“Pa,” panggil Bu Chelsea ketika tiba di depan Sang Suami.
Pak Victor hanya mengangkat wajah sedikit, lalu kembali menatap layar laptopnya. Enggan menyahuti panggilan Sang Istri.
Bu Chelsea tak menyerah. Dia merasa sudah kepalang tanggung. Lekas ia menarik kursi yang berada di seberang meja kerja Pak Victor dan mengempaskan pantatnya ke atas kursi.
“Pa, ayolah. Ada yang perlu dibicarakan,” kata Bu Chelsea dengan nada membujuk. Mati-matian dia merendahkan hatinya, demi tujuan untuk mendapatkan dukugan Sang Suami. Dipikirnya, jika dirinya sudah tidak didengarkan oleh Sang Putri, Siapa tahu Suaminya yang didengarkan.
Sang Suami menatapnya.
“Apa?” tanya Pak Victor dengan suara yang lebih melunak.
Bu Chelsea menutup layar laptop Pak Victor. Pak Victor membiarkannya.
“Inge, Pa.”
“Iya, dia kenapa?”
Sebuah pergumulan terjadi di dalam hati Bu Chelsea. Akhirnya dia memutuskan sesuatu hal yang berat baginya.
“Mama nggak sengaja mencuri dengar pembicaraan Inge sama Temannya. Anak itu..., datang ke Jakarta untuk mengurus kelengkapan dokumen. Sepertinya Temannya itu sudah mengingatkan dia terus. Artinya..,” Bu Chelsea menjeda kalimatnya.
Pak Victor mendesah.
“Ma, berat buat Papa untuk mengatakan hal ini sebetulnya. Itu artinya, benar apa yang dikatakan Daniel ke kita kan?”
Kontan Bu Chelsea membisu. Tak sudi dia mengakuinya.
“Papa tolong cegah Pa, jangan kasih dia pergi lagi. Buat apa sih! Mama takut, kalau-kalau dia dan... Si Bule Kere itu sampai melakukan hal-hal yang nggak semestinya. Mana mereka berdua tinggal jauh dari kita, di Asrama yang sama, lagi,” ucap Bu Chelsea lirih.
Pak Victor terperanjat. Dia tak menyangka Sang Istri bahkan telah mengetahui kebenaran bahwa Putrinya sungguh-sunguh telah menjalin hubungan dengan Seseorang yang berbeda budaya dan bangsa.
“Maksud Mama, yang bagian itu juga benar?”
Bu Chelsea mengangguk pendek.
“Sepertinya.”
“Papa nggak akan kasih dia untuk pergi lagi,” ucap Pak Victor cepat.
“Nah, itu yang Mama mau. Tolong Pa, bicara sama dia.”
“Papa belum selesai. Papa nggak akan biarkan dia pergi, kalau kepergiannya membahayakan dia. Apalagi dia sedang galau untuk kedua kalinya. Tapi kalau kepergiannya itu membuat dirinya lebih baik, akan Papa ijinkan. Papa mau cari tahu dulu jati diri Orang yang sedang menjalin hubungan sama dia.”
“Papa ini bagaimana sih? Enggak! Mama nggak rela. Pokoknya Inge itu harus mendapatkan Pengganti Si Cowok b******k itu dengan kualitas yang jauh lebih baik. Bisa-bisa kita semakin dihina Pa, kalau sampai Keluarga mereka tahu Inge itu berpacaran sama.... uh! Entahlah Siapa itu. Mama nggak sudi. Bisa habis Mama dilecehkan sama Teman-teman Mama. Bisa direndahkan Keluarga kita.”
“Mama ini kenapa yang dipikirkan hanya diri Mama? Pernah nggak sekali-kali memikirkan perasaannya Inge? Pernah tanya ke dia, apa yang dia mau?”
“Selalu, Pa. Papa pikir, Siapa yang selalu berdiri di depan dia, membela semua kepentingan dia? Mama!”
“Dan itu yang membentuk perangai Inge menjadi seprti sekarang ini. Kita nggak tahu jangan-jangan dia juga tertekan sama harapan-harapannya Mama.”
“Kenapa Papa malah menyalahkan Mama? Mau tahu Siapa yang paling salah? Tuh, Anaknya Pak Agustin! Kalau saja dia nggak mengeccewakan Inge, nggak mungkin dulu itu Inge nekad pergi. Dan nggak mungkin Inge jadi kenal dan akhirnya dekat sama Teman Asramanya yang ini. Dan kalau saja dia setia, nggak berselingkuh sama Cewek murahan yang mau-maunya tinggal satu atap dengannya, nggak mungkin Inge jadi berpikir untuk kembali ke Kaifeng lagi. Inge pasti akan nyaman berada di sini, dan mulai memegang salah satu Anak Perusahaan Papa.”
Pak Victor menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Cukup ya Ma. Berhenti menyalahkan Orang lain. Mungkin Papa sendiri juga salah karena seringkali menuruti kemauannya. Dan jangan lagi mengungkit tentang masa lalu. Anggap saja mereka berdua memang sudah tidak berjodoh. Daniel benar kan, mereka berdua sebetulnya sudah sama-sama move on. Mama yang belum.”
“Enak saja.”
“Mama tahu sekarang, Si Cowok b******k itu nggak suka sama Cewek baik-baik seperti Inge. Dia sukanya sama yang genit, yang mau menjadi Teman tidurnya.”
“Astaga, Ma! Berarti benar, Mama yang masih mengharapkan Daniel menjadi bagian dari Keluarga kita.”
“No way!”
“Kalau begitu, berhentilah menyangkut pautkan sesgala sesuatu dengan Daniel. Mama itu menuduh dia. Belum tentu dia seperti itu. Dan seandainya dia memang seperti itu, itu urusan dia, Ma. Bukan urusannya kita. Sudahlah, yang harus kita urusi itu Inge. Malahan seharusnya kita berterima kasih sama Daniel, yang masih mau-maunya terbang begitu jauh menemui Inge untuk menyampaikan pesan Mama. Dia juga masih bisa menahan diri selama berbicara di sini, bagaimana keraspun sikap Mama kepada dia. Jujur, Papa malu dengan sikap Mama. Mama bisa bayangkan nggak, kalau malam itu vas bunga itu sempat kena kepala dia? Kita bisa dituntut dengan pasal penganiayaan.”
“Huh! Kalau kena malah lebih bagus.”
Pak Victor mendengkus.
“Terserah Mama kalau begitu. Mama mau benci Daniel, mau mengumpat, terserah Mama. Yang penting jangan hasut Inge terus untuk membenci Daniel. Itu nggak gunanya buat dia. Malah membuat hati dia nggak damai. Nanti malah menyulitkan dia membuka hati dan mencintai Orang lain.”
“Siapa yang menghasut?”
Pak Victor mengembuskan napas dengan berat.
“Papa baru ingat. Papa belum sempat mengecek keadaan Daniel sampai sekarang. Papa takut dia sakit karena kehujanan.”
“Astaga, Papa! Peduli amat! Itu urusan dia! Mau sakit mau mati terserah. Lagi pula itu hanya sakit fisik. Beda sama yang diderita sama Inge. Inge itu sakit hati, malu, trauma.”
“Mama, berhenti bicara kasar, Berhenti mengumpat. Atau kita nggak usah lanjutkan percakapan ini.”
Bu Chelsea berjengit.
“Percuma bicara sama Papa. Papa itu ada di Pihaknya mereka.”
Berkata begitu, Sang Istri seenaknya ngeloyor pergi sari ruang kerja Sang Suami. Dia juga tak peduli Sang Suami tidur di sofa ruang kerjanya malam hari itu.
Dan kala pagi harinya Pak Victor sendiri yang mencoba mengetuk pintu kamar Inge dan membujuk agar Sang Anak mau sarapan bersama, Bu Chelsea bukannya mendukung, malahan mencibir. Dia malah menganggap Sang Suami adalah Kompetitornya dalam melunakkan hati Sang Anak. Lalu diam-diam, ketika Sang Suami juga gagal membujuk Inge, dia tersenyum geli.
Namun Pak Victor tak menyerah. Dia sudah mempunyai rencana sendiri. Dia ingin mengajak Inge untuk bicara empat mata dengannya, dan sengaja memilih lokasi bicara di luar rumah. Dia sudah merancangkan akan mencoba membujuk dan menghubungi Putri Semata wayangnya itu. Sayangnya, sebelum dia sempat melakukannya, sejumlah kejadian ganjil di kantor sudah keburu mengusiknya.
...
“Saya nggak menyangka, Istri saya bisa berbuat sejauh itu. Padahal kelihatannya tadi pagi nggak ada gelagat aneh.”
Pak Johan menyahut pelan, “Saya ikut prihatin, Pak. Mungkin Ibu sedang sangat marah. Tapi kalau mengenai Anak-Anak, biarkan saya yang menangani.”
“Terima kasih, Johan. Kamu bisa kembali bekerja.”
“Baik. Saya tinggal dulu, Pak.”
Pak Victor mengangguk.
Yang langsung terpikir olehnya bukannya segera menghubungi atau menamui Sang Istri. Dia tahu akan berujung sia-sia.
“Ada yang lebih penting. Aku harus mengklarifikasi hal ini kepada pak Agustin. Semoga dia berbesar hati untuk memaafkan kelakuan Istriku,” gumam Pak Victor pelan.
Pak Victor segera menghubungi nomor telepon genggam Pak Agustin. Dengan segenap kebesaran hatinya, dia sudah siap untuk mengakui kesalahan Sang Istri, sekaligus mengakui kelalaiannya dalam mendidik Istri serta Anaknya.
Panggilan teleponnya yang pertama tidak berjawab. Dia berusaha untuk memelihara pemikiran positif.
Panggilan teleponnya yang kedua, untungnya bersambut.
“Hallo,” sapa Pak Agustin.
“Selamat sore, Pak Agustin.”
“Selamat sore, Vic. Barusan ada misscall? Maaf, baru saja turun dari mobil. Lagi masuk ke rumah, ini.”
“Oh, maaf mengganggu. Pak Agustin ada waktu nggak? Bisa kita ketemu?” tanya Pak Victor.
Pak Agustin terkekeh.
“Kamu ini Vic, seperti sama Siapa saja. Datang saja ke rumah. Mau kapan? Sekarang? Nanti malam?”
Selagi Pak Victor bertanya-tanya dalam hati mengapa Suara Pak Agustin tetap saja hangat kepadanya, dia langsung mendapatkan petunjuk. Tentu saja Seorang Agustin Reynand Sanjaya terlalu sibuk untuk mengurusi berita gossip.
Saat dirinya tengah berdiam diri, terdengar suara riang Seorang Gadis di kediaman Pak Agustin.
“Nah, begitu dong Pa. Janji mau pulang kerja cepat, ya dipenuhi.”
“Sebentar, Vic.”
“Oke, Pak Agustin.”
Pak Agustin memeluk tubuh Gadis yang menyapanya.
“Hei, jadi kamu pulangnya hari ini? Kok nggak minta dijemput sama Papa sih? kapan kamu sampai? Dan memangnya kapan Papa janji untuk pulang kerja cepat?” terdengar oleh pak Victor ucapan Pak Agustin. Rupanya Pak Agustin tidak menutup microphone telepon genggamnya, hanya menjauhkannya saja.
“Itu bisa-bisanya aku. He he he. Aku sudah sampai rumah tiga jam lalu. Hampir mau bikin kejutan nongol di kantor Papa.”
“Siapa yang jemput kamu?”
Tawa renyah Gadis itu terdengar.
“Naik taksi, Pa. Kan kejutan.”
“Dasar! Papa pikir masih agak lamaan di Singapura.”
“Huh. Bosan. Cukup satu malam saja. Aku heran, Ko Daniel itu kok bisa betah tinggal begitu lama sama Tante Ann yang gila kerja begitu. Tapi aku senang, setidaknya Tante Ann memenuhi janji, nggak membocorkan soal kepulanganku hari ini.”
“Minta dijewer Anak ini. Sudah ketemu sama Ko Daniel? Atau sudah hubungi dia?”
Pertanyaan Pak Agustin membuat d**a Pak Victor berdegup kencang. Mirip seperti Seorang Terdakwa yang tengah menunggu vonis untuknya dibacakan.
“Belum. Kan mau kejutan. Nanti aku juga mau telepon Cece Brenda.”
“Ya sudah. Papa lagi telepon sama Om Victor. Nanti kita ngobrol ya, sambil makan. Mau makan malam di luar, Gin?”
Sesaat Gina mengangkat alis. Tetapi ia menuda untuk bertanya.
“Enggak mau, Pa. Malas. Besok-besok saja,” katanya kemudian.
“Oke.”
“Vic, maaf agak lama. Itu tadi, Si Gina pulang nggak bilang-bilang. Pakai naik taksi segala. Sudah ketularan Daniel, dia itu.”
“Oh..., Gina pulang? Wah, saya jadi ganggu acar Keluarganya nih.”
“Enggak. Enggak. Sama sekali enggak ganggu. Santai saja Vic. Oh ya, sampai di mana tadi? Maaf jadi ada interupsi. Biasa, namanya juga Anak Bungsu. Masih suka manja kadang-kadang.”
Pak Victor mencoba untuk tertawa. Tetapi dia merasakan sendiri betapa suara tawanya sedikit tidak tulus. Pasalnya, andai saja bisa, dia ingin menyuarakan isi hatinya, “Setidaknya Anak-Anaknya Pak Agustin itu lebih baik dari Anakku. Aku yang kurang bisa mendidik Anakku satu-satunya.”
“Oh, ya. Kamu bilang mau datang. Ayo, ngobrol-ngobrol di rumahku. Kamu sempatnya kapan?” pertanyaan Pak Agustin membuyarkan keterdiaman Pak Victor.
“Sekarang? Baik, kalau nggak mengganggu. Saya berangkat ke sana sekarang, Pak.”
Mendengar suara pak Victor yang terdengar begitu segan, Pak Agustin terkekeh lagi.
“Kamu ini Vic, jangan sungkan. Oke, aku tunggu ya.”
“Baik. Sampai di rumah Pak Agustin sebentar lagi.”
“Oke. sampai ketemu.”
Pak Victor sedikit menarik napas lega saat menutup sambungan telepon. Dia pikir, setidaknya jalannya untuk meminta maaf telah terbuka. Kini dia menyiapkan hati untuk menghadapi Pak Agustin dan mengisahkan semuanya.
*
$ $ $ Lucy Liestiyo $ $ $