Stuck.. on you?

1906 Words
Stephanie membolak-balikkan badannya di atas pembaringannya. Rasa kantuk yang sengaja diundangnya dengan penuh niat, nyatanya belum kunjung datang juga. Baru beberapa saat lalu dia menutup panggilan telepon dari Daniel. Rupanya, selagi Ardi masih berada di kediaman Stephanie pun, Daniel sudah mengirim beberapa sms kepada Gadis ini. Stephanie baru membacanya setelah mandi, mempersiapkan keperluannya untuk pekerjaan besok, mengucap syukur dalam doa malam dan hendak beristirahat. Atas sebuah dorongan yang hanya dirinya Seorang saja yang tahu, juga alasan personal, Stephanie sudah merubah kontak Daniel, yang dari ‘Daniel MS-PT Damar Son S-Sports’ menjadi ‘DMS’ saja. From : DMS Steph, thanks buat banyak kehormatan yang kamu kasih ke aku hari ini. Kamu mau diajak ke pabrik dengan kendaraan yang ada, nggak menolak diajak makan di warung sederhana, mau berbagi sedikit kisah ke aku, mengajak aku mampir ke rumahmu, diperkenalkan ke Kakakmu (baru kutengok profilnya. Mengagumkan!), disuguhi kopi yang semanis s**u (barangkali lantaran aku menyesapnya sambil menatap paras kamu :). Steph, dinner with me, please? (Kamu yang pilih tempatnya, di mana saja, asalkan bukan di bulan. Besok, boleh, dong?) Di antara sekian banyak kalimat panjang Daniel, ada satu hal yang membuat Stephanie tergelitik. Paras Stephanie sedikit memucat mengetahui Daniel sudah mengulik tentang Ardi. Dia sungguh yakin, mereka berdua pasti juga sudah perang kartu nama sewaktu ditinggalkannya untuk berganti pakaian tadi. Artinya.., setelah ini dia harus siap dihujani bertubi-tubi pertanyaan dari Daniel mengenai Keluarganya. Oh, tidak, tentunya lebih ke dirinya. Dan sebagian besar pertanyaan itu, dipastikannya akan diawali dengan kata :  WHY? Dia tak hendak menyangkal, pertanyaan ‘Mengapa’ memang umunnya dijawab dengan ‘Karena’. Dan itu sungguh mengusiknya. And actually, BECAUSE is not my favourite word! I prefer although. A – L – T – H – O – U – G - H! Kata hati Stephanie.   Masih ada sms berikutnya. Dari Pengirim yang sama. From : DMS Steph, komen Kak Ardi soal aku, bagaimana? Positif atau negatif, feel free to tell me  :). Juga yang berikut... From : DMS Steph, kamu bilang nggak ada yang marah, kan, kalau kita makan bareng. Artinya, kalau aku mau kenal kamu lebih dekat, juga boleh, dong. Say yes, please. Stephanie kehabisan kata-kata membacanya. Pikirnya, high speed juga Daniel ini. Dilanjutkannya membaca pesan teks selanjutnya. From : DMS Steph, boleh aku telepon? Sebentar, saja. Stephanie senyum-senyum, dan mengetikkan lima buah huruf lantas mengirimkannya. To : DMS Boleh. Jangan harap Daniel memegang perkataannya. Dia bukan menelepon untuk satu atau dua menit, melainkan... hampir dua jam! Telinga Stephanie sampai terasa panas, seiring hatinya yang kian menghangat dari detik ke detik. Pantas saja, dia tidak mengakhiri panggilan telepon itu dan nyaris berpikir untuk memakai ear phone jika tangannya sudah terasa pegal lantaran terlalu lama memegang telepon seluler dan menyangganya ke arah telinganya. Obrolan mereka teramat lancar, bak jalan bebas hambatan, di musim liburan, pula. Suatu keadaan yang menantang Daniel maupun Stephanie untuk ugal-ugalan mengendara, melebihi batas kecepatan, bukan? Maka jangan salahkan Daniel dan Stephanie yang terlena, mengobrol ngalor-ngidul, bercanda, dan kemudian sepakat untuk makan malam di JimBARan Lounge yang terletak di MidPlaza. Daniel setuju saja, meskipun sebetulnya yang ada di kepalanya adalah sejumlah pilihan restaurant lain yang jelas lebih privat, mewah dan bernuansa romantis. “Tapi sudahlah. Kan, aku, yang minta dia menentukan tempatnya,” Daniel setengah bergumam. “Apa, Dan?” tanya Stephanie, yang gagal memahami gumaman lirih Daniel. “Apa? Oh, enggak. Pilihan tepat, maksudku. Tempatnya juga enak, cocok tuh, buat me-refresh pikiran yang  penat setelah seharian berkutat sama kerjaan,” komentar Daniel selekasnya. “Iya, menu makanannya juga lezat, kok, Dan. Semoga cocok, ya, buat lidahmu,” tambah Stephanie. “Pasti,” ucap Daniel, mengganti yang terlintas dalam pikirannya, yang nyaris terlontar : makan di mana pun, apa pun menunya, pasti cocok, selama makannya bareng kamu, Steph. Daniel malah sudah punya setumpuk rencana di kepalanya, sebaris agenda, untuk dirinya dan Stephanie, yang hampir saja diucapkannya jika dia tidak terkenang sebuah masa pahit, dalam perjalanan cintanya dulu. Tepat sekali. Dulu dia terlalu sibuk mengatur rencana ini dan itu untuk dilakukan berdua, terlampau yakin bahwa perasaannya sejalan dengan Gadis yang dicintainya, namun semua berakhir percuma. Bukankah itu sudah cukup untuk membuatnya lebih sabar dan melakukan semuanya setahap demi setahap, tidak seperti angkot yang tengah dikejar setoran? Ya, supaya dia tidak mengalami hal serupa, kenangan pahit yang kini dihalaunya. It’s over. Aku bahkan sudah berusaha keras menggantikan tempatnya di hatiku, dengan Inge. Sudah pernah, maksudku. Karena kini nggak ada dia maupun Inge di hatiku. Melainkan...hei! pikir Daniel sambil tersenyum sendiri. Dia sadar sepenuhnya, rasa itu datang lagi. Rasa semangat, berbunga-bunga, dengan daya beratus kali lipat, dari yang pernah dirasakannya sebelumnya, dengan Para Mantannya terdahulu. Tak heran percakapan dengan topik beragam serta acak itu mengalir begitu saja, seakan keduanya saling mengenal sekian lamanya. Bila saja bukan karena batteray telepon selulernya drop dan dia enggan mengorek-ngorek power bank di dalam tasnya, bisa jadi Stephanie masih terus meladeni telepon dari Daniel. “Dan, low bat, nih. Sambung besok saja, ya, ngobrolnya?” usul Stephanie. “Eng.., iya deh. Besok, aku jemput di kantormu atau..?” Daniel menggantung ucapannya. Stephanie tertawa kecil. Di telinga Daniel, suara tawa itu terdengar teramat merdu. “Langsung ketemu di lounge saja, bagaimana?” tanya Stephanie ringan, mengingat letaknya toh, tidak terlampau jauh dari kediamannya, malah kebetulan satu gedung, pula, dengan tempat appointment terakhirnya besok, dengan Customer-nya. Daniel menahan napas mendengarnya. “Yaa.., kalau ketemu di sana, berarti pulangnya aku nggak bisa antar kamu, dong..,” keluh Daniel, tak dapat menyembunyikan kecewanya. Sekali lagi Stephanie tertawa. “Kok ketawa sih?” protes Daniel. “Habisnya, kamu lucu. Eh, ya, hadiah piring cantiknya masih berlaku? Yang sama pabriknya sekalian itu? Kan, sudah genap tiga kali, aku bilang lucu,” olok Stephanie. Daniel diam sesaat. “Sorry, jangan marah,” ralat Stephanie cepat. Daniel terkekeh, lantas menyahut, “Siapa yang marah? Aku lagi perhatiin jam. Karena sudah pergantian hari, hadiah piring cantiknya batal.” Stephanie bagai tersengat lebah, dan refleks melihat ke arah jam dinding di kamarnya. “Astagaaa..! Sudah jam setengah satu lebih. Sudah dulu, ya, Dan. Aku nggak mau dapat Surat Peringatan gara-gara terlambat datang ke kantor. Cari kerja sekarang susah, tahu,” seloroh Stephanie. “Ok. Good nite. Sleep well ya. Have a nice dream.. about...” Daniel nyaris mengatakan ‘me’ jika saja Stephanie tidak segera memotong, “Sampai besok, ya. Thanks for calling.” Nyatanya, usai menutup telepon, bukan kelegaan yang didapat oleh Stephanie. Dia malah kian gelisah, mempertanyakan serentet kejadian yang dialaminya dari siang hingga malam ini. Sulit baginya untuk memejamkan mata. Logikanya, dengan padatnya kegiatannya hari ini, kantuknya seharusnya lebih cepat tiba. Tapi logika kan nggak selalu sejalan dengan perasaan campur kenyataan, toh? Buktinya, bayangan Daniel terus mengusiknya. Dan, ya, dia terpaksa mengakui, dia bukannya terlalu lemah, untuk menjaga hatinya. Memang dianya saja yang mau, menyerahkan bulat-bulat hati itu pada Daniel, seperti kata P!NK dalam lagunya ‘Just Give me A Reason”.. Right from the start you were a thief you stole my heart, and im your willing victim. Ibarat ombak, Daniel itu pastilah jenis ombak kecil. Tampaknya tenang, namun konstan, siap menyeret Sang Target yang menjadi Incarnnya, sedikit demi sedikit. Sang Target, s***h, Stephanie, pasti terlena, dan tahu-tahu menyadari, dia kian menjauhi daratan, terbawa sang ombak, terus ke tengah perairan, menuju sebuah pusaran yang bernama cinta. Stephanie terlarut dan terlarut, seriring waktu yang terus berjalan. Mimpi apa sebenarnya Stephanie? Selaksa kebersamaan mereka setelahnya, rasanya terlampau cepat, penuh warna, dan sukar dipercaya. Stephanie yakin, Setiap Orang yang  berada di posisinya, pasti bakal mengalami yang sama dengan dirinya, dan susah untuk berkelit dari perasaan yang campur aduk itu. Ada saat-saat menjelang istirahat malamnya, ketika Stephanie berusaha untuk mengenang perjalanan kisahnya dengan Daniel, yang seakan berjalan begitu saja, mengalir lancar dan deras, bak air dari tempat yang tinggi menuju tempat yang lebih rendah. Baru dua bulan selepas kunjungan ke pabrik saja, Stephanie sudah sulit menghitung banyaknya pertemuan serta komunikasi via telepon, di antara mereka. Pertemuan yang jelas tidak ada hubungannya dengan hubungan kerja. Stephanie sampai pernah berpikir, masa iya sih, seorang Daniel Marcello Sanjaya se-nganggur itu, sampai bisa mendadak muncul di kantornya saat jam makan siang, atau mengunjunginya di akhir pekan. Tentunya, tidak sekadar mengobrol di kediaman Stephanie, namun juga mengajak Gadis itu makan malam atau menonton konser musik. Bahkan pernah, ketika mereka berdua hendak menonton premiere pemutaran film yang diperankan oleh aktor kesayangan Stephanie, tak sengaja mereka berpapasan dengan Ardi, yang baru usai menemani Cleo belanja bulanan. Tidak banyak yang mereka percakapkan dalam pertemuan tak direncana itu. Hanya saja, Stephanie menangkap kesan, Kakaknya itu seperti mencemaskannya. “Kak Cleo, sudah ketahuan belum, Calon Keponakanku ini laki-laki atau Perempuan? Sudah usg 3 dimensi?” tanya Stephanie kala itu, sembari mengelus perut Cleo yang sebenarnya masih belum membuncit. Dia tak sadar, Daniel memperhatikannya, bahkan membiarkan angannya melambung tinggi, membayangkan dirinya adalah Ardi sementara Stephanie adalah Cleo. “Belum, Dek. Mau Laki-laki atau Perempuan, yang penting sehat dan jadi Anak yang baik kelak,” sahut Cleo sembari tersenyum dan mengerling sejenak pada Daniel dan berkata, “kalian berdua, main ke rumah, dong.” Daniel buru-buru mengangguk, mendahului Stephanie. Ia menepis sebersit rasa tanya yang melintas di pikirannya, mendapati Ardi yang terkesan jauh lebih pendiam an terkesan menjaga jarak dengannya. Bahkan seakan-akan tidak mengacuhkan keberadaannya. “Steph, jaga kesehatan, ya. Jangan terlalu sibuk kerja. Nginap di rumah, Steph,” ujar Ardi sebelum mereka berpisah. Sungguh aneh. Ardi seolah sengaja menekankan kata ‘menginap’, menujukannya pada Stephanie seorang. Bagi Daniel, itu seakan itu sebuah penghalang. Tidak mungkin, kan, dia diundang untuk menginap pula? Mata Daniel terlampau awas, dan berbekal rasa peka yang diwarisinya dari Sang Mama, dia tahu sikap Ardi atasnya telah berubah tanpa dia tahu alasan pastinya. Tatap protektif Ardi seolah berbalut curiga, takut dia akan menyakiti atau sekadar mempermainkan Stephanie. Aku paham kekhawatiranmu, Kak. Aku juga kerap seperti itu pada Cowok yang mendekati Brenda atau Gina. Tapi aku sungguh-sungguh kok, sama Steph. Steph ini sudah membuatku kecanduan buat menghubunginya, menemuinya, lagi dan lagi, selepas pertemuan kedua kami. Dia sudah mengisi hari-hariku setelah pertemuan kedua tersebut. Mana mungkin aku bisa mempermainkan dia, batin Daniel. “Iya, Kak. Kak Ardi dan Kak Cleo juga ya, jaga kesehatan,” balas Stephanie, mengabaikan tatap cemas Ardi yang tak hanya mengusik dirinya maupun Daniel, namun sepertinya juga disadari oleh Cleo.  Daniel pun ikut tersenyum untuk mencairkan suasana yang terasa sedikit canggung.   Seminggu kemudian, mereka tak sengaja kembali bertemu di sebuah rumah makan. Di sana Daniel memergoki, kecemasan Ardi kian nyata. Saat itu, Stephanie dan Daniel sedang menikmati hidangan, sementara Ardi baru saja memasuki restaurant itu, sendirian. “Kak Ardi, nggak keberatan kalau gabung sama kami, kan?” dengan rendah hati Daniel berinisiatif menawarkan. Stephanie memergoki, Ardi memaksakan sebuah senyum saat menolak dan berkata, “ Thanks. Tapi aku sudah reservasi. Ada santap malam sama dua orang klien-ku. Sebentar lagi mereka datang.” Ardi sama sekali tidak bohong. Faktanya, Kedua Orang yang dinantikan oleh Ardi memang datang lima menit kemudian. Namun selagi Tiga Orang tersebut menikmati santap malam, pandangan Stephanie kerap bersirobok dengan pandangan mata Kakaknya itu. Ardi tampak sering mencuri pandang ke arahnya serta Daniel, dengan pandangan yang sulit untuk dimingereti oleh Stephanie. Dan hal itu terus saja dilakukan oleh Ardi, bahkan sampai Stephanie dan Daniel berpamitan melalui pesan teks, sebab pantang mengganggu acara Ardi dengan kliennya. Stephanie jelas terusik, namun belum mempunyai alasan serta kesempatan yang terbaik untuk menanyakan hal itu secara langsung kepada Sang Kakak. * ^ *  Lucy Liestiyo  * ^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD