Namaku Kiara

Hujan turun membasahi bumi pagi ini. Membuat suasana kota Jakarta diselimuti oleh kemacetan dan juga genangan. Jajaran kendaraan yang mencoba segera sampai tujuan masing-masing terlihat penuh sesak. Dean yang sudah datang pagi-pagi beberapa jam sebelum jadwal praktiknya dimulai langsung menuju ruangannya di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta yang bernama Hospi Hospital. Dean menjadi salah satu dokter anak di Hospi dan semenjak memutuskan untuk pindah kembali ke Jakarta dan bergabung lagi dengan Hospi Hospital Jakarta, Dean menjadi dokter anak terlaris dan paling ditunggu. Kebetulan dulu Dean juga pernah menjadi dokter anak disana namun, tak berapa lama ia kemudian memutuskan untuk pindah ke Bandung dan menjadi dokter di Hospi Hospital cabang Bandung. Hanya 2 hari waktunya Dean untuk beristirahat setelah kepulangannya dari Bandung. Setelah persidangan perceraian mereka selesai di Bandung, Dean memutuskan untuk pulang kembali ke rumahnya dan akan mengemas beberapa barangnya untuk segera pindah ke apartemen miliknya di Jakarta. “Selamat Pagi,” sapa Dean ramah kepada beberapa suster yang berada di ruang registrasi pasien dekat ruangan praktiknya. “Pagi, Dokter Dean. Akhirnya Dokter kembali juga ke Jakarta,” kata salah satu suster tak kalah ramah. Dean tersenyum membalas perkataan suster itu. “Oh, iya ini ada sedikit cemilan untuk kalian. Semoga kalian suka ya.” Dean memberikan paper bag sedang yang sudah diisikan beberapa oleh-oleh khas Bandung untuk mereka yang sengaja ia beli. “Bu Nadya ada?” Tanyanya kepada salah satu suster yang berada di hadapannya sambil memilah milih record pasien untuk dokter-dokter yang bertugas pagi itu. “Ada Dok, kebetulan beliau sudah menunggu anda.” “Ok, jam praktek saya masih masih agak lama kan? Saya ke ruangan beliau dulu ya sus.” “Baik Dok.” Kemudian Dean berjalan menuju ke arah ruangan yang berada di lantai 5 rumah sakit itu. TOK-TOK-TOK “Masuk!” kata seseorang wanita paruh baya dengan suara ramah dan lembut. “Selamat pagi, Bu Nadya.” Sapa Dean dengan ramah lalu menghampiri wanita paruh baya yang mengenakan hijab itu di meja kerjanya. “Hai Dean, Bagaimana? Apa kabar kamu?” Sambil berdiri menyapa anak angkatnya itu. “Baik Bu. Ibu sendiri gimana?” Mencium punggung tangan ibu Nadya dengan sangat sopan. “Baik juga. Dean selamat ya akhirnya kamu sudah terlepas dari masalahmu dengan mantan istrimu. Ibu lega banget.” Tersenyum senang. “Ayo, duduk!” katanya sambil mempersilahkan Dean untuk duduk di sofa coklat yang berada di ruangan itu. “Terima kasih Bu. Iya, Tapi kami memutuskan untuk berpisah secara baik-baik walaupun sejujurnya selama 3 tahun ini aku berusaha untuk menyayangi Mischa. Begitupun dengan Mischa.” “Ya ibu tau itu. Tapi alangkah lebih baiknya kalo kamu bisa move on kan? Walaupun pernikahan kalian baru sebentar dan karena perjodohan. Tapi setidaknya kalian sudah berusaha untuk menjalankan keinginan ibumu dengan baik. Kalian sudah bersikap yang seharusnya. Ya walaupun tetap saja akhirnya harus seperti ini.” Pandangannya nanar mengingat sahabatnya (alm. Ibunya Dean). “Ga apa Bu. Aku akan melanjutkan hidupku dengan bekerja dan bekerja. Untuk sementara aku akan kembali tinggal di apartemenku. Kebetulan apartemenku itu sudah kosong Bu.” “Baiklah. Kalau ada apa-apa kamu beritahu ibu ya.” Jawabnya sambil mengelus lembut rambut anak angkatnya itu Dean tersenyum menerima belaian sayang dari ibu angkatnya itu. **