Some People Maybe Never Change (2)

1637 Words
Lantas Inge menatap Stephanie dengan tatapan bak Seekor harimau yang hendak menerkam Sang Mangsa untuk kemudian mencabik-cabik tubuhnya. “Dengar! Aku nggak mau ada orang lain di hati Daniel. Siapa pun, Entahkah itu Cewek dari masa lalunya, ataupun Siapa saja yang kemungkinan ditemuinya sekarang atau di masa yang akan datang. Aku yang paling tepat buatnya. Aku, satu-satunya,” tegas Inge, membuat Stephanie kian merinding saja, seolah menghadapi hantu di pagi yang secerah ini.   Cewek ini terdengar posesif, menjurus ke psikopat, malah. Wah, aku salut, bagaimana kira-kira cara Daniel menghandel dia sewaktu mereka berdua menjalin hubungan dulu? Apalagi sampai.., mau menikah? Ya, Orang bertunangan kan tujuannya mau menikah bukan?  Tanya Stephanie dalam hati.   “Kamu tahu, kualitas Mantannya dia saja bisa kukalahkan. Mantannya itu cuma bisa apa? Daniel kagum karena dia memberikan les bahasa mandarin? Atau berhasil sebagai Event Organizer? Aku berani adu dengannya sekarang. Kefasihan bahasa Mandarinnya pasti jauh di bawahku. Dia nggak ada apa-apanya dibandingkan denganku. Aku mau buka sepuluh perusahan organizer pun, Papaku akan dengan senang hati mewujudkannya. Aku yakin aku akan lebih berhadil dibandingkan dengan dia. Kupastikan, aku nggak bisa dikalahkan. Daniel pasti akan terkagum,” tandas Inge.   Kali ini, Stephanie terpancing memicingkan matanya. Mengerikan sekali, bisik hati Stephanie.   “Itu bukan cinta, Nona. Itu obses namanya. Dengan sikap macam itu, Anda nggak mungkin bisa membahagiakan Daniel. Bahkan Anda juga nggak mungkin bahagia,” kata Stephanie kalem. “Kamu!” kali ini tangan Inge melayang, hendak menghadiahkan tamparan di pipi Stephanie. Namun, Stephanie  menepis tangan itu dengan kasar. Baginya apa yang dilakukan Inge padanya sudah melampaui kesabarannya. “Sorry, saya  nggak tertarik adu fisik. Saya bukan Cewek bar-bar,” cetus Stephanie tegas. Sekarang, dia merasa sudah cukup mengahadapi kejutan tak menyenangkan di pagi hari ini. Tanpa menunggu reaksi Inge, Stephanie bergegas melangkah lebar meninggalkan Inge yang  meradang dan menyumpah-nyumpah di belakangnya. “Kalau aku nggak bahagia, Daniel juga nggak boleh bahagia. Kalau bukan dengan aku, Daniel nggak boleh dengan Orang lain. Terlepas Siapapun Orang itu!” Di antara sekian makian Inge, telinga Stephanie masih sempat mendengar kalimat Inge yang ini.   Sementara di tempatnya, Inge terpaku sepeninggal Stephanie. Dia kesal, mendapati ‘lawan’nya ternyata jauh berbeda dengan Ferlita. Lawannya ini sepertinya tidak bisa diintimidasi. Terlalu tangguh dan terlalu berprinsip. Dan seolah kekesalan yang didapat oleh Inge belum cukup, sebuah mobil memasuki halaman parkir cafe. Begitu pintu mobil terbuka, sayup-sayup terdengar sepenggal lyric lagu lawas ‘The Past’ dari Ray Parker Jr. Didn’t anyone tell you yet That to forgive is to forget How can you be mad if you still remember             Benar-benar seperti sindiran yang menohoknya.             Rasanya Inge ingin marah pada Semesta yang bersatu padu memosisikan diri di pihak Lawannya, hari ini. Inge menghampiri mobilnya dan mengeluh. “Sial. Ternyata benar dugaan dan kecurigaanku bahwa Daniel sudah punya Seseorang. Pantas saja dia tenang-tenang begitu saat ketemu aku dan Jason,” geram Inge. Sekarang Inge tersadar, ditinggalkan Daniel rasanya lebih parah dari pada dirinya  sendiri yang meninggalkan Daniel dulu. ...   Stephanie menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan amat perlahan. “Kira-kira seperti itu kejadiannya, Dan.” Stephanie mengakhiri penuturannya. Daniel menggeleng-gelengkan kepala.   “Kurang ajar sekali Inge! Berani-beraninya dia melabrak dan cari gara-gara sama kamu! Aku harus menegur dan memperingatkan dia!” geram Daniel.   Stephanie tak bereaksi. Dia juga tak tahu pasti harus bagaimana menanggapi kegeraman Daniel. Daniel terus mencermati air muka Gadis tersayangnya itu. Ia mendekat dan menangkup kedua pipi Stephanie. Stephanie memejamkan matanya. “Steph, aku minta maaf. Aku nggak ada di sisimu waktu hal itu terjadi. Semestinya aku nggak mengabaikan firasat burukku tadi pagi.” “Sudahlah, Dan. Nggak apa.” Daniel sedikit lebih tenang mendengar perkataan lembut Stephanie. Kala kelopak mata Stephanie kembali terbuka, dihunjamkannya tatapannya matanya ke sana.  “Tapi, aku mau tanya deh, apa karena kejadian itu, maka kamu minta supaya aku nggak jemput kamu sorenya? Kamu beralasan ada kunjungan ke klien, kan?” tanya Daniel seiring tatap kecewa pada penghujung kalimatnya. Stephanie terbungkam. Daniel tidak bergeming barang satu mili meter pun. Pandangan matanya juga tak sedikit pun beralih dari paras Stephanie, seolah mencari jawaban di mata Gadis itu. Stephanie menjadi gugup. Pelan, Stephanie menurunkan kedua telapak tangan Daniel yang masih menangkup pipinya. Dia merasa butuh sedikit ruang sebelum bicara. “Enggak begitu, Dan. Aku memang ada kunjungan ke klien dan nggak balik ke kantor sore harinya. Tapi terus terang..,” Stephanie menunduk dan menggantung ucapannya. Keresahan tampak menggayut di parasnya. Daniel lekas meraih tangan Stephanie. “Kamu takut, Steph? Kamu takut Inge akan nekad menyakitimu, memburumu, dan mungkin menghancurkan karirmu?” tanya Daniel hati-hati. Stephanie mendesah lirih. “Hhh... Sejujurnya, enggak. Bukan itu yang aku pikirkan.” “Benar?” “Aku kan nggak selemah itu, Dan. Apalagi soal karir. Aku percaya, Orang-orang di kantor lebih mengenalku ketimbang mendengarkan ocehan Seseorang yang tahu-tahu muncul dan membuat rumor nggak sedap di tempatku bekerja,” kata Stephanie. Daniel tersenyum tipis. “Itu baru Gadisku. I’m very proud of you, Steph,” kata Daniel. “Kalau begitu bagus. Terus, ini muka kenapa mendung?” tanyanya setelahnya.   Stephanie menengadahkan wajah dan bertanya, “Apa nggak sebaiknya, kamu selesaikan dulu semua urusanmu sama Inge? Tuntaskan sejelas mungkin, biar terang benderang. Supaya ke depannya, enggak jadi beban untuk perjalanan kita? Aku yakin, masih ada yang perlu kalian berdua bicarakan, terlepas dari apa itu. Kalian berdua yang tahu.”   Daniel terdiam beberapa saat. Jadi, apa yang berusaha ditampakkan Inge ke aku, juga kata-katanya waktu itu palsu? Hmm..! Some people maybe never change. Ternyata, dia jauh lebih dominan sekarang. Heh, dominan? Itu lebih ke obses, dan menjurus ke psikopat. Huh! Bisa-bisanya aku dulu memutuskan mau bertunangan sama dia, pikir Daniel.    Betapa dirinya sepemikiran dengan Stephanie walau tanpa harus berunding secara terbuka. Hati mereka berdua tampaknya telah bicara di dalam sunyi.   “Steph, jujur saja. Sebetulnya aku bingung, apa aku masih ada urusan yang menggantung sama dia. Soalnya sewaktu di Kaifeng, rasanya sudah benar-benar selesai dan aku juga pulang dengan lega.” Stephanie mengedikkan bahunya. Daniel berpikir sesaat dan seperti teringat sesuatu yang penting. “Oh, iya, ada. Tentu saja aku masih punya urusan sama dia. Perkara dia melabrakmu seenak udelnya sendiri. Aku akan mempermasalahkan hal ini sama dia dan tanya, maunya dia apa sebenarnya,” kecam Daniel dalam gusarnya.   Stephanie menghela napas dan menggelengkan kepala, “Dan, please. Bukan itu maksudku. Tolong deh. Jangan salah mengerti. Juga jangan menambah persoalan baru, deh. Kelihatannya, Inge itu masih penasaran sama kamu. Kalimatnya jelas, nggak akan membiarkan kamu dengan siapa pun, yang lainnya. Kamu hanya boleh bahagia, kalau sama dia.” “Steph..,” sela Daniel. “Dan.., sorry kalau aku mikirnya kejauhan, tapi mendengar apa yang pernah kamu ceritakan, dan bahkan mengalami bertemu sendiri sama dia, aku khawatir dia pura cara-cara yang lebih ekstrem lagi dari yang sudah-sudah, untuk mencapai kemauannya.” Daniel memperlihatkan gestur menyimak. Stephanie melanjutkan dengan hati yang berat. “Katamu, Papamu sempat sakit, kan dulu, saat acara pertunanganmu sama dia gagal? Aku takut, dia akan meneror Papamu sekarang. Aku juga takut, kalau-kalau dia sampai menelusuri Keluargaku dan mengganggu mereka. Jujur saja, aku nggak rela, Dan. Dan, kamu tahu kan, belakangan ini banyak hal ruwet yang mengusik ketentraman Keluargaku. Kalau aku terus di sini, dia bisa nekad melakukan hal-hal macam itu. Kita nggak boleh egois. Jangan sampai Papamu atau Keluargaku yang menjadi Korban kemarahan Inge,” jelas Stephanie.   Mendengar uraian Stephanie, Daniel langsung memeluk Gadis itu. Hatinya benar-benar merasa tersentuh. “Sudah kuduga. Kamu itu selalu memikirkan orang lain.” Stephanie tak berkomentar. “Steph, aku pastikan dia nggak akan bisa melakukan hal-hal itu. Oke, supaya kamu tenang, akan kutemui dia di depan kedua Orang tuanya. Biar semuanya terang-benderang dan dia nggak bisa bertindak sesuka hatinya lagi. Aku curiga, jangan-jangan Orang tuanya belum tahu bahwa dia juga sudah punya Seseorang di Kaifeng sana. Yang penting Steph, kemantapan hati kamu. Aku mau kita berdua berjuang bersama untuk hubungan ini. Aku masih harus mendapatkan restu dari Keluargamu, kan?” bisik Daniel, membuat Stephanie mengangguk. Perlahan, Stephanie mengurai pelukan Daniel. “Sudah terjawab, kan, semuanya?” tanya Stephanie. “Iya. Itu bikin aku tenang. Tapi Steph, ke depannya, janji ya, jangan ada yang kamu sembunyikan lagi. Bicarakan denganku,” pinta Daniel. “Kamu juga, dong,” balas Stephanie. “Pasti,” Daniel mengelus rambut Stephanie.   “Nah, sudah beres ceritanya, kan? Aku mau mandi dulu. Gerah. Kamu enak, sudah sempat mandi, sudah pakai pakaian rumah,” cetus Stephanie dengan perasaan lebih lega.   “Oke. Sementara kamu mandi, aku acak-acak dulu dapurnya ya. Pasti ada bahan makanan yang bisa aku masak, kan?” tanya Daniel sambil melangkah menuju kulkas dan membukanya. “Apa? Kamu mau masak? Memamgnya bisa?” ejek Stephanie.   “Hmm..., kalau aku nggak pintar masak, nggak bakalan jadi Keponakan tersayangnya Tante Ann. Kalau dia pulang kerja larut malam, sesekali aku siapkan minimal sup ayam atau spaghetti bolognaise dan memaksanya untuk makan. Aku nggak rela kalau penyakit maag-nya sampai kumat kalau dia malas makan gara-gara sudah terlalu capek kerja seharian,” kata Daniel sambil mengeluarkan sayur dan daging dari dalam kulkas tanpa meminta ijin pada Stephanie. Stephanie membiarkannya. Pantas, kalau rupanya Tante-nya tersayang yang punya sejarah sakit lambung. Nggak heran kalau dia selalu cerewet soal mengingatkan makan. Dan juga selalu berlebihan kalau membelikan makanan, batin Stephanie pula. “Oh, ya? Tantemu yang kapan hari kamu kenalkan via skype ke aku itu?” tanya Stephanie takjub. Daniel menoleh dan tersenyum menatap Sang Kekasih. “Iya. Nanti, setelah urusanmu sama Keluargamu kelar, kita main ke Singapura juga ya. Biar kamu kenalan sama tante Ann secara langsung. Terserah kamu sih, mau ketemu sama Papaku dulu atau Tante Ann,” ucap Daniel. Stephanie mengangguk dengan matanya. Seolah satu persoalan berat telah mereka lampaui. Mereka tidak tahu saja, hanya dalam beberapa puluh menit ke depan, ada persoalan pelik yang menjelang. Datang tanpa diundang. * ^ *  Lucy Liestiyo  * ^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD