chapter 11

4085 Words
Kepulan asap dari dua cangkir berisikan teh, menemani dua sahabat yang sedang mengobrol dibalkon. "Jadi, gimana lo sama dia?" Dion menunjuk dengan dagunya seorang gadis yang sedang menonton film dikamarnya. "Ya gitu. Gue udah enggak ada niatan pengen ngelepas karena ternyata dari awal gue udah keiket sama dia. Asal lo tahu aja, gue itu pernah ketemu sama dia, dan..." Leo tiba-tiba melirik Dion dengan sengit. "Lo tahu, kont*l! Lo udah tahu kalau sebenernya gue kenal Naraya, kan?!" "Ya, gue emang tahu." Dion menjawab dengan santai. "Udah inget lo?" "Ya! Dia itu cewek jutek yang gue tunjukin ke elo waktu dilapangan!" Dion mengangguk. "Tahu." Leo rasanya ingin mengacak-ngacak wajah santai Dion. Si cenayang itu sudah tahu dari awal jika Naya adalah gadis yang sama dengan gadis yang Leo kejar-kejar demi mengetahui namanya, tetapi diam saja dan tidak bilang pada Leo. Sahabat macam apa itu? Kampret. "Kalau lo aja ngenalin dia, kenapa gue sama sekali gak ngenalin dia pas pertama ketemu?" Leo menggaruk dahinya sendiri dengan mimik bingung. "Gue juga gak inget kalau gue nolong dia dari kejahilannya Sesil. Apa iya gue nolongin cewek jutek? Apa alasannya?" "Mungkin lo udah melakukan sesuatu, makanya tuhan gak ngijinin lo inget sama Naya." Dion main pergi saja setelah mengatakan kalimat yang menurut Leo sangat ambigu, sehingga membuatnya tambah bingung. Apa maksud Dion? Emangnya apa yang udah gue perbuat dimasa lalu? *** Leo duduk disofa sambil menatap layar TV yang sedang menayangkan gosip-gosip receh dari selebriti yang kebanyakan hanya mendompleng popularitas tanpa ada prestasi didalamnya. Masih jam setengah tujuh pagi, dan Leo tidak tahu ingin melakukan apa. Maka dari itu tontonan gosip menjadi pilihannya walau terpaksa. "Pagi, Kak." Leo melirik Naya yang baru saja turun mengenakan seragam batik khas sekolahnya. Tiba-tiba Leo menjadi rindu memakai seragam, rindu menjahili adik-adik kelasnya, rindu nongkrong lama-lama dikantin, dan rindu 'ehem-ehem' di UKS. k*****t. Wahai anak-anak yang pengen cepet lulus, coba pikir lagi. Sekolah tuh masa-masa paling enak. Setelah lo lulus, lo bakal bengong sendiri dan ngerasa nyesel karena seragam lo udah gak bisa dipake lagi buat seneng-seneng dengan embel-embel 'pelajar'. Leo mendramatsir keinginannya dalam hati. "Pagi, hari ini gue jemput ya pulangnya?" Tawar Leo sambil tersenyum. Naya hanya mengangguk pelan sambil mengoleskan selai pada roti dan menuangkan s**u vanilla-nya kedalam gelas. Ia membawa menu sarapannya itu menuju sofa yang diduduki Leo kemudian memakan sarapannya disana. Leo sudah mulai terbiasa dengan aroma s**u vanilla sehingga rasa mualnya sudah perlahan-lahan hilang. Atau bisa dikategorikan bahwa sekarang s**u vanilla adalah minuman wajibnya dikala malam dan dikali pagi. Siapa yang mampu membuat Leo meminum s**u? Tentu saja Naya. Gadis manis dimasa kini yang ternyata adalah dokter UKS jutek dimasa lampau. Leo merasa bersyukur karena ia bertemu lagi dengan Naya dalam kadaan gadis itu sudah berubah anggun. Walau diawal, Leo sempat ingin muntah truk gandeng ketika melihatnya. "Ngobrol sama Vano-Jingga, ah. Kira-kira di London jam berapa ya sekarang?" Leo mengambil tablet yang tergeletak dimeja kemudian men-klik aplikasi skype. Leo membiarkan Naya menghabiskan sarapannya dengan tenang dan ia sendiri ingin berbincang sebentar dengan dua sahabatnya yang sedang jauh dimata dekat dipantat itu. Beberapa detik berlalu, panggilan Leo belum diterima juga. Tetapi kemudian layar di-tablet Leo berubah memperlihatkan sebuah bantalan empuk berwarna putih seperti sofa atau kasur (?) entahlah. "Kayanya Jingga lagi tidur." Leo terkekeh ketika layar tablet-nya masih memperlihatkan hal yang sama. Tapi itu tidak bertahan lama, karena sekarang Leo bisa melihat bahwa Jingga sudah mengangkat ponselnya untuk diposisikan kepada wajahnya. Tapi, bukannya wajah Jingga yang Leo lihat, ia malah melihat adegan tidak senonoh. Jingga memegang ponsel dan sengaja memperlihatkan bibirnya yang sedang menempel tepat dibibir Vano. Mungkin bagi orang lain, mereka akan segera menjauhkan layarnya agar tidak melihat adegan tak senonoh itu, tapi berbeda dengan Leo. Ia terlihat baik-baik saja karena ya...emang salahnya dimana? "Kalian lagi kissing?" Sindir Leo kalem seolah-olah sedang bertanya; 'Dek, lagi maen petasan?'. Setelah mengatakan sindiran tak berbobot, Leo bisa melihat bahwa Vano terkejut dan langsung menghentikan aksinya itu. Oh, ternyata Vano gak tahu kalau ceweknya lagi pamer ke gue lewat skype. Anteng ya, Van... baguuus... "Dasar Jingga si jalang nakal! Bilang dulu ke Vano kalau lo lagi Skype-an sama gue. Liat noh cowok lo ampe berhenti gitu. Padahal mah lanjut aja. Gue disini nonton." Ledek Leo sambil pura-pura menghitung kancing baju tidurnya. Ngapa jadi kekancing-kancing sih, Yo? Lagi ujian Matematika, lo? Semvak. ["Ada apaan?"] Tanya Jingga malas-malasan. "Ampun...yang lagi enak, ampe gak mau diganggu!" Leo mencibir. Dari seberang sana, Leo melihat Jingga membisikan sesuatu pada Vano lalu gadis itu mencium pipi Vano sekilas dan setelah itu Vano pergi entah kemana. "Lo janjiin o*****e ya?" Tanya Leo v****r, membuat Jingga memutar bola matanya malas. "Seriusan, Jingga. lo jauh dari rumah kerjaannya m***m ama Vano, ya? Gelo sia." ["Siapa yang m***m, sih? Gue sama dia baru kissing lagi udah lamaaaaa banget. Bibir dia enak tahu. Ganggu aja lo, ah."] Kata Jingga yang sama idiotnya dengan Leo. "Masa sih enak? Mau nyobain ah..." ["Awas lo berani nyentuh Vano sejengkal aja, gue potong tytyd lo, bodo amat biar pendek dah tuh syukurin gak bisa ngelonin anak gadis orang lagi dan---hmmmp!"] ["Bahasa kamu, ah. Aku enggak suka."] Leo mencibir pada Vano yang baru saja datang membawa dua gelas s**u coklat lalu membekap mulut Jingga. Leo tahu kalau bekapan Vano itu longgar, Jingga-nya saja drama queen ala-ala! "Iya, tahu. Yang kisahnya udah happy ending-mah beda, iya tahu..." Leo pura-pura menjauhkan tablet-nya tanda protes pada kegiatan Vano-Jingga yang sekarang malah duduk disofa dengan Jingga yang meluk lengan Vano posesif dan cowok es itu minum s**u dengan santainya. Pasangan teridiot paling parah ke delapan versi on the spot. "Di London jam satu pagi kan, ya? Ngapain malem-malem kalian beduaan? Gue bener-bener harus lapor ke om Reno!" Dari sebrang sana Jingga memutar kedua bola matanya. ["Gue nungguin Vano yang lagi sibuk nugas dari dosen karena harus dikumpulin besok."] "Dan biar Vano gak ngantuk, lo ngasih bibir lo gitu? Dasar jalang cilik penggoda pangeran es gue! Gue pengen Vano gue yang dulu! Kembalikan Vano-ku!!!" ["Vano siapa? Vano elo? Ih kasian Cuma bisa ngayal karena Vano milik gue, wleee!!"] Jingga mengelus-ngelus dagu Vano sehingga Leo memasang wajah pura-pura ingin muntah. ["Gue emang lagi nugas, Yo."] Itu suara Vano. "Nugas sambil dikasih yang enak-enak, jadi gak kerasa kan ya? Gak kerasa, tiba-tiba udah dikasur aja." Leo makin gencar menggoda kedua sahabatnya itu. Jingga terlihat tampak tenang dan menyebalkan, sedangkan Vano, kalian bisa tebak sendiri ekpresi wajahnya jika membicarakan 'kasur dan Jingga'. Vano akan langsung tersinggung. ["Gue sayang dia. Gue gak sebrengsek itu main nidurin anak gadis orang. Gue bukan elo." Leo pura-pura memegang dadanya tanda tersinggung dengan ucapan Vano yang benar adanya. ["Udah ah. Gue mau lanjut cipokan sama Vano. Dadah, kacang kedelei basi!"] *** Gerbang sekolah yang baru saja dibuka oleh pak satpam, langsung diserbu para murid yang ingin cepat-cepat keluar dari gedung j*****m yang bernama sekolah. Begitu pula dua orang gadis yang berjalan santai keluar gerbang sambil menunggu jemputan masing-masing. "Dee, tadi pagi kak Leo skype-an sama kak Jingga juga kak Vano. Mereka lagi kissing tahu." Naya menyenggol lengan Dee dan sengaja membicarakan keromantisan Vano karena ingin melihat reaksinya. "Lo biar apa ngomong begini, Nay? Lo bener-bener ngebuat gue tambah patah." Ucap Dee lebay sambil memegang dadanya. "Nih, kretek-kretek gini, nih. Sakiiiit rasanya..." "Sama si Kelvin aja, ngapa." "NO!" Dee langsung menyilangkan kedua tangannya. "Jangan bandingin kak Vano-gue sama si cowok caper itu, Naya! Gue enggak suka." "Serah lo. Dasar fans gak ada kerjaan, bisanya Cuma doyan laki orang doang." "Monyet!" Dee langsung mencubit hidung Naya dengan gemas. Setelah itu mereka kembali diam-diaman sambil menunggu jemputan. Sampai Dee melihat seorang cowok memakai kaca mata, yang sepertinya melirik kearah mereka. "Nay, tuh orang ngeliatin kita bukan, sih?" Naya mengalihkan pandangannya kearah yang ditunjukan. Gadis itu langsung menegang ditempat. "Kak Axel..." "Lo kenal?" Dee melirik Naya dengan dahi berkerut. "Tampan. Siapa tadi namanya?" Sebelum Naya sempat menjawab, deheman dari seseorang mengalihkan perhatiannya. "Girls, gue panggil dari tadi kok gak ada yang nyaut?" "Kak Leo!!" Dee melambaikan tangannya pada Leo yang baru saja datang. Leo tersenyum pada Dee, tapi ia heran karena Naya hanya diam saja. "Kenapa, Dek? Lo liat apa?" Leo mencoba melirik pada arah yang ditatap Naya, dan tangannya sukses langsung terkepal. "Sial, ngapain tuh b*****t disini?!" "Kak," Naya menahan tangan Leo yang hendak melangkah menemui Axel. "Jangan," Naya menggeleng kemudian menunjukan dengan dagunya bahwa Axel ternyata ada disana karena menunggu Luna yang sedang membeli sesuatu dikafe depan sekolahnya. "Dia gak nyamperin lo, kan? Dia gak nyoba ngapa-ngapain lo, kan?" Leo menyentuh tangan Naya seolah-olah ingin memastikan bahwa tunangannya itu tidak lecet. "Gue gak papa. Lagian dia kan gak sengaja ada disini, Kak." "Ya, pokoknya kalau lo ketemu sama dia dimana aja, langsung teriak minta tolong ke warga, ya." Naya terkekeh pelan mendengar ucapan ngaur Leo. "Enggak gitu juga kali, Kak." "Ayo, deh kita pulang. Dee, kita duluan ya." Leo mengedipkan sebelah matanya pada Dee kemudian menggenggam tangan Naya dan membawa gadis itu menuju mobilnya. "Kak, ke supermarket dulu ya? Tetangga baru hari ini dateng, kan? Gue jadi ya mau masak buat tetangga baru." Leo mengangguk sambil tersenyum. "Siap, Nyonya." (*) Leo mendorong troli dengan sabar sambil terus mengikuti kemana kaki Naya melangkah. Jijik bahasanya, thor, ah.. Oke mari kita ganti menjadi; Mengikuti kemanapun jejak yang akan Naya buat. Idih najis si Author makin gak waras! Otak lu digadein buat beli cuangki bukan, Thor?? Mari lupakan sejenak, sodara-sodara, dan lanjut kepada Leo dan Naya yang sedang berbelanja. "Leo?" Leo yang sedang mendorong troli itu langsung menoleh karena ada seorang gadis yang memanggilnya. Eh, gadis bukan ya? Mari kita panggil 'cewek' saja. "Leo! Ini bener, elo!" Cewek asing yang entah datang darimana itu langsung mencium pipi kanan-kiri Leo, sehingga Naya yang awalnya sibuk memilih brokoli, langsung berhenti. "Gak sopan lo maen cium-cium." Leo menjauhkan tubuhnya dari cewek asing itu sambil memasang wajah tersinggung. "Helloooow, sejak kapan Leo gak doyan dicium cewek? Btw, gue Amira, lo lupa?" Cewek asing bernama Amira itu terkekeh, kemudian ia melirik pada Naya yang berdiri disebelah Leo dengan dandanan khas anak SMA baru pulang sekolah; kucel."Ini siapa?" Telunjuk Amira bertengker manis dengan tidak sopannya didepan hidung mungil Naya. Naya hanya diam tidak menjawab karena ia tahu bahwa cewek asing dengan dandanan yang serba dipaksakan ini pasti salah satu dari sekian banyak 'teman' Leo. Waktu itu Leo sempat mempringatkannya, kan? Dan Naya sudah siap jika hal seperti ini terjadi lagi. "Lo siapa dah? Kok bisa sama Leo?" "Dia punya nama dan namanya Naya, tunangan gue, calon istri gue." Leo meletakan tangannya dibahu Naya dengan santai. "What?!!" Amira berteriak lebay. "Apaan, Yo? Gue gak salah, kan? Lo, tunangan? Calon istri?" Leo mengangguk mantap. "Lo kan masih muda, Yo. Kenapa cepet-cepet?" "Why not? Pernah denger kata ustad gak, "kalau siap, halalkan. Kalau belum siap, tinggalkan". Nah, gue udah siap ngehalalin." Kata Leo bijak. "Lo sekarang doyan sama yang rata-rata kek triplek? Yaampun, Yo. Pikiran lo kemana sampe mau nikah sama cewek serba kecil ini? Tete-nya aja gak pas ditangan lo." Naya mengeratkan jaket yang ia pakai. Leo tahu jika gadis dalam pelukannya ini merasa tidak nyaman, dan Leo tidak suka jika Naya direndahkan karena ia juga merasa tidak nyaman. Mulut mantan-mantan teman tidurnya benar-benar tidak ada yang waras. "Kata-kata lo nyakitin dia. Mending lo pergi karena sampah aja lebih mulia dari mulut lo itu." Sindir Leo pedas. Amira tergelak sambil memandang Naya dengan tatapan merendahkan."Hei, cewek jalang! Pake pelet apa lo sampe Leo belain lo segitunya?!" "Wah, lo bener-bener gak bisa disabarin. Mulut lo bener-bener kaya t*i! Gak cebok berapa tahun tuh mulut?!" Leo menggeram marah karena ia ingin sekali menampar mulut tidak sopan dari Amira, tetapi ia bukan cowok alay yang main tangan pada perempuan. "Selamet karena lo cewek. Gue bener-bener pengen nampar lo karena lo udah nyakitin hati tunangan gue, sayangnya gue bukan banci yang ringan tangan!" Leo menarik tangan Naya supaya cepat-cepat pergi. Bahkan mereka meninggalkan belanjaan yang tertata rapi didalam troli. "Kak, belanjaan," Naya mencoba melepaskan cekalan tangan Leo, tetapi Leo tidak menggubrisnya. "Maaf, gara-gara gue nidurin jalang-jalang gak bener, lo kena imbasnya." Kata Leo tanpa melirik tetapi terus membawa Naya keluar dari supermarket. "Gue udah bilang, kan, kalau bakalan banyak cewek kaya gitu, lo masih tahan? Lo masih---" Naya memeluk Leo dari belakang sehingga cowok itu berhenti mengoceh. Leo menghela nafasnya kemudian membalikan tubuh Naya agar mereka bersitatap. "Lo bakal terluka. Bahkan ini, belum seberapa." Naya menggenggam tangan Leo kemudian ia taruh tangan itu diatas puncak kepalanya. "Ayo saling janji lo gak akan nyakitin gue dan gue gak akan sakit karena lo." Leo sukses bungkam. Yang ia tahu saat ini, ia tidak boleh meragukan kesungguhan Naya. (*) Gara-gara Leo meninggalkan belanjaannya di supermarket, jadilah sekarang Naya hanya memasak dengan bahan seadanya. Tak apa, tak apa. Naya membawa hasil masakannya itu menuju Leo yang sedang melipat kakinya diatas sofa sambil menonton kartun sikembar dari negara tetangga itu. "Gak usah lah, Dek. Segala ngasih makanan." Keluh Leo. "Jangan gitu, Kak. Kita harus baik sama tetangga. Bagi-bagi rezeki biar berkah." "Baik, bu ustadzah..." Naya terkekeh pelan. "Amin..." Ketika suara yang cukup ramai terdengar dari luar, Leo tidak ambil pusing tetapi Naya langsung berlari menuju pintu. Mau tak mau, Leo jadi mengikuti Naya. "Tetangga baru udah dateng, Kak!" Naya berteriak senang, sedangkan Leo hanya mengangguk lalu mengikuti Naya yang sudah berjalan dengan penuh senyum menuju rumah seberang yang baru saja didatangi oleh penghuni barunya. "Aih, si nenek gaul!" Leo terpekik kaget ketika tahu bahwa tetangga barunya adalah si nenek gaul yang tempo hari tak sengaja tertabak olehnya. Apa dunia sesempit ini? "Hallo, anak-anak manis? Aku penghuni baru disini. Salam kenal. Aku Miss Ella." Ella tersenyum pada Naya dan Leo. Nampaknya nenek gaul itu lupa pada Leo karena wajahnya tampak santai seperti orang yang sedang mengenalkan diri pada umumnya. Naya terkekeh pelan."Hallo, Miss. Saya Naya, kalau ini kak Leo." Naya menepuk tangan Leo supaya bersalaman dengan Ella. "Miss, kenal saya enggak?" Goda Leo. "Siapa, ya? Mantan? Gue gak punya mantan berondong." Leo benar-benar sakit perut. Walaupun gaul, Ella tetap nenek-nenek normal yang tidak bisa menghindari penyakit pikun. Dan, apa katanya? Mantan? Oh.. Leo masih waras untuk berpacaran dengan seorang nenek-nenek. "Kak," Naya menarik kaos Leo ketika seorang bocah laki-laki berwajah familliar keluar dari mobil. "Si c***l," Kata Naya pelan. Bocah yang baru keluar dari mobil itu hendak memanggil Ella, tetapi ia langsung terdiam dengan wajah tegang ketika melihat Naya dan Leo. "Oh, itu cucu aku. Namanya Jalaludin." Leo tertawa keras sehingga Naya langsung menginjak kakinya. Leo meringis tetapi ia tidak bisa menyembunyikan kekagetannya bahwa dunia memang sempit. "Panggil aja Udin. Ganteng, kan?" Kata Ella. Ganteng s**u lu lembek! Hina Leo dalam hati. "Sebelah dua belas sama Shawn mendes, lah, ya." Iya. Saking gantengnya, babi bopeng aja kalah. "Miss, itu kenapa atapnya geser?" Naya menunjuk atap rumah Ella dengan prihatin. "Belum dibenerin, Nay. Haduh, gesernya keliatan banget, ya? Bocor dong kalau ujan?" "Kak Leo bisa benerin kok, Miss. Iyakan, Kak?" Leo langsung mengerutkan dahinya tidak setuju. Helooow, dia bukan tukang bangunan, coy! "Kak," "Iya, saya bisa." Leo akhirnya tersenyum dipaksakan sambil berjalan menuju sudut rumah untuk mengambil tangga. "Udin, bantuin si ganteng ya. Sekalian kenalan supaya akrab." Udin mengangguk takut kemudian berjalan mendekati Leo yang siap memanjat tangga. "Kak, jangan apa-apain si Udin. Liat tuh dia ketakutan." Kata Naya setengah berbisik. "Oke." Leo mengangguk pada Naya. "Pegangin tangganya, Din!" Kata Leo setengah meledek. Setelah sampai diatap, ia mencoba membenarkan sebisanya. Tak lama, Udin ikut memanjat walau masih dengan wajah takut. "Tenang, Din. Tete lo aman kok. Masih takut gue pelintir lagi?" Udin terkekeh. "Bang, Maafin, ya." "Iye. Asal lo jangan songong kaya gitu lagi. Syukur Cuma gue pelintir. Kalau gue potong dedek lu? Kelar udah idup lu." "..." "Udin...Udin... namamu norak tapi terkenal. Udin yang pertama, namanya Awaludin, wkwk." Leo menyanyikan lagu fenomenal yang entah dinyanyikan oleh siapa itu dengan keras. Udin hanya menggaruk kepalanya malu-malu. "Kak, Naya buatin teh. Nanti diminum, ya." Teriak naya dari bawah. "Makasih, sayangku..." "Eleuh si abang." Sindir Udin. Leo hanya terkekeh. Ia benar-benar mengikuti apa kata Naya tentang ia tidak boleh mengerjai Udin lagi. Dan juga sejak kapan Leo peduli pada tetangga baru sampai mau membenarkan atap? Leo tidak pernah melakukannya. Never. Sadar enggak sadar, hidup gue sedikit-sedikit lebih tertata semenjak ada lo. *** Tok! Tok! Leo melirik jam didinding sambil menggeram. Sepertinya orang yang mengetuk pintu itu tidak punya sopan santun karena bertamu pada jam sebelas malam. Apa penduduk Indonesia benar-benar sudah melupakan etika dalam bertamu? Leo terpaksa melangkah untuk membukakan pintu karena hanya dirinya lah yang masih terjaga. Naya sudah dijamin tidur nyenyak, bi Hun juga sudah dipastikan pasti sedang ngorok dikamarnya. Ketika Leo membuka pintu, tubuhnya langsung dipeluk seseorang yang tidak asing lagi dihidupnya. "Aish, lo kenapa nangis?" Aish sesegukan masih dengan posisi memeluk Leo dengan erat. "Lo ada masalah?" Leo mencoba menenangkan perempuan yang sedang memeluknya itu dengan usapan pelan dikepala Aish. "b******k, Yo! Cowok gue b******k! Gue ke Jakarta karena emang pengen serius sama dia, tapi dia malah selingkuh! Apa karena gue dulunya jalang, jadi sekarang gue gak pantes bahagia? Hiks..." "Lo tenang dulu, ayo masuk." Leo menggandeng tangan Aish masuk kerumahnya. Karena takut tangisan histeris Aish membangunkan Naya dan bi Hun, Leo berinisiatif membawa Aish kekamarnya tanpa niat apapun selain mencoba menenangkan Aish yang sepertinya sangat sedih. Leo menyuruh Aish duduk ditempat tidurnya sedangkan ia mengambilkan air untuk Aish. "Minum dulu, Ai." Leo membiarkan Aish menghabiskan air lalu ia mengusap pelan punggung Aish agar cewek itu sedikit lebih baik. "Play with me!" Leo mengerutkan dahinya. Sebelum ia bertanya apa maksud perkataan Aish, cewek itu sudah membungkam bibirnya dengan ciuman panas. "Aish, No!" Leo mendorong tubuh Aish dengan kepala menggeleng. "Enggak, Aish. Gue enggak bisa." "Why?" Aish terlihat sangat sedih, dan Leo benci melihat itu. "Gue bakal ijinin lo nginep disini, tapi kita gak akan ngapa-ngapain." Aish menundukan kepalanya kemudian terdengar lagi isakan dari mulutnya. "Apa gue gak seksi lagi sampe semua cowok gak mau sama gue?! Hiks..." "For god's shake, gak ada cewek se-seksi elo, Aish! Tapi, gue enggak bisa, bukan enggak mau..." "Why? Kenapa?" "Gue ada janji," Aish mengerutkan dahinya. "Lo berkomitmen?" Leo mengangguk pelan. Aish langsung tertawa sumbang. "Baby, lo sama gue itu sama! Liat gue, gue nyoba berkomitmen tapi pasangan gue malah ninggalin gue setelah dia tahu kalau gue rusak. Pasangan lo juga bakal ninggalin lo!" Leo menggeleng. Entah mengapa ia tidak suka pada ucapan Aish. Ia tidak senang jika ada orang yang berpendapat bahwa Naya akan pergi begitu saja. "Satu o*****e dan gue bakal pergi setelahnya. Please, gue butuh pengalihan." Aish masih terus mencoba menggapai Leo yang sudah berdiri sambil terus menggeleng. "b******k!! Brak! Prang! "Aish!" Leo langsung menggeram karena Aish mendorongnya kearah meja sehingga botol promise milik Naya jatuh dan pecah seketika. "Gue anggap lo kakak gue, Aish. Kok lo jadi kekanakan gini Cuma karena liang kewanitan lo gak dapet kepusaan? Gue kecewa sama lo." Leo berkata dengan nada dingin sambil memungut serpihan kaca dari botol promise-nya. "Pecah, sial!" Leo mengambil kertas yang tergulung itu pelan-pelan lalu ia taruh kertas itu diatas meja. Sedangkan serpihan kacanya, ia buang pada tempat sampah disudut kamarnya. "My little boy..." Leo mengangkat tanganya tanda agar Aish jangan mendekat. Ia berjalan menuju lemari, mengambil dompetnya kemudian mengeluarkan credit card miliknya. Leo berikan kartu itu pada Aish sambil berkata, "Ke club, beli minum sampe lo mabuk, sampe lo lupa sakit hati lo, tapi jangan sampe lo ONS. Lo ONS, lo gak usah ketemu gue lagi." Aish mengangguk dengan air mata berlinang. "Good girl," Leo mengecup pelan dahi Aish. "Telepon gue kalau ada apa-apa. Jaga diri lo, Sista." *** Leo menarik-narik tangan Reza kemudian memandang wajah sahabatnya itu dengan melas. "Gue mohon. Gue gak pernah minta apapun selama ini. Tapi, Please, ikut gue buat jadi pasangan pura-puranya Dee dulu karena tuh cewek gak ngijinin gue bawa Naya sebelum Vano balik dari London. Gila aja!" "Kok bawa-bawa gue, sih?" Reza mendelik tidak suka. "Lo pikir gue terong-terongan?" "Satu jam doang. Main di timezone, Za. Gue tlaktir vodka nanti. Demi tuhan!" Reza menimbang-nimbang ucapan Leo. "Okelah. Satu jam doang, ya?" Leo mengangguk lalu kembali menarik tangan Reza mendekati dua gadis yang berdiri didepan mobil miliknya. "Lo sama Reza aja dulu ya, Dee? Gue enggak bisa bawa Vano balik, Sayangku... Gak apa sama Reza, ya?" Leo membujuk Dee dengan nada lembut-lembut t*i ayam, berharap gadis itu akan mengangguk. Dan, do'anya terkabul. Thanks, god! Mereka berempat akhirnya langsung caw menuju mall terdekat karena Leo memang sedang ingin bermain di timezone. Ketika Naya mengajaknya waktu itu, Leo jadi ketagihan. Disamping ia ingin bermain, ia juga ingin lebih mengenal Naya. Tidak adil jika Naya mati-matian ingin merubahnya sedangkan dirinya tidak ada niat berubah. Pelan-pelan, Leo mencoba. Jangan ketawa! "Kak, maaf ya ngerepotin sampe kak Reza juga kebawa-bawa." Ucap Naya tulus. Leo hanya menepuk kepala gadis itu dan berkata, "Nikmati aja hari ini." Entah sudah berapa lembar uang yang Leo keluarkan dari dompetnya demi membiayai cara bermain Dee yang tidak manusiawi. Reza juga mendadak b******k karena ia juga ikut-ikutan menguras habis lembaran-lembaran yang mengisi dompet Leo. "Kak, gue aus." Dee merengek. "Bagi seratus lagi, dong. Abis ini gue bebasin lo bawa Naya kemana aja, deh." Leo tersenyum gembira kemudian memberikan dua lembar seratus ribu pada Dee dan menarik tangan Naya keluar timezone. "Akhirnya bisa berduaan, ya Allah..." Naya terkekeh melihat Leo yang begitu terlihat senang bisa terlepas dari si maniak game, Dee. "Kita makan, yuk? Tapi gue mau ke toilet dulu." Kata Leo. "Oke. Gue nunggu depan resto-nya gak papa?" "Deal. Gue balik 15 menit lagi." Leo mengacak-acak rambut Naya sebelum berlari kecil menuju toilet. Karena hari ini bukan weekend, toilet sepi, dan itu bagus karena Leo bisa nyanyi-nyanyi sedikit didepan kaca toilet tanpa harus ada pengunjung lain yang merasa terganggu. "Leo!" Leo mengenali suara itu, tapi rasanya tidak mungkin karena ini toilet khusus cowok. "Aish, lo ngapain? Salah masuk toilet?" Aish tak menjawab pertanyaan Leo, melainkan ia malah berjalan dengan gerakan s*****l kearah Leo. Ia sempat mengunci pintu toilet sehingga hanya ada mereka berdua diruangan tempat para setan berkumpul ini. "Aish, gue udah selesai dan harus balik. Gue lagi sama tunangan gue." Aish mengerutkan dahinya. "Lo udah tunangan?" "Iya," Leo tersenyum kecil. "Manis orangnya, nanti gue kenalin." "Gue enggak mau kenal," Aish sudah berada tepat dihadapan Leo. "I just want you," "Aish," "No. Don't to that! Lo tahu rasanya kaya apa, Yo? Lo tahu rasanya gimana gue selama ini capek karena selalu dicuekin sama lo?" "Aish, gue gak ngerti..." "GUE CINTA SAMA LO!" Shit! Harusnya Leo tahu itu. "Ya! Pertama kali kita ketemu di club, gue udah tertarik sama lo. Lo satu-satunya bocah ingusan yang bikin gue rela buka s**********n! Dan, sial, gue gak bisa lupain percintaan panas kita, Yo! Lo juga gak bisa, kan?" Aish meraih tengkuk Leo kemudian ia kecup pipi Leo dengan lembut. "Mari kita ulang indahnya malam itu, My little boy..." Perlahan dan penuh kepercayaan diri, Aish mencium bibir Leo dan tanpa diduga ia mendapatkan respon dari Leo. Aish tersenyum dengan bangga karena sekarang Leo mulai mengecup lehernya dan memberikan tanda kepemilikan disana. "Cukup," Aish ternganga ketika Leo meamandangnya dengan sendu. "Leo..." "Gue enggak bisa, Aish. Yang barusan, anggap aja gue kelepasan." "Lo mau gue! Gue tahu itu! Gak usah munafik!" Aish kembali meraih bibir Leo. Seperti kesetanan, Leo berubah kembali menjadi sosoknya yang b******k. Persetan! Ia dorong tubuh Aish sehingga menyentuh tembok. Ia angkat kaki jenjang Aish lalu meraba pahanya dengan pelan. Ia naikan rok yang dipakai Aish sehingga tangannya benar-benar leluasa. Persetan! "Ayo saling janji lo gak akan nyakitin gue dan gue gak akan sakit karena lo." Leo merasa terusik dengan suara yang terngiang ditelinganya. "Kak Leo..." Suara itu... "b******k!" Leo langsung menjauhkan tubuhnya dari Aish kemudian ia berjalan menuju wastafel dan mencuci wajahnya sambil terus mengumpat. Leo membuka pintu dengan kalut lalu ia banting pintu itu cukup keras. Persetan dengan keadaan Aish karena ia baru saja melanggar janjinya sendiri. "f**k! Sialan lo, Yo... b******k!" Leo mengacak-acak rambutnya. Ia berjalan menuju restoran dimana Naya berada dengan perasaan abstrak. "Kak, kok lama banget?" Sumpah, Leo ingin menghajar wajahny sendiri ketika melihat senyum manis Naya yang begitu mengganggu sistem kerja otaknya. Leo langsung memeluk Naya tidak peduli berapa pasang mata meliriknya heran."Maafin gue, ayo kita balik aja." Leo menarik tangan Naya keluar mall, tapi ternyata, masalahnya belum selesai. "Leo, aku mau balikin credit card kamu." Aish menghadang langkah Leo dengan wajah santai tanpa dosa sambil menyodorkan kartu padanya. "Kak," Naya menyenggol lengan Leo pelan karena cowok itu malah mematung. "Ambil kartunya." Leo terdiam. "Aku ambil ya, Kak. Kayanya kak Leo mencret jadi gak bisa ngomong." Naya mengambil kartu itu dari tangan Aish dengan kekehan pelan. "Eh, kakak, mau aku anter ke rumah sakit?" "E-emangnya kenapa?" Tanya Aish dengan canggung. Dan Naya, hanya menunjuk leher Aish dengan wajah polos.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD