18. Satu Kecupan

1714 Words
“Abang berangkat duluan ya,” tutur Gyandra pada Shireen yang menyalami tangannya dengan mencium punggung tangan itu. Shireen mendongak setelah mengecup punggung tangan sang suami yang berdiri di hadapannya, lalu Gyandra mengecup keningnya. Membuat Shireen tersenyum tipis. “Kenapa?” tanya Gyandra karena Shireen hanya terdiam saja. “Enggak,” jawab Shireen salah tingkah. Teringat ciuman semalam yang entah mengapa membuat jantungnya berdesir? Seolah ada pasir yang turun dari jantung bagian atas menuju perutnya. Menimbulkan rasa yang menggelitik. Gyandra memajukan wajahnya mendekat ke telinga Shireen. “Mau cium?” tanyanya membuat wajah Shireen tersipu. “Diam berarti setuju?” tutur Gyandra. Shireen hanya tersenyum, mengapa dia seperti anak sekolah yang tengah kasmaran? Gyandra menangkup kedua pipi istrinya dan memajukan wajahnya, aroma tubuh Gyandra terhirup indera penciuman Shireen, wanginya membuat dia betah berada di dekatnya. Shireen memejamkan mata, Gyandra mengecup bibirnya beberapa detik lalu menghisapnya perlahan, Shireen membalas kecupan itu. Lalu mereka saling melepaskan diri. Gyandra melihat jam tangannya, syukurlah tanda hati itu tidak muncul “Sudah ya, abang bisa terlambat,” tutur Gyandra. “Iya, hati-hati ya, Bang. Setelah ini adek berangkat,” ucap Shireen. “Kamu juga hati-hati bawa motornya,” ucap Gyandra. Shireen mengiyakan, mengantar sang suami sampai depan pintu. Gyandra kemudian mengemudikan mobilnya keluar dari pagar rumah itu. Shireen menutup pintu dan masuk ke dalam. Dia langsung ke kamar untuk bersiap berangkat kerja. Kini motornya dipakai lagi setelah beberapa hari ini dia selalu diantar jemput oleh suaminya. Shireen melewati toko roti yang sering memberinya diskon itu. Rasanya sudah cukup lama dia tak membelinya. Dia pun memarkirkan motor di sisi toko, lalu melenggang masuk. Tampak mamang penjual roti itu menatapnya dari atas ke bawah. “Wah nyonya besar,” godanya membuat Shireen mendengus. “Nyonya? Wasainya marganya?” ucap Shireen seolah merapal mantra. “Kamu nanyeaaa?” tanya Mamang membuat Shireen tergelak. “Mang, beli roti,” ucap Shireen. “Ya ke toko roti mah beli roti atuh, masa beli baut?” “Idih si mamang pagi-pagi udah sensi,” racau Shireen. “Roti apa? Tinggal pilih semua ada,” ucap mamang itu menyerahkan baki berwarna putih, lalu dia meletakkan pencapit di atasnya. “Oke, dipilih dulu,” ucap Shireen. “Bagaimana kabar neng?” “Baik, Mang,” jawab Shireen sambil fokus mengambil cukup banyak roti yang akan dia bagikan untuk para karyawan. “Syukurlah kalau baik-baik aja atuh,” jawab Mamang. “Mamang bagaimana kabarnya?” tanya Shireen balik. “Yah seperti yang dilihat, baik,” ucap si Mamang. Cukup lama Shireen berbincang dengan Mamang lalu dia membayar roti yang dia ambil hingga memenuhi satu kantung besar. Kemudian dia pun melajukan motor matic nya ke kantor yang telah menghidupinya selama ini. Di depan resepsionist Shireen mengangkat tas rotinya, dia mengambil beberapa untuk dirinya dan Ayana, juga karyawan yang bekerja di lantai atas. “Sisanya bagikan ya, makasih,” ucap Shireen. “Wah makasih banyak Mbak, cocok untuk sarapan,” kekeh resepsionist itu. Shireen pun mengangguk dan tersenyum. Dia menuju lantai atas, dengan tangga khusus yang terbuat dari besi. Mendorong pintu kayu, mengedarkan ke sekeliling ruangan. Sudah lengkap. Memang di lantai atas hanya ada beberapa karyawan perempuan saja. Karena karyawan yang banyak itu justru yang bekerja di bagian produksi. “Sarapan,” ujar Shireen membagikan roti itu satu persatu. “Wih traktiran nih,” kekeh Ayana. “Yoi, dimakan ya,” ujar Shireen, lalu dia duduk di kursinya. Sambil menunggu layar komputer menyala, dia pun memakan satu roti miliknya. Ayana menghampirinya sambil membuka plastik roti itu. “Kayaknya ada yang happy?” tebak Ayana. “Biasa aja,” kekeh Shireen dengan wajah bersemu. “Hmmm, enggak biasa itu sih, pipi kamu kayak pakai blush on,” cebik Ayana. Shireen mengusap kedua pipinya. “Kita sudah selangkah lebih maju,” bisik Shireen. “Oiya?” tanya Ayana. “Kita sudah ciuman,” ucap Shireen malu-malu. “Wahh selamat! Kemajuan, eh tapi kan kamu mana mau ciuman sama orang yang enggak kamu suka. Apa itu berarti kamu mulai menyukainya?” tanya Ayana sambil menggigit rotinya. “Sepertinya, enggak sulit suka sama dia sih, dia baik banget, act of service, dia royal dan ganteng, siapa yang enggak tahan sama cobaan ini?” “Kayaknya aku pun kalau jadi kamu akan cepat move on deh kalau disuguhkan orang kayak gitu setiap hari.” “Ya kan?” “Iya, jadi sebentar lagi dong aku punya keponakan?” tanya Ayana. “Yaa itu sih enggak tahu, semalam harusnya jadi tuh tapi aku datang bulan. Kacau deh,” rutuk Shireen. “Ciyee yang kecewa,” goda Ayana. “Semoga saat ke luar negeri nanti sudah selesai deh,” ujar Shireen yang diaminkan oleh Ayana. Ayana kemudian kembali ke meja kerjanya, dia sesekali melirik ke arah Shireen yang tampak tenang dalam bekerja. Dia cukup senang Shireen bisa melupakan kesakitannya dikhianati. Bahkan mereka tak pernah mencari tahu kabar Steffani dan Danna lagi. Sementara itu di kediaman Danna, pria itu hanya bisa tertunduk lesu melihat isi dompetnya. Di perusahaan tempatnya bekerja melarang suami istri bekerja dalam satu tempat. Karenanya Steffani mengalah dan resign, namun sampai sekarang dia belum mendapatkan pekerjaan. Gaji Danna sudah terpakai untuk rumah dan juga memberi pada orang tuanya. Kini Steffani hanya bisa bermuram durja, barang-barang di dapur dia lempar. Tak ada lagi beras untuk di masak, apa lagi lauk. “Aku capek!!” ujar Steffani. “Mengapa kita jadi melarat seperti ini???” jeritnya. Danna terduduk di lantai sambil bersandar dengan wajah lelah. “Aku juga capek! Aku sudah bekerja, sengaja ambil lembur tapi semua uangnya habis enggak bersisa! Kamu enggak pandai mengelola keuangan!” “Aku yang enggak pandai kamu bilang? Kamu kasih hanya seperempat gaji kamu untuk kebutuhan kita sebulan, makan, sabun cuci, sabun mandi, alat kebersihan! Masih untung kamu bisa makan setiap hari!” “Ya terus? Kamu kan tahu keuangan aku seperti apa?! Aku harus bayar cicilan rumah, kasih orang tua aku! Adek aku!” “Harusnya kamu utamain kebutuhan kita dulu! Baru kasih orang tua kamu! Adik kamu! Ini gajian masih setengah bulan lagi tapi sudah enggak ada yang bisa kita makan!” “Ya makanya kamu cari kerja!!” ujar Danna dengan nada tinggi. “Kamu pikir selama ini aku ngapain hah!! Aku cari kerja, lamar sana sini tapi enggak ada hasil!” “Harusnya kamu enggak ngerayu aku dulu! Aku nyesel nikah sama kamu Steff,” ucap Danna, cukup pelan namun jelas melukai hati Steffani yang kini menahan tangisnya. “Kamu bangsatt Danna!” ucapnya sambil meninggalkan Danna menuju kamar. Danna pun berdiri, diambil jaketnya, sebaiknya dia segera bekerja dari pada di rumah terus-terusan bertengkar dengan istrinya. Sepanjang jalan dia hanya bisa melamun, mengapa dia begitu bodohnya tega mengkhianati Shireen yang sangat mencintainya? Yang baik padanya, wanita ceria yang lembut dan tak pernah meninggikan suaranya. Wanita yang menjaga kehormatannya. Mengapa dia harus menjadi seorang b******n yang tega menyelingkuhinya hanya demi hasrat sesaat? Mungkin jika dia menikah dengan Shireen tak akan seperti ini kehidupannya. Dia mencoba menyalahkan semuanya, Steffani mau pun orang tuanya yang tak memberi restu karena Shireen tak memiliki orang tua. Dan dia paling menyesali dirinya sendiri yang telah menyakiti Shireen sebegitu hebatnya. Kini Shireen sudah bahagia dengan pria kaya yang mempersuntingnya. Sementara dia hidup dengan kemuraman. Itu lah karma instan yang harus dia bayar. Entah sampai kapan? *** “Ghania, saya pergi dulu ya, mungkin enggak kembali ke kantor lagi,” tutur Gyandra ketika berdiri di depan meja sekretarisnya. “Baik, Mas. Sudah tidak ada sesuatu yang urgent kok. Tapi kalau boleh tahu Mas ke mana sih? Kayaknya rutin ya?” tutur Ghania. “Ada hal yang enggak bisa diceritakan, kalau ada apa-apa kamu chat saja ya,” ucap Gyandra yang diangguki oleh Ghania, kemudian dia pergi meninggalkan lantai tempatnya bekerja menuju rumah sakit. Dia harus melakukan control rutin penyakit jantungnya agar bisa meminimalisir gejalanya. Seperti biasa, Adnan menyambutnya di dekat ruang pemeriksaan. Dia tersenyum melihat wajah pengantin baru yang tampak merona itu. Membuat pucatnya tersamarkan. Adnan menggodanya beberapa kali membuat Gyandra menyerah untuk tak menceritakan apa yang terjadi hingga Adnan benar-benar tergelak dengan kesialan sepupunya itu yang harus melewatkan malam pertamanya. Setelah melakukan sejumlah pemeriksaan, Adnan pun mendapatkan hasilnya dan membacakan di depan sepupunya itu. “Sejauh ini semuanya baik, masih dalam batas normal, nanti saat bulan madu obatnya jangan lupa dibawa,” ucap Adnan. “Iya, benar aman kan? Kalau kami berhubungan?” tanya Gyandra. “Aman seharusnya, jangan terlalu ekstreem geraknya, nikmati saja pelan-pelan. Saya tahu biasanya jika akan mencapai klimaks pasti rasanya akan tergesa-gesa, namun kamu harus mengontrolnya,” tukas Adnan membuat Gyandra mengatupkan bibirnya. Dia memang harus mendengar penjelasannya demi kebaikannya dan Shireen. Penjelasan dari kakak sepupunya ini cukup mudah dimengerti, dia pun pamit pada dokter spesialis jantung itu untuk kembali ke rumah. Dia sangat lelah dan mengantuk. Dia ingin istirahat, terlebih dia cukup merindukan Shireen, sang istri yang sangat menggemaskan baginya. Cukup malam Gyandra tiba di rumah, Shireen ternyata masih menunggunya di depan televisi. Senyum lebarnya tercetak jelas ketika Gyandra masuk ke dalam. “Kok belum tidur?” tanya Gyandra. Shireen berdiri dan berjalan riang menghampirinya. Dia berdiri dengan jarak cukup dekat dari sang suami. “Nunggu abang,” jawab Shireen. “Sudah makan malam kan?” “Sudah. Abang sudah?” “Sudah tadi di rumah sa-eh maksudnya di rumah makan,” ralat Gyandra. Shireen kemudian menyalami sang suami, namun Gyandra tak mengecupnya seperti yang pagi tadi dilakukan membuat Shireen sedikit bertanya-tanya. “Abang mandi dulu ya, bau keringat,” ucap Gyandra seolah membaca pikiran Shireen. Shireen hanya mengangguk dan kembali duduk di sofa ruang televisi. Ada tontonan yang menarik harinya, sebuah film dari tayangan box office. Gyandra sudah memakai pakaian santai dan duduk di samping Shireen, dia mengulurkan tangannya. “Sini,” tutur Gyandra menelusup ke balik punggung Shireen. Shireen merebahkan kepala di bahu sang suami, aroma harum dari tubuh suaminya menyeruak, membuatnya tenang dan nyaman. Shireen bahkan tak malu memeluknya, lalu dia mengecup pipi Gyandra membuat Gyandra menoleh dan tersenyum padanya. “Kenapa?” tanyanya dengan suara parau. “Enggak kenapa-kenapa,” jawab Shireen pelan. Gyandra menangkup dagu sang istri membuat wajah Shireen mendongak, lalu dia mengecup bibir Shireen dan melepas kecupannya. “Manis,” ucap Gyandra. Shireen memajukan bibirnya sebal. “Lagi,” cicitnya. Gyandra tersenyum miring dan kembali mengecup bibir sang istri. Kali ini lebih lama dari sebelumnya membuat hubungan keduanya semakin erat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD