The Truth (3)

1369 Words
Tante Meily menggeleng-gelengkan kepalanya. Diguncangnya pundak Stephanie. “Ya ampun, Sayang! Tolong berhenti mengatakan hal seperti itu. Berhenti bicara yang buruk-buruk tentang dirimu. Nggak boleh, Steph! Dengar, Steph! Kamu itu Anak yang baik. Kamu Anak yang membanggakan. Kamu Anak yang sangat disayang sama Papa dan Mamamu, juga ketiga Saudara Lelakimu. Ingat itu baik-baik. Justru kalau kamu bicara seperti ini, Papa dan Mamamu yang sudah beristirahat dengan tenang, akan menjadi sedih, Sayang.” Selintas rasa putus asa tersirat dalam kalimatnya. Setetes air mata bergulir di pipi Tante Meily. Hatinya sungguh terasa perih. Bak digores oleh sembilu tajam. ** “Om, terima kasih, ya, selama ini sudah mengurusi peninggalan Papa. Kalau nggak ada Om, nggak tahu bakal seperti apa jadinya,” ucap Bobby tulus, di akhir perbincangan. Om Danny menggeleng dan memegang pundak Bobby. “Itu sudah merupakan tugas Om. Bobby, Ardi, Ryan, Om hanya minta ke kalian, agar sepeninggal Orang tua kalian, Kalian semua tetap saling jaga satu sama lain. Jangan sampai ikatan persaudaraan kalian merenggang,” sahut Om Danny. Wajah Om Danny terlihat lega, seperti telah usai menunaikan sebuah tugas penting, dan terlepas dari kewajiban yang selama ini diembannya. Bobby dan Ardi mengangguk, sementara Ryan hanya memandang dengan sedikit jemu. Om Danny memergoki pandangan mata Ryan itu. “Bob, kamu yang sabar, ya. Ryan pasti masih jengkel. Om sudah cukup bicara sama dia. Selama di sini, biar dia menenangkan pikirannya dulu. Kalau perlu, biar saja dia di sini buat sementara. Kamu mending fokus sama urusan keluargamu dulu,” kata Om Danny lirih, yang segera diangguki Bobby walau dengan berat hati.  “Ryan, mau makan di luar sama aku, atau mau makan di sini saja?” Ardi berusaha mencairkan suasana. Sebagaimana Om Danny, dia tahu, tak mudah bagi Ryan untuk memaafkan perbuatan Hera pada dirinya. Kejadiannya juga belum lama menimpanya. Terlebih, dipermalukan di depan Anak kost, dikatakan sebagai Anak Pungut, Anak yang hanya beruntung saja bisa tinggal di istana megah milik Keluarga Prasaja, tetapi lupa asal-usul dan tampak seperti mau sampai mati juga mereguk kenikmatan dan kenyaman di situ. Sakit, tentu saja itu sangat sakit dan melukai harga dirinya sebagai Seroang Laki-laki. Belum sempat Ryan menjawab, terdengar dering telepon. Keempat Lelaki di dalam suite itu saling berpandangan, menyadari bahwa itu bukanlah nada panggil dari telepon genggam mereka. “Telepon seluler tante Meily, ya Om?” tanya Ryan, sembari mencari ke arah suara. Om Danny menggeleng. “Kelihatannya bukan. Nada deringnya nggak begitu seingat Om. Tante Meily juga jarang mengganti-ganti nada dering,” jawab Om Danny. Ryan tetap mencari asal suara, sebab dering telepon terus saja terdengar. Saat mengangkat bantal sofa, ditemukannya telepon seluler yang berbunyi itu. “Telepon seluler punya Steph?” tanya Ardi, karena kebetulan telepon genggam itu ada di sofa di mana Stephanie duduk tadi. Ryan mengangguk lantas berkata, “Aku kasih ke dia, ya, siapa tahu ini telepon penting.” “Tunggu! Coba aku lihat sini!” cegah Ardi. Bobby mengerling dengan enggan. “Lagi cuti begini masih diteleponin juga sama Orang kantornya? Agak keterlaluan ini. Nggak bisa lewat email atau apa begitu? Ngapain juga dia musti sama Orang lain, sih?” cetus Bobby bernada protes. Dering telepon terjeda sesaat, namun segera berlanjut kembali bersamaan dengan saat Ryan mengangsurkan telepon seluler itu kepada Ardi. Ardi memerhatikannya. Kening Ardi berkerut melihat nama penelepon yang tertera di layar telepon seluler.   Daniel Marcello Sanjaya is calling... Entah sejak kapan Stephanie telah mengganti nama kontak Daniel menjadi selengkap itu dan terkesan hanya berhubungan profesional saja, di perangkat teleponnya. Barangkali semenjak Daniel berubah sikap, atau bahkan belum lama, yakni beberapa saat sebelum mereka berdua tak sengaja bertemu di dalam pesawat dari Jakrta menuju ke Hong Kong.   “Siapa, Di?” tanya Bobby seraya mendekati Ardi. Dia penasaran dengan reaksi Ardi. Ardi tak menjawab pertanyaan Bobby, melainkan hanya memperlihatkan apa yang tertera di layar. Ekspresi wajah Bobby berubah. Ia menerka-nerka. “Daniel yang itu? Mereka berdua masih berhubungan? Bukannya kamu bilang kemarin-kemarin itu, Daniel sama Tunangannya itu..,” Bobby menggantung ucapannya. Ryan terusik. “Daniel siapa, Kak Ardi? Kok, Steph nggak ada cerita apa-apa sih, ke aku? Atau belum?” tanya Ryan, penasaran campur menyesal. Ardi menatap sekilas pada Ryan, seolah berkata, “Gimana dia mau cerita, kamu saja ilang-ilangan begitu!” Ryan tertohok. “Bunyi lagi tuh, pastinya penting. Daniel yang mana, ini?” merasa mendapat pengalih perhatian yang sempurna, Ryan mengabaikan tatapan Ardi. Ia langsung menunjuk pada telepon seluler yang kini dipegang Ardi. “Daniel siapa, Di?” Om Danny merasa perlu bertanya. Pasalnya, Ia melihat Ketiga Keponakannya itu sama sekali tidak bereaksi menerima telepon dari Daniel ataupun mengembalikan telepon seluler Stephanie yang tertinggal karena dia terburu-buru meninggalkan suite tadi. “Itu.., Om. Anaknya keluarga Sanjaya. Dengar-dengar dia itu Bad guy,” kata Ardi dengan berat hati. Mata Om Danny berputar sesaat, lalu berkata, “Di, Steph itu sudah dewasa. Kasih saja teleponnya.” Ardi menggeleng tegas. “Enggak, Om. Steph itu cuma umurnya saja yang sudah pertengahan kepala dua. Tapi soal menghadapi Bad guy macam Si Daniel ini, dia mentah pengalaman. Lagi pula, Daniel sendiri sudah janji ke aku, nggak akan mendekati Steph, sebelum dia bisa mengklarifikasi berita sampah soal diri dia,” cetus Ardi setelahnya, membuat Om Danny mengangkat alis. “Berita sampah?” tanya Om Danny dan Ryan, berbarengan. Ardi mengiakan. “Maksudnya bagaimana?” tanya Om Danny lagi. Ardi mendesah. “Ardi mendapat info, sebenarnya Daniel belum benar-benar putus sama Mantan Tunangannya, Om,” sela Bobby, mewakili Ardi yang memperlihatkan wajah lelah.   “Kurang ajar! Steph tahu soal itu nggak, Kak Ardi?” geram Ryan. Tangannya mengepal. Sengaja ia bertanya kepada Ardi, walau jelas-jelas yang barusan memberikan penjalasan adalah Bobby. Ini salah satu cara Ryan untuk terang-terangan mengabaikan Bobby. Bobby mengembuskan napas. Mencoba tak meladeni hawa perang yang dikibarkan oleh Ryan. Dia pikir, toh Om Danny juga perlu mendapatkan keterangan, bukan hanya Ryan. “Ardi sudah kasih tahu ke Steph. Dan semenjak itu Bi Sum juga nggak ada cerita lagi kalau Daniel datang ke rumah. Makanya Ardi berpikir, hubungan mereka berdua benar-benar sudah selesai. Ternyata Si b******k satu ini nggak nyerah begitu saja!” bukannya mendengarkan keterangan Bobby yang ini, Ryan malahan memalingkan wajah. Sepertinya, kejengkelannya pada Hera, membuatnya sulit untuk bersikap baik pada Bobby. “Bobby dan Hera itu kan satu paket. Suami macam apa yang nggak bisa mendidik Istrinya?” itulah yang diungkapkannya ketika Om Danny mengajaknya bicara dari hati ke hati, sebelum pembicaraan yang mengguncang perasaan Stephanie barusan. Om Danny sudah berusaha untuk menenangkan Ryan dan mendamaikan Ryan dengan Bobby. Tetapi nyatanya, semuanya tidak bisa berjalan secepat itu.   “Mau kemana, Ryan? Jangan usik Steph dulu,” cegah Ardi, begitu menangkap gelagat bahwa Ryan akan keluar dari suite yang ditempatinya bersama Om Danny. “Mau cari udara segar,” kata Ryan acuh tak acuh. Ia hanya menoleh ke arah Ardi sesaat.   Lantas, seiring tatapan sinisnya pada Bobby, Ryan berkata dengan nada datar, “Entar juga pasti balik kemari, kok. Jadi, nggak usah buang-buang duit percuma buat bayar Oorang-orang demi mencariku. Lebih bermanfaat kalau uangnya disumbangin ke yang membutuhkan. Atau..., kasih saja ke Keluarga Istrinya yang super materialistis itu.” Bobby gusar mendengarnya. Jelas dia tersinggung. Terlepas dari kesalahan yang telah diperbuat oleh Hera, Sang Istri, tetap saja ap yang dilontarkan oleh Ryan barusan itu terbilang kurang ajar. Sungguh-sunguh tidak menghargai dirinya sebagai Seorang Kakak! “Ryan! Kamu!” seru Bobby, bersama tatapan tajamnya. Tangan Bobby sudah terulur, hendak menjangkau kerah kemeja Ryan. Ryan beringsut sedikit. “Aku pergi dulu ya Om, Kak Ardi.” Lantas Ia sengaja melakukan gerakan menepis angin, dan melempar senyum berbalut ejekan, lantas berlalu seenaknya dari hadapan Ketiga Laki-laki yang lebih tua darinya itu. “Ryan! Kurang ajar kamu!” geram Bobby yang sudah akan menghambur ke arah Ryan. Om Danny segera memegang bahunya dan berkata, “Sudah Bob. Biarkan saja dulu. Jangan menambah panas suasana. Ini kalian berdua sama-sama lagi tegangan tinggi. Tolonglah, jangan marah pada saat yang bersamaan. Om percaya, kamu ini yang lebih dewasa dan dapat lebih mengontrol emosi kamu.” Bobby menggertakan giginya. Rasa jengkelnya tak berkesempatan untuk dilampiaskan. Om Danny menepuk-nepuk bahu Bobby, berusaha menenangkannya. Sementara Ardi hanya mendengus pelan. Wajah Ardi tampak amat muram. Tampaknya dia telah lelah dengan konflik yang terjadi antara Ryan dengan Bobby. * ^ *  Lucy Liestiyo  * ^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD