“Om nggak bilang apa-apa ke kamu? Bukannya kemarin lusa, Tante dengar kalian mau lunch bareng, besoknya? Batal?” tanya bu Chelsea. Nadanya meninggi di ujung kalimat. Daniel menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia sedang tak berminat menebak-nebak saat ini.
“Dan, kamu belum ketemu Om?” tanya Bu Chelsea penasaran.
“Sudah Tante, tapi Om nggak cerita apa-apa, cuma kasih alamat Inge,” sahut Daniel. Sekilas, Daniel melihat sorot kecewa di mata Bu Chelsea. Entah lantaran apa. Dan sejujurnya, di gentar.
“Terus, kamu nggak nanya apa pun?“ tanya Bu Chelsea dengan gelengan kepala.
Daniel mendengar wanita itu berdecak gemas setelahnya, membuat dirinya semakin mati gaya saja. Ia tak punya pilihan lain kecuali mendengarkan apa yang hendak diucapkan oleh Wanita itu selanjutnya.
“Dan, kamu itu.., sama sekali sudah nggak peduli sama Inge? Lupa ya, secara nggak langsung, kamu yang menyebabkan dia nekad pergi?” ucap bu Chelsea.
Daniel merasa disalahkan, disudutkan. Walaupun faktanya.., memang dia ada kesalahan, meski menurutnya tidaklah sebesar itu. Karenanya, Daniel memilih bungkam seribu bahasa. Dia thau, sepatah kata saja sempat terucap dari bibirnya, pasti memancing kemarahan Bu Chelsea, terlepas dari apa yang akan dikatakannya.
“Dan?” panggil bu Chelsea, terkesan tak sabar.
“Eng.., Tante..” Daniel menyahut dengan gugup. Berhadapan dengan Wanita satu ini Daniel merasa begitu terintimidasi. Takut salah ucap. Takut disalahpahami pula.
“Kelihatannya keputusan Tante menemui kamu hari ini benar-benar keliru. Lupakan saja. Sebaiknya Tante pulang sekarang. Maaf sekiranya Tante sudah menghabiskan waktumu yang berharga,” kata bu Chelsea seraya memperlihatkan gelagat akan berdiri. Dalam bayangan Daniel, Sang Ratu mengibas jubahnya dalam kekesalan, dan menghujamkan tatapan setajam pedang yang terhunus padanya. Daniel tersentak seketika, dan buru-buru mencegahnya.
“Tante, Tante Chelsea! Sabar, Tante. Tolong duduk lagi. Saya minta maaf. Kemarin memang saya dan Om... eng.. sejujurnya, belum sempat terlalu banyak membahas soal Inge. Om memberikan alamat Inge ketika kami akan berpisah sesudah makan siang. Sekali lagi saya minta maaf, kalau hal ini membuat Tante tersinggung. Justru kalau Tante tidak keberatan, boleh tidak, Tante saja yang cerita ke saya, bagaimana awalnya, kok Inge sampai ada di Kaifeng?” tanya Daniel dengan nada memohon. Sengaja ia mengucapkan semua kalimatnya tanpa jeda, sebagai antisipasi ‘Sang Ratu’ akan menyela perkataannya. Yanga ada di pikiran Daniel saat itu hanya satu : dia benar-benar tak ingin hubungan Orang tuanya dengan Orang tua Inge, yang belakangan telah membaik, terkoyak lagi karena insiden siang ini.
Lumayan hasilnya. Bu Chelsea mau duduk kembali. Sepertinya, ucapan Daniel barusan cukup menyentuh hatinya.
“Inge amat terpuruk malam itu. Dia tidak pulang ke rumah, dan mematikan telepon selulernya setelah mengirim pesan ke Tante bahwa dia tidak mau diganggu. Tante terlalu hafal sama wataknya. Kalau dia bilang a, artinya a. Supir yang mengantar kalian ke tempat resepsi kalian di Small Paradise saja, dibuatnya serba salah, karena dia memaksa minta diturunkan di jalan,” kisah Bu Chelsea.
Daniel tercekat mendengarnya.
“Turun di tengah jalan, Tante? Tapi waktu itu kan, Inge mengenakan gaun pesta? Masa turun di tengah jalan?” ucapan Daniel lirih berbalas tatapan menyalahkan dari Lawan bicaranya
“Kenyataannya begitu. Kamu tahu kan, betapa Inge itu keras kepala? Dia juga tidak memikirkan, bagaimana Om dan Tante panik, mendengar penuturan Supir tentang kejadian tak terduga yang berlangsung di restaurant Small Paradise setelah kami pulang. Satu saja yang kami syukuri, kerabat maupun para Undangan sudah pulang. Yang tersisa di tempat hanya segelintir orang saja. Jadinya..,” Bu Chelsea mengembuskan napas.
“Eng.., Tante, maaf soal itu,” ucap Daniel selekasnya. Rasanya ada yang menyumbat jalan napasnya. Sesak sekali.
Bu Chelsea mengibaskan tangannya dan berkata, “Sudahlah. Tante enggan membahasnya. Intinya, kamu tahu kan, Inge selalu mendapat apa yang diinginkannya? Dia itu bukan Sosok yang mau dikalahkan. Jadi, setelah sekitar satu setengah bulan mengurung diri, di masa denial, tahu-tahu di akhir bulan kedua dia bilang mau mengambil program satu tahun di Kaifeng. Tepatnya kelas bahasa Mandarin. Tahu, nggak? Diam-diam dia sudah mengurus berbagai persyaratan dan bahkan siap untuk mengikuti kelas Spring, yang bakal dimulai satu setengah bulan ke depannya.”
Bak Seorang Cewek penakut dan punya kecenderungan lemah jantung tapi sok-sokan menonton film horor, Daniel bergidik ngeri. Badannya melesak di kursi empuknya. Tak perlu disebutpun, dia tahu apa motivasi Inge untuk belajar bahasa Mandarin. Tapi sampai hasrus menimba ilmu ke Kaifeng? Ck ck ck! Betapa berlebihannya! Itu bukan sekadar menyelematkan ego dan harga diri yang terluka. Juga terkesan kekanakan bila dimasukkan ke ketegori luapan cemburu butanya.
Lho, kalau begitu, artinya toh, tinggal sekitar empat setengah bulan lagi, Inge bakal kembali? Ngapain, Tante Chelsea meminta bantuanku untuk membujuk Inge, kan? Masakan dia tega, Putri tunggalnya itu pulang sebelum program yang dijalaninya usai? Sejuta persen aku yakin, dia nggak akan mau. Seorang Inge nggak pernah mau melakukan sesuatu yang berakhir sia-sia. Dia pasti bakal ngotot buat menyelesaikannya, pikir Daniel.
“Jadi..? Ternyata Inge masih berada di Jakarta, sewaktu saya terus-terusan berusaha menemui dia? Terus sekarang, sudah satu semester lebih ya Tante? Kalau Tante memintanya pulang, maaf, bukannya tanggung, ya?” tanya Daniel sehati-hati mungkin, takut dianggap tak peduli.
“Justru itu, Daniel. Tante nggak keberatan kalau dia menyelesaikan program satu tahunnya dulu. Masalahnya..,” ucapan bu Chelsea terjeda sebuah notifikasi sms yang masuk ke telepon seluler Daniel. Daniel mengerling sepintas.
From : Beauty Steph
Hi Dan, sibuk? Jangan telat makan, ya, Pak Bos : ). Jaga kesehatan selalu. Cheers!
Rasanya Daniel ingin berteriak.
Itu Stephanie! Dan Gadis itu masih saja baik padanya, menyapa dengan hangat, seolah tak menyadari apalagi protes, menanggapi perubahan sikapnya. Dia tetap Si Gadis beauty, baik luar maupun dalam. Sesuai kata ‘beauty’ yang disematkan Daniel di depan nomor kontak Gadis itu. Padahal, setelah mengantarkan Stephanie pulang dari dinner mereka yang berujung ambyar hingga saat ini, praktis belum ada komunikasi apa-apa lagi di antara mereka. Hal yang aneh sebenarnya, bagi Daniel yang dalam sehari bisa berulang kali menghubungi Stephanie.
Daniel mengeluh dalam hati. Seandainya tak ada Bu Chelsea di depannya, sudah dibenamkannya wajahnya ke telapak tangannya saking frustasi.
Ini bukan mauku, Steph! Keluh Daniel tak terucap.
“Masalahnya apa, Tante?” tanya Daniel dengan nada putus asa. Bukan, bukan putus asa karena takut sia-sia membujuk Inge kembali, namun lebih karena memikirkan kemungkinan dia akan kehilangan Stephanie selamanya, bukannya sementara saja, selagi dia mengambil waktu demi mengurai benang kusut ini.
Merasa tak perlu menutupi apa pun dari Daniel, bu Chelsea melanjutkan uraiannya, “Dia berulah. Katanya, setelah menyelesaikan program yang sekarang, dia mau kuliah di sana. Ambil program Tourism atau apa, begitu. Kan aneh, selain minimal butuh waktu dua tahunan buat menyelesaikannya, ngapain juga kalau sekadar belajar Tourism harus di sana? Dia sendiri sudah menyelesaikan S2 Management! Ngapain memboroskan waktu di negara orang, padahal di sini saja banyak yang bisa dicapainya.”
Di telinga Daniel, tatap mata Bu Chelsea seperti berkata, “Gara-gara kamu! Sana, tanggung jawab!” mengalahkan keinginan Daniel untuk berasumsi, “Mungkin dia ketemu Seseorang yang bikin dia betah di sana, Tante!” Hei, mau cari gara-gara memangnya? Sudah tahu Wanita di depannya ini punya kecenderungan bersumbu pendek, 11-12 sama Anaknya! Oh, keliru, justru kemungkinan besar Bu Chelsea ini lebih powerfull dibanding Inge, khususnya dalam soal... memaksakan kehendak.
“Kalau kamu punya waktu beberapa hari, boleh Tante minta tolong untuk menemui dia? Nggak perlu ditelepon. Rasanya bakal susah untuk membicarakan hal macam ini di telepon,” titah sang Ratu, membuat Daniel semakin tersudut. Ini sudah seperti ultimatum akhir saja, yang tak boleh ditentang sama sekali.
“Baik, Tante. Hari ini juga saya minta supaya Serena mengurus visa sekaligus memesankan tiketpesawat dan akomodasi buat saya,” ucap Daniel segera. Rasa tertekan membuatnya lupa akan rumusan yang berlaku, agar tidak memutuskan sesuatu hal dalam keadaan terdesak.
Mendengar perkataan Daniel, wajah Bu Chelsea langsung berubah semringah.
“Sungguh, Dan? Kamu serius? Kamu nggak bohong, kan?” sambut Bu Chelsea.
$ $ Lucy Liestiyo $ $