10. Menjadi Lelaki Egois

1436 Words
10 Shireen sangat ingin bersendawa, namun dia tahu diri untuk tidak melakukan hal itu di tempat umum. Terlebih di restoran yang mewah seperti ini. Es krimnya baru saja tandas, air mineral di botol masih tersisa sepertiga. Dia menatap Gyandra yang masih makan dengan santai. Mungkin dia terbiasa makan makanan enak jadi tidak selahap Shireen, atau mungkin karena Shireen yang telah mengeluarkan banyak energi karena menangis tadi, yang membuatnya jadi mudah lapar? “Hm, besok setelah foto prewedding, pilih cincin sama mama ya,” ucap Gyandra. “Lho, abang enggak ikut?” tanya Shireen. Gyandra menggeleng pelan. “Ada kerjaan,” tuturnya sambil mengambil handuk khusus dan menyeka sudut bibirnya. Dia ada temu janji dengan dokter spesialis jantung yang merupakan salah satu sepupu dari ibunya. Dia harus mengecek secara keseluruhan tentang kondisinya, hal yang rutin dilakukan setiap bulannya. Jika memang kondisinya tak terlalu baik biasanya dia akan menginap satu sampai dua hari di rumah sakit untuk memantau aktifitasnya. Dia berharap kondisi jantungnya baik-baik saja sehingga dia tak perlu menginap di rumah sakit. Hari sudah semakin malam, Gyandra pun mengajak Shireen pulang. Dia mengantar sampai ke kostnya. “Nanti kalau senggang barang-barang kamu dibereskan ya, pindahkan ke rumah kita saja,” ucap Gyandra membuat perut Shireen terasa mencelos ketika mengucap kata, ‘rumah kita.’ Seolah dia pun sudah menjadi pemilik dari rumah tersebut. “Barang-barang aku sedikit bang, kalau kasur dan lemari juga meja punya ibu kost,” ucap Shireen. “Oh lebih mudah kalau gitu ya,” tukas Gyandra. “Ya sudah kamu masuk, sudah malam. Besok pagi aku jemput di sini ya,” imbuhnya. “Terima kasih ya Bang atas hari ini, dan atas segalanya,” ucap Shireen menatap mata hitam milik calon suaminya itu. “Iya sama-sama, jangan terlalu dipikirkan tentang apa yang terjadi hari ini ya, lepaskan saja.” “Iya Bang, hati-hati di jalan ya,” tutur Shireen seraya mengulurkan tangannya, Gyandra membalas menjabat tangan Shireen yang langsung dikecup punggung tangannya. Gyandra masih tak terbiasa dengan hal ini, namun dia mulai melemaskan tangannya agar tidak canggung. Gyandra pun masuk mobil setelah memastikan Shireen naik ke kamarnya. Setelah itu dia melajukan mobil tersebut, sesekali melihat punggung tangannya, masih terasa lembut bibir Shireen yang mengecup bagian itu dengan takzim. Bagaimana jika bibir itu mendarat di atas bibirnya? “Astaga mikir apa sih?” tukas Gyandra sambil menggeleng dan menertawakan kebodohannya sendiri. Mungkin masih butuh waktu lama untuk mereka sampai di tahap itu. Terlebih mereka menikah karena suatu tujuan. *** Pagi sekali Shireen pun dijemput Gyandra. Syukurlah karena kekenyangan semalam, dia bisa langsung tertidur dengan pulas sehingga matanya tidak menghitam di pagi hari ini. Tak butuh waktu lama untuk tim merias wajah Shireen, dia pun tampak luwes bergaya seperti arahan fotografer. Setelah tiga kali ganti pakaian, acara foto untuk prewedding pun selesai. Shireen dijemput oleh sopir Arumi bersama dengan Arumi yang akan mengajaknya menuju toko perhiasan untuk membeli cincin nikah. Dia sudah mengantongi ukuran jari Gyandra sehingga tak sulit untuk mencarikannya nanti. Arumi menatap Gyandra dengan tatapan sedih ketika putranya itu melajukan mobil berpisah dengannya. “Kenapa Ma?” tanya Shireen ke pada calon ibu mertuanya yang terus menatap mobil Gyandra menjauh. “Enggak, mama hanya lihat mobilnya saja, bagaimana hari ini? Capek banget ya?” tanya Arumi, dia melihat anak rambut Shireen yang terurai, dengan lembut dia merapikannya, meletakkan di belakang telinga Shireen. Perlakuannya benar-benar menunjukkan bahwa dia tulus menerima Shireen sebagai menantunya, mungkin bibit rasa sayang sudah mulai bertunas di hatinya untuk Shireen. *** Gyandra melajukan mobil menuju rumah sakit tempatnya biasa control jantungnya. Seorang pria tinggi berkaca mata memasukkan kedua tangan ke saku snellinya, menyambutnya dengan menatap iba pada sepupunya. Pria berusia matang itu memaksakan senyumnya. “Kenapa mas? Senyumnya jelek banget,” gurau Gyandra. Pria itu merangkul sepupunya dan berjalan melewati lorong rumah sakit menuju ruang periksa. “Tante bilang kamu mau nikah, mas bahkan sudah dapat undangannya,” ucap pria yang memakai name tag bertuliskan Adnan. “Iya aku juga kan mau berkeluarga seperti mas Adnan, punya banyak anak yang lucu-lucu, bahkan anak pertama mas sudah kuliah kan tahun ini?” Adnan menarik napas panjang, rambutnya mulai ditumbuhi uban namun tak banyak. “Kamu kan tahu kondisi kamu?” “Mas yang bilang kalau aku berhak berkeluarga,” ucap Gyandra. Adnan tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Dua puluh lima tahun lalu, ketika Gyandra lahir dengan kelainan jantung bawaan, hampir seluruh keluarga bersedih akan hal itu. Adnan yang masih kuliah tahun kedua kedokteran pun memutuskan untuk menjadi dokter spesialis jantung, terlebih ketika kuliah kedokteran dia mendapat sumbangan biaya dari keluarga Bima, ayah Gyandra. Karena itu dia ingin membalas budinya menjadi dokter spesialis jantung. “Kita periksa dulu ya,” ucap Adnan sambil membuka pintu ruang periksa. Gyandra menjalani serangkaian pemeriksaan rutinnya. Dengan cukup tenang dia menjalaninya karena sudah terbiasa melakukan hal ini. Hari kian malam, apakah Shireen sudah mendapatkan cincin yang pas untuknya? Entahlah. Gyandra bahkan tak memegang ponselnya selama pemeriksaan panjang itu. Gyandra kemudian duduk di kursi yang dibatasi meja menghadap saudara sepupunya itu, Adnan membaca grafik hasil pemeriksaan dengan seksama. “Semuanya tampak bagus, kamu rutin kan minum obatnya?” tanya Adnan. “Tentu,” tutur Gyandra. Sebagai penderita penyakit jantung lemah atau biasa disebut kardiomiopati, Gyandra sangat tahu bahwa resiko terburuk yang mengincarnya adalah kondisi gagal jantung. “Jika ... hanya jika kondisinya terus memburuk, kita harus percepat pencarian transplantasi jantung ya. Kamu sudah mau menikah, sudah dewasa, enggak ada hal yang perlu ditutupi lagi,” tutur Adnan. “Berkas permintaan juga kan sudah lama ditaruh Mas, tapi memang belum ada donor yang cocok,” kekeh Gyandra membuat Adnan menatapnya dengan pandangan perih. “Jangan menyerah, buktinya selama dua puluh lima tahun ini kamu bisa melewatinya kan?” tutur Adnan pada akhirnya. “Ya, aku kuat kan mas?” kekeh Gyandra. “Kamu tahu Gy, pada kondisi jantung yang normal pun saat melakukan hubungan suami istri, detak jantung akan berpacu cukup cepat, terlebih jika kalian melakukannya dengan gerakan cepat. karena itu sangat mengkhawatirkan, jadi mas harap kamu melakukannya dengan perlahan, jangan terlalu terburu-buru, jika bisa usahakan posisi istri kamu selalu di atas tanpa terlalu menekan tubuh kamu terutama di d**a,” ungkap Adnan. “Ehm, iya,” tutur Gyandra yang daun telinganya memerah seketika. “Lakukan pemanasan lebih dahulu, jika jantung kamu sudah terasa siap, baru lanjutkan. Jika enggak siap, sebaiknya jangan. Dan Mas tambah resep obat untuk kamu minum sebelum mulai melakukan hubungan seksual ya,” tuturnya. “Iya.” Gyandra sesungguhnya merasa sungkan membahas hal seperti ini, namun dia juga tahu hanya Adnan yang dapat dipercaya dan sangat mengenal kondisinya melebihi dirinya sendiri. “Dia sudah tahu kalau kamu punya sakit jantung kan?” tanya Adnan membuat Gyandra mengatupkan bibirnya dan menggeleng. Adnan mengempaskan punggung ke sandaran kursi dan menatap Gyandra dengan pandangan tak mengerti. “GY! Kamu gila?” tanya Adnan. “Dia harus tahu kondisi kamu lho, agar dia juga siap jika sesuatu terjadi, dia harus tahu apa yang harus dia lakukan jika ternyata sesuatu yang buruk menyerang.” “Ya nanti aku kasih tahu, tapi enggak sekarang,” ucap Gyandra pelan. “Kamu takut dia meninggalkan kamu? Membatalkan pernikahan?” tanya Adnan. “Bukan seperti itu, tapi dia sudah memiliki beban berat, aku enggak mau nambah bebannya lagi. it’s oke mas, aku bisa handle kok, mama dan papa juga sepakat denganku,” ucap Gyandra. “Gy, kamu mau jadi laki-laki egois?” “Sekali aja Mas, tolong. Sekali aja, aku mau jadi orang paling egois, aku juga enggak mau disayangi karena kasihan, aku enggak mau ... menambah beban orang lain,” tutur Gyandra. Entah kenapa matanya memanas lalu jamnya mulai menunjukkan aktifitas jantungnya yang cukup tinggi? “Oke, relaks relaks,” ujar Adnan, dia sepertinya terpancing emosi hingga membuat sepupunya tidak tenang. Dia mengaku salah. Gyandra menenangkan dirinya, mengatur napasnya yang sempat tersengal tadi karena luapan emosinya. “Sudah baik-baik saja?” tanya Adnan dengan pandangan bersalah. “Ya, enggak apa-apa, masih dalam batas aman,” ucap Gyandra. “Mas ... hanya bisa mendukung kamu Gy, semoga pilihan kamu benar dan kamu bahagia. Sejak kamu bayi, salah satu impian terbesar mas itu melihat kamu bahagia,” ucap Adnan. Gyandra tersenyum dan mengangguk. Dia tahu itu, semua yang menyayanginya pun menginginkan hal itu, namun pandangan iba dari mereka membuat Gyandra merasa terbebani. Dia tak mau melihat mata bersinar Shireen menatapnya dengan pandangan iba seperti yang lain, seperti mereka yang tahu dengan kondisinya. Karena itu dia ingin merahasiakannya, dia ingin setidaknya di depan Shireen, dia menjadi laki-laki normal seutuhnya! Lelaki yang bisa melindunginya, bukan lelaki yang harus dilindungi olehnya! *** Note : Maafin author jika seandainya kondisi penyakit Gyandranya kurang relevan. Karena ilmu author yang cetek :’(
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD