Big Questions (1)

1836 Words
Kendaraan yang dikemudiakan oleh Daniel segera meluncur di jalan raya. Beberapa saat setelahnya, kendaraan itu telah siap memasuki jalan bebas hambatan. Lantaran belum menemukan topik pembicaraan lain yang lebih pas, secara iseng Stephanie bertanya mengapa spelling nama perusaaan Daniel begitu unik. “PT Damar Son S-Sports. Rada anti mainstream ya?” gumam Stephanie pelan. Namun Daniel mendengarnya dan mesem kecil. Sementara di dalam diamnya Stephanie berpikir, barangkali ‘keunikan’ ejaan nama perusahaan Daniel yang satu itu ada hubungannya dengan nama mitranya, Siapapun orangnya. Stephanie memalingkan wajah dan memergoki Daniel yang masih senyum sendirian. Dan sialnya, mesemnya Daniel itu sungguh memesona. Dia jadi menaruh curiga, adakah Daniel memang sedang tebar pesona saat ini? Tebar pesona ke aku? Masa sih? Tapi bisa saja kan! kata Stephanie dalam hati. Lantas setelahnya dia malu sendiri dengan pemikirannya yang terkesan ‘gede rasa’ ini. “Kalau confidential tidak usah dijawab, lho Pak,” cegah Stephanie cepat. Alih-alih menjawab, Daniel malah melirik kesal padanya. Tak urung Stephanie mengerutkan keningnya. Kok gitu reaksinya? Aneh, niatnya aku kan, baik! Dumal Stephanie tak terucap. Daniel berdecak kecil dan menoleh kepada Stephanie. “Pak? Can you stop calling me ‘Pak’? At least, when there is no one except us. I’m not that old, Steph,” ucap Daniel. Lancar, tanpa tedeng aling-aling, seolah-olah mereka bredua telah saling mengenal belasan tahun lamanya. Stephanie terkesima. “Oh, sorry,” sesal Stephanie. Antara tak enak hati, takut, bingung, dan merasa canggung. Daniel yang telah mengarahkan pandangan matanya lurus ke depan, ke arah jalan, menyempatkan untuk memalingkan wajahnya lagi kepada Stephanie meski hanya sekilas saja. “Steph, jangan terlalu formal ya. Bisa, dong?” pinta Daniel dengan nada rendah. Namun terkandung keseriusan dalam kalimatnya. Maka Stephanie mengangguk saja. Habisnya, dia juga bingung harus bagaimana menanggapi permintaan Daniel ini. Belum pudar rasa bingung yang membelitnya, suara Daniel elah terdengar lagi menyapa telinganya. “Dan, jangan terlalu cepat menyerah. Aku baru mau jawab, tapi kamu sudah buru-buru bilang nggak usah,” tambah Daniel kemudian. Nada suara Cowok itu datar saja. Cenderung lembut, malahan. Tapi tiada kesan merayu. Atau bisa saja, belum? Juga tak tersirat bahwa dirinya tengah menasehati, atau lebih parah dari itu, memerintah. Stephanie jadi susah memadankan figur Daniel dengan siapa. Mendiang Papanya? Uh, beda banget menurutnya, sembari menahan agar senyum kecutnya tidak terkembang. Bobby? Tentu saja sangat tidak mirip. Di mata Stephanie, Kakaknya yang itu rada kasar. Lantas dia membayangkan Ardi, Kakaknya yang lain. Dcukup satu detik, hati kecil Stephanie telah membantahnya. Bagi Stephanie, Ardi memang agak pendiam sih, tetapi cara bicara Ardi lugas kok, jarang ada persuasifnya. Maka terakhir yang ia bayangkan adalah Ryan, Adiknya? Stephanie langsung menggelengkan kepala secara samar. Ah, dia lagi! Celetak-celetuk, bisanya. Ataukah.., justru mirip mendiang Mama? Sampai di pemikiran ini, kesedihan menyergap Stephanie. I dunno exactly. But the fact is, I miss her sobad. Rindu setengah mati. Hidupku aneh, tanpanya. Masih bagus aku tidak gila, sampai detik ini, jerit hati Stephanie. “Masih perlu dijawab nggak, pertanyaannya soal nama perusahaan?” tanya Daniel, membuyarkan keterdiaman di antara mereka. “Kalau tidak keberatan,” jawab Stephanie segera. Gadis ini sungguh berusaha menguasai diri sembari menghalau bayangan sejumlah Orang terdekat yang hadir si sepanjang hidupnya. “Damar itu singkatan namaku, Daniel Marcello. Lalu, Son dan S di depan kata Sports itu maksudnya..,”  Daniel menjea kalimatnya. Mendadak Daniel tertawa geli sebelum melanjutkan, “anaknya Sanjaya.” Stephanie terhibur mendengarnya. Kesedihan yang tadi menyergapnya, berangsur pergi. Dia tersenyum simpul. “Wow. Terima kasih atas pencerahannya. Berarti ini perusahaan pribadi, ya?” tanya Stephanie. Ia berpura-pura tak tahu, bahwa Daniel bermitra dengan pihak lain. Faktanya, sebelum memprospek sebuah perusahaan, biasanya kan dia sudah melakukan riset seperlunya. Daniel menggeleng. “Enggak juga. Ada dua mitra, selain Pak Agustin. Satunya, pemilik lahan pabrik yang tadi kita survey. Dia kesulitan keuangan, sehingga aku mengambilalih tiga perempat lahan pabriknya, dan membelinya. Satunya lagi.., coba tebak, siapa?” tanyanya. Stephanie diam satu dua detik, berpikir. “Eng.., nggak begitu yakin, sih. Pak Johnson?” tebak Stephanie. “Cerdas, Steph! Atau, Pia yang cerita?” selidik Daniel. Stephanie menggeleng. Daniel terkagum. “Wah! Nggak nyangka kamu mikir sampai ke sana. Jarang ada yang menyangka begitu, sih,” ungkap Daniel seadannya. “Oh, ya? Tapi kalau diperhatikan bahasa tubuh Pak Johnson itu sangat percaya diri kok, enggak berlebihan, begitu, ke Pak Daniel,” komentar Stephanie ringan. Mendadak Daniel merengut. Melihatnya, Stephanie buru-buru meralat, “Maaf, salah asumsi. Maksudnya, Pak Johnson itu nggak terlihat inferior saat berkomunikasi tadi, begitu.” Daniel masih saja tidak menyahut. Stephanie makin tak enak hati. “Pak Daniel..,” panggil Stephanie pelan. Daniel mengembuskan napas, mengerling sesaat. “Steph,” ujar Daniel serius. Dada Stephanie berdesir. Jantungnya sudah jedag jedug tak karuan. Seperti Seseorang yang menanti sebuah pernyataan yang akan mengejutkan dirinya saja. “Kamu itu pandai menganalisa gestur dan ekspresi orang. Kamu bisa kepikir Pak Johnson itu mitraku. Dan kenyataannya, Dia memang sudah belasan tahun malang melintang di bidang produksi sepatu dan perlengkapan olah raga lainnya. Modal yang lebih dari cukup buat aku tarik menjadi mitraku walau tak perlu mengeluarkan uang barang sepeserpun. Tapi lucunya.., kamu nggak cukup peka, ya, kalau aku nggak suka, dipanggil ‘Pak’? Padahal aku sudah sebutin secara verbal, tadi,” tegas Daniel. Dua kalimat terakhir Daniel membuat Stephanie bak ditampar keras. Rasanya lebih pedas ketimbang perkataan mendiang Papanya dulu, atau cercaan Hera, istrinya Bobby, yang seperti mendapat suntikan energi beribu watt selepas kepergian Mama tercintanya untuk selamanya. Hera Kakak iparnya tersebut seperti cacing kepanasan, melihat Stephanie masih berkantor di Prasaja Bersaudara waktu itu. Stephanie memejamkan mata dan menghela napas panjang. “Maaf ya, Daniel. Aku hanya.., agak rikuh saja. Rasanya tidak sopan dan tidak benar, memanggilmu hanya dengan nama begini. Tapi baiklah, akan kubiasakan,” ucap Stephanie dengan gaya khas best marketing - nya di kantor. Dalam pemikiran Stephanie, apa sih, yang tidak bisa diberikan kepada Prospek? Selama tidak melanggar hukum, tidak merendahkan harga diri dan kehormatan? Ya, toh? Sesederhana itu. “Kalimat ke satu dan ke dua, abaikan. Kalimat ketiga, I agree. Nah, biasakanlah mulai sekarang, Steph,” pinta Daniel. “Oke,” sahut Stephanie ringan, mengundang tawa tulus Daniel. Dalam hati Stephanie mengeluh. Ya ampun, Daniel ini! dia sadar nggak sih, dia sudah menebarkan jaring cinta, dan aku curiga jangan-jangan aku telah tertangkap sekarang ini. Yes, I am the willing victim! Tiada usaha untuk menghindar. Setidaknya saat ini. “Good,” sambut Daniel senang, seraya menepuk-nepuk pundak Stephanie dengan hangat. Jantung Stephanie nyaris melompat keluar rasanya akibat sentuhan fisik yang lumayan intens itu. Tapi itu belum seberapa. Ada yang lebih mengejutkan. Waktu Stephanie mencuri pandang padannya, didapatinya wajah Daniel teramat semringah. Stephanie jadi bertanya-tanya dalam diam, adakah mata Stephanie masih normal dan jujur? Dan ya, dia dapat mengonfirmasi sendiri bahwa diatidak salah lihat. Ekspresi wajah Daniel itu, sama persis dengan wajah Ryan, kala menceritakan tentang Eleonara, Gadis yang ditaksirnya sewaktu duduk di kelas 7. Atau Saskia, Teman sekelas Ryan saat kelas 10 dan 11, yang dikejar oleh Adiknya itu setengah mati sampai pakai acara rutin nge-gym segala supaya terlihat lebih macho kala bermain basket dan berkempatan memamerkan otot bisepnya dengan sengaja memakai t-shirt tanpa lengan. Juga, Bu Jenny, Asisten dosennya Ryan yang dikatakan oleh Ryan sebagai type Gadis pujaannya. Tak ketinggalan pula, Seorang Kandidat Staf keuangan yang dibilang Ryan sungguh kesia-siaan kalau ‘ditaruh’ di back office. Kala itu Ryan, bahkan menyebut bahwa Kandidat tersebut terlampau benin dan sudah sepaturnya ditawari menjadi bagian Marketing, Public Relation atau menjadi Sekretarisnya saja. Stephanie digoda pertanyaan tak terucap, jadinya. Daniel ini kenapa sih? Lagi kesengsem sama Siapa? Masa aku? “Kamu tinggal sama siapa, Steph?” tanya Daniel tiba-tiba, bertepatan mendekatnya kendaraan Daniel ke antrian menuju keluarnya mereka dari jalan bebas hambatan. “Hah?” sahut Stephanie terkaget. Iya lah, dikiranya Daniel hendak menanyainya perihal kesannya seputar situasi pabriknya, atau pendapatnya mengenai berapa banyak kebutuhan mesin yang bisa dipenuhi, untuk produk retailnya. Namun pertanyaan yang dilontarkan oleh Daniel justru beda sama sekali. Daniel menoleh, lantas tertawa kecil. “Nggak usah dijawab, deh. Nanti juga aku bakal tahu. Ngomong-ngomong, kamu  punya ide nggak, mau makan apa? Aku lapar,” kata Daniel sembari menepuk-nepuk perutnya. Stephanie kaget lagi untuk kesekian kalinya. Tak terhindar, hati Stephanie auto berbisik, “Apa sih ini? Ajakan kencan? Ya, makan malam itu boleh dikategorikan kencan, dong?” “Apa, Steph? Yang searah rumah kamu, mungkin?” tanya Daniel lagi, sambil men-tap e-toll card-nya. “Daniel lagi kepengen makan apa?” tanya Stephanie dalam gugup. Dan Stephanie merasa aneh, menyebut nama Cowok itu. Lebih kaget lagi begitu mendengar dan meresapi sendiri, betapa lembut suaranya. Sebaliknya, Daniel tersenyum senang. Dan andai saja Stephanie mencermati, paras dan tengkuk Daniel sedikit memerah. Seolah-olah ada darah yang dicipratkan ke dua bagian itu. Namun bukan Daniel Marcello Sanjaya namanya kalau semudah itu membiarkan dirinya tertangkap basah tengah tersipu malu di hadapan Seorang Cewek yang dibiarkannya mencubit lembut hatinya. “Nah, gitu dong Steph. Hm, baru sekali ini aku merasa namaku begitu bagus. Enak banget dengarnya, soalnya kamu sih yang ngucapin,” komentar Daniel setelahnya, sukses membuat Stephanie dilanda grogi yang berat. Stephanie juga curiga, jangan-jangan rona merah mulai menjalari parasnya saat ini, saking jengah. Ini dia.. lagi ngegombal, kah? Ke aku? Wuah, apa dia begini ke semua Cewek yang baru dikenalnya? Mengerikan sekali! Jangan-jangan, sudah nggak terhitung jumlah Cewek yang dibuatnya patah hati. Kira-kira berapa di antara mereka yang mengancam mau bunuh diri segala? Batin Stephanie. Secara sembunyi Stephanie melirik ke jemari Daniel yang berada di atas kemudi. Tampaknya aman, tidak ada cincin kawin melingkar di sana. Semua jari Daniel polos saja, tanpa dilingkari oleh cincin. Ya memang sih, hasil penelusurannya di dunia maya juga tidak menyebutkan bahwa Daniel sudah menikah. Namun sejujurnya, Stephanie sendiri agak meragukan informasi itu. Pemikiran yang wajar, kan? Pikirnya, dengan kualitas setinggi ini, masa Daniel belum punya Seseorang saat ini? It is too good to be true! Dan apabila Daniel itu mempunyai kecenderungan untuk menyukai yang sejenis, Stephanie yakin Cowok itu tidak akan bersikap seperti sekarang kepadanya. Ah, Stephanie juga pernah membaca kok, kira-kira seperti apa gerak-gerik mereka yang mempunyai kecenderungan untuk tertarik kepada yang satu jenis dengan mereka. Stephanie malahan pernah mendengar langsung dari mereka saat dirinya masih kuliah dulu. Dan menurut hasil pengamatannya, Daniel bukanlah golongan mereka. Alias, Daniel ini sukanya masih dengan kaum Cewek. “Makan apa, ya? Eng.., Steph, kamu ada pantangan makan sesuatu, nggak?” Daniel yang balik bertanya kepadanya, membuyarkan pemikiran Stephanie tentang Cowok itu. Dalam diam Stephanie bersyukur, sebab Daniel tak menyadari saltingnya. “Enggak, sih,” jawaban Stephanie sungguh melegakan Daniel. “Termasuk kalau misalnya, makan di pinggir jalan?” goda Daniel. Merasa tertantang, Stephanie setengah melempar tangannya ke udara dan menyahut, “Why not?” Daniel manggut-manggut senang dan berkata, “Jarang ada Cewek berpenampilan semodis kamu, mau-maunya diajak makan di pinggir jalan.” Hampir saja Stephanie kelepasan bertanya kepada Daniel, “Memangnya ada berapa Cewek sih, yang sudah kamu ajak makan?” Err... maksud Stephanie, berapa ratus Cewek, mungkin. * $ $   Lucy Liestiyo   $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD