First Impression

2076 Words
Segalanya tampak baik-baik saja, selama kurang lebih enam hingga tujuh menit mereka berdua dalam perjalanan menuju kediaman Stephanie. Semua berjalan sewajarnya. Tetapi tidak demikian halnya, ketika Daniel membukakan pintu untuk Stephanie dan tatap Gadis itu terbentur pada Sosok yang berdiri di luar pagar. Sosok yang sepertinya telah lumayan lama menanti kedatangannya. Sosok itu menghampiri Stephanie. “Steph, baru pulang? Nih, kunci mobilmu. Nena kasih ke aku, pas aku datang tadi,” kata Sosok itu. Stephanie menerima kunci mobil yang diserahkan ke tangannya. Rupanya, Nena, salah satu Anak kost di situ pulang kerja on time hari ini. Buktinya, dia yang menerima kedatangan Orang yang mengantar mobil Stephanie. “Kak Ardi, kok tumben,” sapa Stephanie rikuh, mendapati pandangan menyelidik Kakaknya, ke arah Daniel yang berdiri tepat di sisinya. Tak perlu bertanya pun Stephanie langsung paham, apa yang harus dilakukan. Buyar sudah rencananya untuk mengajak Daniel singgah sebentar dan meneruskan obrolan mereka di teras paviliunnya. Pikirnya, ini bukan momen yang tepat. “Err.., kak Ardi, kenalkan, ini Daniel. Daniel, ini Kak Ardi, Kakakku nomor dua,” ucap Stephanie. Dua Pria dewasa itu saling berjabat tangan, sembari menyebutkan nama mereka masing-masing. “Masuk saja, Dan, lewat sini,” ajak Ardi ramah sambil menunjuk ke salah satu arah, membuat Stephanie sontak terperangah. “Eng, kak Ardi..,” ucap Stephanie ragu. Tidak, dia tak mau kalau sampai Ardi berpikir macam-macam, minimal mencari tahu sejauh mana hubungannya dengan Daniel. Ini, sama sekali tidak sama dengan yang dipikirkannya! Heh, apa? sejauh mana? Ngelindur, deh, aku ini, pikir Stephanie, menegur dirinya sendiri di dalam diam. “Oh, ya, terima kasih, Kak Ardi,” sambut Daniel hangat. Mendengar betapa fasilnya Daniel menyebut ‘Kak Ardi’, Stephanie terusik. Alis Gadis itu sedikit terangkat jadinya. Saat melewati carport, Stephanie melihat kendaraan Ardi terparkir tepat di sebelah Toyota Fortuner miliknya. Menyadari pintu paviliunnya masih terkunci, Stephanie mendahului langkah Daniel dan Ardi. “Ya ampun...,” sesal Stephanie lirih. “Kenapa?” tanya Ardi. “Kak Ardi belum masuk, dari tadi? Nggak bawa kunci serep, memangnya? Atau, minta dibukain sama Bi Sum gitu lho?” tanya Stephanie sembari memutar anak kunci pada lubang di daun pintunya. Pintu paviliun segera terkuak. Sebuah ruang tamu dengan sofa berbentuk L terlihat. Tampak praktis dan minimalis, tidak banyak furnitur lain yang ada di dalamnya kecuali meja tamu dan sebuah credenza. “Nggak,” sahut Ardi singkat. Terkesan santai. “Kalian mau ngobrol di mana? Di teras, atau ruang tamu?” tanya Ardi pada Stephanie dan Daniel. “Di ruang tamu saja, ya,” kata Ardi sebelum pertanyaannya dijawab. Bola mata Stephanie berputar. Dia tidak yakin akan mengundang Daniel masuk sampai ke ruang tamu, sebetulnya. Sekali lagi, otaknya memperingatkan, “Ini – terlampau - dini.” Pun begitu dia tahu, alangkah tidak sopannya, kalau terang-terangan mengatakannya di depan Cowok itu.             “Kak Ardi tolong temani Daniel ngobrol sebentar ya. Aku mau ke dalam, ganti baju sekalian ambil minum.” Entah bijaksana atau tidak, keputusan mendadaknya ini.             “Oke. Dan, duduk saja,” kata Ardi mempersilakan. Tangannya meraih remote ac yang tergantung di dinding, dan memencet tombol power, lantas menutup pintu ruang tamu . “Terima kasih, Kak Ardi. Steph, laptopnya?” ucap Daniel pada dua orang sekaligus. “Oh, iya, ya. Sampai lupa,” Stephanie mengambil tas laptop yang disorongkan Daniel. Lalu katanya, “Thanks. Aku tinggal sebentar, ya.” Dari kamarnya yang langsung berbatas dinding dengan ruang tamu tersebut, Stephanie mendengar dengan sayup-sayup, percakapan Daniel dengan Ardi. Tak dapat disangkalnya, dia gelisah. Dia takut, apa bila Ardi akan menilainya terlalu mengundang bahaya, sebab membiarkan Seseorang yang baru saja dikenal, mendadak sudah kesana kemari dengannya seharian. Entah mengapa, semenjak kepergian sang Mama, Stephanie merasakan bahwa Ardi lebih menaruh perhatian padanya. Ardi juga pernah menyarankannya agar tinggal di apartemen saja ketimbang di rumah ini. Pertimbangan Ardi, keamanan Stephanie lebih terjamin, dibandingkan harus tinggal sendirian di tempatnya yang sekarang. Opsi ‘tinggal di apartemen’ dilemparkan Ardi sebab dirinya tahu, akan sia-sia untuk membujuk Stephanie agar kembali ke rumah yang dulu, atau tinggal di rumahnya yang terletak di kawasan Pejaten. Orang tua mereka kan mempunyai sejumlah apartemen, dan Stephanie tinggal pilih, mana yang terdekat dengan kantornya dan kebetulan tidak sedang disewakan. “Aku nggak sendirian, Kak Ardi. Kan, ada Anak-anak kost. Bi Sum, juga tinggal di rumah induk, menemani Tarsiyah dan mengurus rumah. Ada tukang kebun yang datang seminggu dua kali. Dan amit-amit, kalau misalnya ada apa-apa, rumah pengurus Rukun Tetangga itu hanya sejauh lemparan batu. Pos jaga Satpam juga berseberangan, sama rumah ini. Kurang aman apa?” tolak Stephanie tegas, saat itu. Ketika mendengar Daniel dan Ardi mulai membicarakan pekerjaan masing-masing, Stephanie serasa mendapat serangan jantung ringan. Tidak. Dia tak mau semua terbuka secepat ini. Pantang baginya membuat Daniel berprasangka macam-macam atas dirinya serta keluarganya, sementara dia juga tak ingin Ardi tahu terlalu banyak tentang Daniel, bahkan di perjumpaan pertama begini. Stephanie menggeleng keras. “Tidak. Ini, hanya hubungan kerja, kan? Meskipun tadi.. ah, sudahlah!” gumam Stephanie pelan. Lantas ia mempercepat gerakannya mengganti baju dan segera menyelinap ke dapur. Dibatalkannya niatnya membuka pintu penghubung dan memanggil Bi Sum. Ia memutuskan untuk mempersiapkan air minum sendiri buat Daniel dan Ardi. Bila saat di warung, Stephanie yang terpana melihat bagaimana Daniel membawa dua mangkuk es podeng, kini gantian sebaliknya. Menyaksikan Stephanie yang telah berganti pakaian rumah, yakni blus round neck putih polos dengan lengan tumpuk, dipadu dengan celana kulot selutut warna hijau dan membawa nampan berisi dua buah cangkir yang menguarkan aroma kopi serta satu toples oat cookies yang diletakkan di meja tamu, Daniel dihinggapi perasaan aneh. Mendadak saja, angan Daniel melambung kemana-mana. Tak terelakkan, Ia membayangkan Gadis ini berada di rumahnya, rumah masa depannya. Daniel membayangkan, setiap sore Gadis di depannya ini menyongsong kepulangannya dari kantor, dengan senyum segar dan pelukan hangat, juga sejumlah kudapan yang disiapkan bagi Suami tercinta yang baru saja pulang dari bekerja. Ia lantas membayangkan pula, Stephanie mengisi quality time mereka dengan telinga yang siap untuk mendengarkan apa saja yang Daniel hadapi seharian di kantor, dan mulut yang kemudian berkisah tentang apa saja yang di kerjakan sepanjang hari di rumah. Di luar kendalinya, Daniel menelan ludah, seiring suara hatinya yang mengejeknya, “Eit, sebentar, deh! Suami tercinta? Hallo? Masih sehat, Dan? Kalau mgnkhayal jangan ketingian deh!” Lamunan indah itu buyar saat terdengar deheman Ardi. Padahal, Daniel sedang terpesona, lagi, dan berpikir, bagaimana seorang Stephanie, dalam balutan busana yang sesederhana ini, tetap memukau? Dan betapa beruntungnya dia, dalam sehari bisa melihat Stephanie yang dalam dua versi teramat berbeda. “Bi Sum kemana, Steph?” tanya Ardi, mendapati Sang Adik membawakan sendiri minuman untuk dirinya dan Daniel. “Belum ketemu. Paling di sebelah, sama Tarsiyah. Diminum Dan, Kak Ardi,” sahut Stephanie. “Kalian berdua ngobrol dulu, ya,” Ardi menampakkan gelagat akan bangkit dari duduknya. “Eh, ngobrol bertiga saja, Kak,” sambar Stephanie cepat. “Iya, Kak, lagi pula, saya nggak lama, kok. Nanti sekalian mau singgah ke rumah orang tua saya,” Daniel menimpali. “Yakin, kalian nggak terganggu kalau ada aku?” Ardi melempar pertanyaan tak penting. “Sama sekali enggak,” sahut Daniel dan Stephanie bersamaan, sampai membuat mereka sendiri terkaget lantas tertawa. Sementara Ardi, selintas menatap mereka berdua, bergantian. Maka perbincangan ringan mereka lanjutkan. Baik Stephanie maupun Daniel tak sadar, atau mungkin lantaran terlarut dalam suasana santai, Ardi diam-diam mencari informasi melalui kawan-kawannya yang berprofesi sebagai jurnalis infotainment, mengenai Daniel. Nama Sanjaya yang tertera pada kartu nama yang didapatnya dari Daniel, tentu mengusiknya. Sedikit berbeda dengan nama Prasaja yang dibaca Daniel pada kartu nama yang diberikannya kepada Daniel. Bisa saja sih, selintas tanya mengapa nama belakang Stephanie berbeda dengan orang yang dipanggilnya ‘Kak’ serta mengapa Stephanie bekerja pada orang lain, hinggap di  pikirannya. Tetapi, detik ini semua tersingkirkan oleh daya tarik Stephanie. Beberapa menit mereka habiskan dengan obrolan ringan, hingga tiba saatnya Daniel berpamitan. Ardi tidak menunjukkan perubahan sikap, hingga turut melepas kepergian Daniel hingga di depan pintu pagar. Satu hal yang dapat dibacanya, hal yang terlampau kentara, terkirim dalam tatap mata Daniel, Cowok itu naksir Stephanie! Naksir berat, malahan! “Kak, tadi Kak Ardi belum jawab, kok tumben kemari nggak bilang-bilang dulu?” tanya Stephanie sekembalinya mereka ke ruang tamu. Diempaskannya pantatnya ke sofa. Ardi duduk tepat di sebelahnya. Ardi menatap adiknya selintas dan bertanya, “Kamu nggak suka, aku kemari? Kamu merasa terganggu, ya?” Stephanie buru-buru menggeleng. “Salah banget, Kak. Aku justru kasihan, Kak Ardi kelamaan nunggu aku. Eh, apa kabarnya Kak Cleo?” Stephanie menyebut istri Ardi, yang dinikahi Kakaknya itu hanya lima bulan sebelum Mama mereka berpulang. Kakak iparnya yang satu itu, diketahuinya paling sayang dan banyak mendampingi Mamanya, saat dirawat di rumah sakit menjelang akhir hayatnya. Ardi memangku kaki kakinya, menggoyang-goyangkannya dengan lembut. “Baik. Dia kirim salam buatmu. Kamu main, dong, ke rumah, nginap di sana kalau weekend  biar bisa ngobrol-ngobrol santai,” sahut Ardi. “Salam kembali, Kak. Iya, nanti. Sekarang lagi repot, banyak target penjualan yang harus dipenuhi,” jelas Stephanie. Tidak ada maksud apa-apa di dalam kalimatnya. Itu sama sekali bukan ungkapan bahwa dirinya terbeban. Namun Ardi merasa tertohok. “Steph..,” Mendadak suara Ardi terdengar demikian serius. “Ya, Kak Ardi?” sahut Stephanie seraya menoleh. “Kamu bahagia, sama kerjaanmu yang sekarang?” tanya Ardi. “Tentu saja, Kak. Pakai tanya segala,” jawab Stephanie dan tersenyum kecil. “Kalau ada masalah, atau perlu sesuatu, kamu harus bilang ke aku atau Cleo, ya,” pinta Ardi sungguh-sungguh. Mata Ardi menatap dengan intens bola mata Stephanie, bagai hendak mengorek dan mencari tahu, adakah hal yang disembunyikan oleh Sang Adik. “He eh,” sahut Stephanie enggan. Tangan Ardi kemudian terulur, membelai rambut Stephanie. “Soal wasiat Papa. Kadang-kadang aku menyesalinya, dan merasa sangat bersalah. Semestinya aku nggak berhak untuk mendapatkan apa-apa,” ujar Ardi. Wajah Stephanie langsung bagai tertekuk, mendengarnya. “Kak, sudah lah. Jangan pernah bilang begitu lagi. Kita ngomongin yang lain saja, boleh?” pinta Stephanie serius. Ardi pun memaksakan sebuah senyum. “Eh, Kak Ardi, mau cobain puding buah, nggak? Tadi pagi aku sempat bikin, sebelum berangkat ke kantor.” Stephanie mendadak teringat puding buatannya. Diam-diam dia menyesal, mengapa tak menghidangkannya pada Daniel tadi. Pikirnya, bukannya itu akan bisa mendongkrak nilai tambahnya di mata Daniel. What? Nilai tambah? Hati kecilnya mengoloknya lagi. Stephanie jadi jengah sendiri, dengan pemikiran yang melintas tanpa permisi ini. “Kok tumben, rjadi ajin ke dapur, sekarang? Ada hubungannya sama Daniel, ya?” olok Ardi spontan, membuat pipi Stephanie langsung memerah. “Ih, ya ampun, jangan mikir yang macem-macam, deh. Nggak ada hubungan apa-apa, kok. Aku itu menawarkan mesin bordir komputer ke perusahaannya. Dia mengajak aku meninjau ke pabriknya. Sebatas itu, kok. Nah, aku ambilkan dulu sebentar pudingnya,” elak Stephanie. Ia buru-buru membebaskan diri dari rasa jengah yang lebih parah lagi. “Ada hubungan pribadi juga boleh, kok. Sepertinya orangnya baik, Steph,” gumam Ardi sebelum Stephanie beranjak dari ruang tamu. Akan tetapi, disesalinya gumamannya barusan, begitu diterimanya pesan masuk dari sejumlah Rekannya yang merupakan wartawan infotainment. Dia berharap, Stephanie tak sempat mendengar gumamannya, apalagi menganggapnya sebagai ‘lampu hijau’. From : Ferdi Di, ada apa mau cari tahu tentang Si Putra mahkotanya clan Sanjaya itu? Bukan karena you punya orientasi yang menyimpang, kan? Secara, istri you cantik, baik dan enggak neko-neko, gitu? He he he..., bercanda Bro. But anyway, ini beberapa link-nya : https ://www.not.just.gossip/2016/02/15/pertunangan-tersingkat-clan-Sanjaya-Daniel-Marcello-Sanjaya-punya-wanita-lain? https://2016/02/16/hari-kasih-sayang-terburuk-bagi-Daniel-Sanjaya-dan-Inge-Nastasia-Wijaya https ://sst.sst.sst.blogspot.com/2016/03/01/kutuk-keluarga-Sanjaya?-pertunangan-gagal-hubungan-bisnis-clan-Wijaya-dan-Sanjaya-terancam-hancur! https ://jangan-bilang-bilang.blogspot.com/2017/02/buntut-kandasnya-pertunangan-putranya-Agustin-Reynand-Sanjaya-sakit-parah.-Disantet? https ://www.dibuang-sayang/2016/02/16/Daniel-Marcello-Sanjaya-the-bad-guy-yang mencampakkan-Inge-Nastasia-Wijaya-demi-kekasih-masa-lalunya? https ://www.highlight.arround-us.com/Daniel-Marcello-Sanjaya-single-lagi-gals! https ://bisikin.aku.dong/Daniel-Marcello-Sanjaya-paket-komplit-high-quality-jomblo-tajir-cerdas-religius-humblenya-seperti-sang-ayah https ://curhatan.dalam.hening.blogspot.com/2016/05/16/masih-betah-melajang-apakah-benar-hubungan-Daniel-dan-mantan-tunangan-sudah-membaik https ://www.cuma.buat.pembanding.com/2017/06/01/benarkah-Daniel-dan-mantan-tunangannya-kembali-menjalin-kasih? https ://kikan.blogspot.som/2017/03/19/Benarkah-Daniel-menduakan-sang-tunangan-semenjak-awal-hubungan-mereka? From : Lestari Sezcha Ngomongin sosok Daniel Marcello Sanjaya yang anti publikasi dan paling ogah diwawancara soal kehidupan personalnya itu memang nggak ada habisnya, sih Di. Gue email-in beberapa artikel yang berhasil gue scan, ya. Soalnya beberapa link-nya juga sudah nggak bisa diakses, entah mengapa. Itu pun, sebagian besar dari media luar. Ya isinya nggak jauh dari menyoal prestasi akademiknya dulu, juga kesuksesannya ‘bertaruh’ menginvestasikan dana di bursa efek, sebelum dia nyemplung ke bisnis keluarganya. Banyak yang beropini bahwa itu adalah salah satu caranya dia untuk membuktikan diri bahwa dia nggak sekadar nebeng kesuksesan Bapaknya. Ada apa Bro, mau ada kerja sama dengan grup Sanjaya, ya? Menurutku, ambil saja. Kredibilitas mereka bagus, kok. Masih terdapat beberapa pesan lagi. Ardi tak membuang waktu. Jari jemarinya segera menelusuri segenap informasi yang didapatnya. Semakin banyak dia membaca, semakin kecut ekspresi wajahnya. Kesan positif terhadap Daniel yang sempat terbersit dalam perbincangan singkat mereka, perlahan memudar. Dan begitu saja tergantikan dengan kewaspadaan yang berbalut sedikit cemas. * ^ *  Lucy  Liestiyo  * ^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD