No Matter What... (2)

1595 Words
Daniel menggeleng pelan. “Ah, ini nggak masalah,” sahut Daniel walau rasa mual di lambungnya masih sedikit terasa. Kenang-kenangan tangannya Bobby. Dia jadi ingat, ketika dirinya masih bersekolah dulu, jenis luka-luka yang diperolehnya akibat berkelahi bahkan lebih parah dari  yang sekarang ia derita. “Bagaimana keadaan Steph di dalam sana? Apakah dia sudah siuman? Apakah dia baik-baik saja? Bagaimana hasil pemeriksaannya? Kepalanya bagaimana? Apakah dia hanya mengalami luka luar? Jadi kapan dia boleh pulang?” tanya Daniel tak sabar. Alih-alih menjawab pertanyaan Daniel yang bertubi-tubi tersebut, Ryan malah menunjuk sudut bibir Daniel dan berkata, “Itu darahnya masih ada yang menetes. Tadi itu bagaimana ceritanya sih?” Daniel menghela napas dan menahannya sekian saat. Diambilnya sapu tangannya dan menyeka darah yang menetes itu perlahan. Diabaikannya perkataan Ryan. Diam-diam dia bersyukur, karena merasa sikap Ryan yang tampak bersahabat. “Kondisi Steph bagaimana?” ulang Daniel. Ryan memicingkan matanya. “Kamu sungguhan, secemas itu dengan kondisi Kakakku?” “Tentu saja. Secara tidak langsung, dia itu terkena pukulannya Kakakmu itu karena mendadak berada di antara aku sama Kakakmu. Dia menghalangi pukulan Kakakmu. Itu membuat aku sangat menyesal karena bukannya melindungi dia, malahan enyebabkan dia celaka.” Ada rasa sebal yang tersirat dari kalimat Daniel. Ryan, yang baru sekarang tahu penyebab sakitnya Stephanie adalah Bobby, terperangah. “Apa? Jadi itu karena dia? Dasar kurang ajar dia! Aku harus memberinya pelajaran kali ini!” Ryan memukulkan tangannya yang terkepal ke telapak tangannya yang lain. “Hei! Hei! Jangan buat suasana semakin ruwet!” Daniel menarik tangan Ryan sewaktu memergoki gelagat Ryan yang akan beranjak pergi. Ryan mengernyitkan dahinya. “Kenapa mencegahku? Bukannya seharusnya kamu senang, karena aku ada di Pihakmu, dalam hal ini?” Mata Daniel memejam. “Ryan. Namamu Ryan, kan? Sudahlah. Yang paling penting untuk dipikirkan saat ini adalah Steph. Nggak perlu mengurusi hal lain dulu.” Ryan mengulurkan tangan. “Ya. Aku Ryan. Dari tadi kita belum berkenalan, ya? Dan sebetulnya ini bukanlah suatu momen perkenalan yang ideal.” “Daniel,” balas Daniel seraya menjabat tangan yang terulur itu. Ryan menepuk pundak Daniel dan berkata, “Ayo, kita mengobrol di kafetaria depan sana. Ceritakan sejelasnya urutan kejadiannya.” Daniel tampak sedikit keberatan. Sebaliknya, Ryan sedikit kecewa sebab isyaratnya untuk mengajak bersahabat tidak disambut dengan baik. “Lalu kalau ada kabar soal Steph bagaimana? Aku belum bisa ketemu dia sejak tadi.” Ryan tersenyum samar. “Kondisi dia sudah lebih baik. Tenang saja, nanti akan aku usahakan untuk bisa bertemu dengannya, kalau keadaannya memungkinkan.” “Terima kasih. Saya pegang perkataanmu.” Ryan manggut kecil. “Nah, makany! Aku mau tahu kronologisnya.” Ryan menunjuk kafetaria yang terletak di bagian depan rumah sakit. Daniel terpaksa melangkahkan kakinya, meski hatinya masih terasa berat. ** Ryan menyesap kopi di cangkirnya dan menatap Daniel secara intens. Dia seperti tengah menilai Daniel. Sekaligus menimbang seberapa besar kadar cinta dan kesungguhan Lelaki yang dianggap ‘Bad Guy’ oleh Kedua Kakaknya ini, kepada Steph. Usai dengan selaksa pertanyaannya mengenai penyerangan konyol yang dilakukan oleh Bobby, tampaknya Ryan belum puas. “Aku masih penasaran. Bagaimana caranya kamu ketemu sama Steph? Dan bagaimana ceritanya dia sampai tinggal di satu apartemen denganmu? Itu…, sangat tidak bisa dimaafkan.” Kakak dan Adik sama saja. Tukang tuduh. Lantas apa gunanya dari tadi sudah menginterogasi aku dengan begitu detail? Apa masih kurang jelas diksi yang aku pakai? Padahal aku memakai bahasa sehari-hari yang harusnya mudah dipahami. Konyol. Masih saja menyangka kalau aku dan Steph tinggal bersama. Sudah jelas aku mengulang semua percakapan yang terjadi sebeum Steph pingsan. Kalau saja bukan menyangkut Steph, sudah aku tinggalkan dia ini di kafetaria, keluh Daniel dalam hatinya. Danie mendesah enggan. Dia menyabar-nyabarkan hatinya. Pikirnya, untuk kesuksesan hubungannya dengan Stephanie, toh dirinya harus mendapatkan lampu hijau juga dari Keluarga Gadis itu. “Sewaktu aku usai berziarah ke makam Mamaku, aku melewati makam Kedua Orang tua kalian. Ternyata Steph ada di sana. Aku membiarkannya, nggak ingin mengganggu. Aku menunggu sampai aku mempunyai kesempatan untuk menyapa dia, walau dengan resiko dia bakal pergi lagi. Tapi sebelum itu terjadi, dia sudah telanjur ambruk.” “Ambruk?” “Ya. Pingsan. Dia demam. Selain karena kehujanan, lelah fisik dan mentalnya yang membuat dia begitu. Tapi nggak lama dia tersadar.” “Dari sana kamu langsung membawanya ke apartemenmu dan kalian nekad tinggal bersama? Wah…, aku nggak bisa bayangkan, kalau Papaku masih ada, akan semarah apa Beliau.” Daniel langsung protes. “Astaga! Aku tegaskan, kami nggak tinggal di unit apartemen yang sama.” “Lantas mengapa saat kejadian kalian sedang berduaan?” Daniel menggeleng dengan perasaan lelah. “Hei. Ayolah, jawab saja. Itu hanya pertanyaan.” “Aku tahu.” “Jawab saja dengan alibi yang kuat. Supaya aku tahu, kamu itu layak atau tidak, menjadi Pendampingnya Steph.” Hm. Akhirnya terucap juga kan, apa maunya dia. Kamu sedang melakukan screening atasku? Baiklah, lakukan saja. Ini bukan pertama kalinya aku mengalami hal seperti ini. Dulu ketika aku sedang mendekati Fei, Raymond juga memperlakukan aku seperti ini. Kalau sekarang pun aku harus menghadapi yang lebih sulit dari itu, aku siap. No matter what. Aku harus memperjuangkan Steph, sahut Daniel. Tentu saja dalam hati. Dirinya nyaris tertawa hambar kala menyadari, hanya saat dekat dengan Inge saja, jalan bagi hubungan percintaan yang dihadapinya demikian lancar. Lancar dalam arti tidak ada hambatan dari Pihak Keluarga. Malahan kalau dia mau jujur, baik Pihak keluarganya apalagi Pihak keluarga Inge, terutama Mamanya Inge, justru aktif mendekatkan mereka berdua. Dan jelas, Inge lah yang mendekatinya terus menerus, memberinya perhatian-perhatian kecil, ‘menempel’nya, membiarkan dirinya terbiasa dengan kehadiran Cewek itu sampai akhirnya benar-benar tidak bisa mengelak lagi. Daniel menggelengkan kepala, menghalau bayangan masa lalu yang mengusiknya. “Aku paham kok.” Ryan mengangkat bahu. “Makanya, santai saja dong jawabnya.” “Ya.” Itu yang diucapkan oleh mulut Daniel. Walau sbetulnya dia ingin mencemooh, “Santai gundulmu! Pacarku di dalam sana belum ketahuan kondisi terkininya seperti apa. Malah disuruh santai dan ditanyai hal nggak penting begini.” “Jadi bagaimana kelanjutannya?” “Enggak gampang untuk langsung menemui Steph setelah dia siuman. Waktu itu Steph sendiri yang meminta waktu ke aku buat menenangkan pikirannya. Jadi aku berikan walau berat hati. Meskipun untuk itu aku tetap mengawasinya dari jauh. Aku nggak mau kalau dia sampai ghosting lagi dari aku.” “Stephanie ghosting?” Daniel mengiakan, tanpa menyebut peristiwa pertemuannya dengan Stephanie di dalam pesawat. Ryan segera mengangguk-angguk, bagai teringat sesuatu. “Oooh…, itu pasti ada hubungannya dengan peringatan dari Kak Ardi, ya? Dan kamu malah mundur, menjauh dari Steph, bukannya berusaha mengklarifikasi ke Steph? Heh! Masa mentalmu selemah itu? Nggak ada daya juangnya sama sekali? Payah! Laki-laki macam apa?” ejek Ryan. Daniel terkejut Ryan bisa berbicara seringan itu. Hampir saja rasa gusarnya tersulut. “Masalahnya nggak sesederhana itu. Nanti kamu bisa tanya Steph.” “Aku tanya kamu. Kamu kan Laki-laki. Ya katakana saja. Jangan malah menyuruh Kakakku yang menjelaskan kepadaku.” Daniel merasa bagai tertampar keras oleh perkataan datar Ryan. Seumur-umur, belum pernah ada Orang yang berani berkata begini kepadanya, dalam kapasitas apa pun. Apalagi Orang itu usianya lebih muda darinya! “Sebelum aku jawab, bisa nggak aku mendapatkan kesempatan untuk berbicara sama Steph? Aku mau memastikan bahwa dia baik-baik saja.” “Nggak,” sahut Ryan ringan. Daniel merasa tengah diejek. Dia sudah hampir bangkit dari duduknya. “Oh, mau pergi? Silakan. Tapi belum tentu Orang-orang di sana mengijinkanmu ketemu sama Steph. Aku sebut satu-persatu, ya. Kak Bobby, sejuta persen aku yakin dia akan menghalangimu. Lalu Kak Ardi, hm. Kamu nilai sendiri saja. Mungkin tidak akan dilakukannya secara frontal. Kamu ingat sendiri saja bagaimana cara Kak Ardi kepadamu. Beda gaya. Nggak pakai ribut-ribut. Tapi ampuh, kan?” Daniel mendengus. Ryan mengacungkan jari telunjuknya. “Itu belum selesai. Kamu tahu Bi Sum? Ya, Asisten Rumah Tangga yang mengurus Steph dari kecil. Dia siap untuk mencegahmu menemui Steph dengan berbagai cara, yang bahkan nggak akan terpikir olehmu. Kamu…, belum pernah disiram dengan air cucian beras? Atau dilempari sapu ijuk? Ha ha ha! Bi Sum bisa melakukan hal itu kepadamu kalau kamu memasksa menemui Steph. Ini memang rumah sakit. Tapi dengan mudah dia kan berimprovisasi dengan melemparkan tiang penggantung botol infus, misalnya.” Daniel tak menyahut. “Satu-satunya yang belum bisa aku prediksi akan bersikap bagaimana hanya Kakak Iparku, Kak Cleo. Tapi aku yakin sejuta persen. Sebagai Istri yang patuh pada Suaminya, dia pasti akan menempatkan dirinya agar dapat satu visi dengan Suaminya, Kak Ardi.” Daniel tak mau berkomentar. Dia pikir memang tidak ada gunanya untuk berdebat dengan Ryan saat ini. Setidaknya, Ryan ini satu-satunya yang mau mengajaknya bicara. Ardi hanya menatap dengan pandangan mata yang menyiratkan rasa kecewa kepadanya. Sementara Cleo, hanya mengangguk kepadanya tadi. Bi Sum, Si Asisten rumah tangga di kediaman Stephanie malahan bersikap lebih parah, berlagak tak melihatnya dan mengarahkan pandangan ke arah lain. Membandingkan merkea semua, Daniel mencoba membujuk hatinya untuk bersabar dan menuruti saja apa kemauan Ryan. Apalagi ketika kemudian Ryan berkata lagi, “Satu-satunya tiketmu untuk berkomunikasi sama Steph itu melalui aku. Tapi sayangnya, itu semua tergantung dari pembicaraan kita sekarang ini. Apakah kamu pantas diberikan kesempatan ataukah tidak.” Rasanya Daniel ingin memaki. Sial. Semenjak kapan aku kalah bernegosiasi? Andai ini bukan tentang Steph, aku nggak akan membiarkan diriku dipermainkan begini! Gerutu Daniel dalam diam. Sekarang dia sudah agak menyesal, sempat berharap bahwa Ryan ‘ada di Pihaknya’. Sekarang dia paham, bisa jadi Ryan ini memang tengah mengujinya saja. Dan bagaimana bisa menguji kalau tidak dimulai dengan membuka komunikasi dengannya? Itu yang Ryan lakukan. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD