alea. “Kenapa? Kebanyakan ya,” jawab Nuri tertawa. Alea tidak menjawab dengan kata-kata karena dia memilih tertawa untuk menanggapi komentar Nuri. Belum lama Alea pergi, kembali terdengar teguran dari suara lelaki yang membuat Nuri tanpa ragu memperlihatkan wajah kesalnya, karena orang tersebut adalah salah satu rekan kerjanya yaitu Sanusi. Nuri tidak tahu kenapa setiap kali dia bicara dengan Sanusi, semua orang langsung berhenti dan ikut mendengarkan obrolan mereka. Seperti yang terjadi kali ini. “Eh, ngapain masih ngoprek gawean. Kalo mao demenan ma jangan ama gawean. Mao abang kenalin ama gacoan abang kaga?” tanya Sanusi lagi membuat suara-suara tawa kembali terdengar. “”Nanggung Bang. Emang abang yakin punya gacoan, bukannya yang abang punya cuman gebetan,” jawab Nuri tertawa. “Lah, jangan salah Neng, kalo gebetan buat abang, gacoan baru buat Eneng,” sahut Sanusi masih berusaha mengenalkan temannya pada Nuri. “Au ah kaga danta. Udah sonoh, aye lagi banyak gawean, ntar kalo ga selesai, abang yang aye salahin ye,”  jawab Nuri berusaha menghalau pengganggu nomor satu bagi dia yang ada di kantornya. “Jadi kaga mao dikenalin nih?” tanya Sanusi lagi masih berusaha mengajak Nuri keluar. “Kaga. Udah sonoh pergi!” usirnya membuat wajah Sanusi bersedih. Ekspresi palsu yang sering kali membuat Nuri salah paham. Setidaknya pada awal dia mengenal Sanusi. Senyum masih menghiasi wajah Nuri setelah Sanusi pergi. Entah sampai kapan obrolan mereka tidak akan menimbulkan kehebohan. Mereka memang sama-sama orang Betawi dan mereka menyukai cara mereka bicara walaupun menimbulkan tawa karena Sanusi selalu bicara dengan nada yang cukup keras. Pekerjaan di depannya sudah selesai setengahnya saat Alea datang dengan kantong kertas berwarna coklat berasal dari salah satu toko kue yang cukup terkenal. “Mba, roti sama minumannya aku letakkan di sini ya,” kata Alea pada Nuri yang masih menatap layar komputernya. “Iya. Eh, kok uangnya masih utuh? Sebentar Lea, itu habisnya berapa?” tanya Nuri heran karena uang yang dia berikan masih utuh. “Tadi dibeliin sama Pak Hans, Mba, jadi uangnya masih utuh,” jawab Alea malu. “Emangnya kamu ketemu sama bos?” tanya Nuri sementara tangannya terulur mengambil minuman yang sudah diletakkan Alea di atas mejanya. Cukup aman dari komputernya. “He eh. Aku juga ga tau kalau Pak Hans sudah ada di sana,” jawab Alea. “Oh, terima kasih ya,” jawab Nuri. Bekerja sambil menikmati makanan tidak membuat Nuri terganggu, terbukti dia bisa menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.  “Akhirnya kerjaan gue selesai juga,” katanya dalam hati sambil merenggangkan kedua lengannya. “Memangnya kerjaan kamu ditunggu Pak Hans, ya? Memangnya kamu sekarang menangani perencanaan?” tanya Indri ingin tahu. “Hah? Maksud Mba gimana?” tanya Nuri heran. “Ya aneh aja. Kamu itu kan marketing, tapi kenapa ngerjain tugas yang harusnya dilakukan Ines,” jawab Indri melirik rekan kerjanya yang selalu ketus pada Nuri. “Ooh, aku ga tau Mba kalau pekerjaan ini harusnya dilakukan oleh Ines. Tapi bukannya Ines udah setuju waktu ditawari Pak Ganjar untuk menjadi leader marketing luar Jawa?” tanya Nuri dengan kening berkerut. Nuri yang pada awalnya merasa bersalah karena sudah melakukan pekerjaan orang lain berbalik heran. Kenapa Ines yang sudah melepaskan pekerjaannya masih menginginkan pekerjaannya yang lama. Masih jelas dalam ingatan Nuri saat Ines langsung mengambil tawaran dan promosi yang diberikan Ganjar padanya setelah Nuri menolaknya karena dia tidak mungkin memimpin bagian pemasaran di wilayah yang tidak dia ketahui. “Kamu tahu apa sih. Memangnya kamu bagian HRD yang tahu segalanya? Atau kamu sudah dapat bocoran dari bos? Bagaimana kamu bisa dapat bocorannya?” kata Indri menuduh membuat Nuri tidak menyukainya. Dia memang tidak pernah akur dengan Hans, tetapi bila seorang pegawai seperti dirinya berbicara dan menuduhnya dengan cara tidak sopan, bukan tipikal Nuri. “Aku heran kenapa Mba Indri bicara seperti itu. Maaf aku sama sekali tidak menyukainya,” sahut Nuri mulai bangun dari kursinya. “Mau kemana?” tegur Indri pada Nuri yang sudah meninggalkan mejanya. “Ke kantor bos, kenapa? Kalian khawatir aku mengatakan bagaimana kalian bicara tentang hubungan kami?” tanya Nuri menantang. “Barengsek! Awas kamu!” ancam Indri karena Nuri mengejeknya dengan setiap kata yang dia ucapkan. Indri dan Ines tidak mengira kalau Nuri mengingat jabatan yang dipegang oleh Ines sekarang. Sebelumnya Indri sangat marah pada Ines karena melepaskan pekerjaan sebagai perencana hanya untuk menjadi pimpinan bagian marketing karena dia tergoda dengan bonus yang dia terima. Sayang, Ines terlalu yakin dengan dirinya yang tidak memiliki kemampuan untuk menjadi penjual. Ines adalah karyawan yang terbiasa melakukan pekerjaan yang diperintahkan, bukan pekerjaan yang harus dilakukan berdasarkan inisiatif dan ide agar bisa mendapatkan keuntungan yang besar, berbeda dengan Nuri yang merupakan tenaga ahli pemasaran. Terbukti, dirinya bersama dengan anak buahnya, mereka selalu berhasil mendapatkan bonus yang cukup tinggi. Dengan file yang ada di tanggannya, Nuri berjalan menuju lift menuju lantai 11. Dia bukan wanita yang akan menunggu waktu deadline bila dia bisa menyelesaikan lebih cepat. “Hey, mau ketemu Bos?” tanya Desi pada Nuri yang kini sudah berdiri di depannya. “He eh. Bos ada Bu?” tanya Nuri pada Desi. “Bos baru ninggalin kantornya. Bagaimana kalau kamu bawa ke apartemennya? Bukannya besok kalian harus presentasi bersama-sama,” saran Desi membuat Nuri mendadak linglung. “Saya ke rumah bos? Engga ah. Ibu tahu sendiri bagaimana bos sama saya,” jawab Nuri mencoba mengelak. Nuri tidak akan bisa membayangkan apa saja yang akan terjadi bila dia menemui Hans di rumahnya. Yang pasti dia tidak akan bisa membiarkan bosnya itu bicara kasar dan membuatnya tersinggung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD