Momen Yang Menyiksa Kalbu (1)

1555 Words
“Kenapa sih, Pa? Ini mereka berdua nggak bisa terlalu lama dibiarkan begini. Inge-nya seperti itu, Daniel juga kurang lebih begitu. Apa tidak cukup jangka waktu sekitar satu tahun ini mereka biarkan terbuang sia-sia? Bayangkan! Sudah bertunangan. Sudah hampir menikah.  Sepupunya Inge yang tahun lalu belum punya Pacar saja dengar-dengar sudah hampir dilamar beberapa bulan mendatang. Bukan masanya lagi buat mereka berdua saling jaga gengsi dan mengharap Siapa yang harus mengalah. Dan bukan masanya untuk membuang waktu secara percuma. Mama rasa Mama perlu membantu mereka,” tegas Bu Chelsea, bertahan dengan pemikirannya. “Si Inge itu, kenapa jadi aneh semenjak pulang ya? Seperti lebih tertutup begitu,” dumal Bu Chelsea setelahnya. “Ma, cukup. Jangan mencampuri urusan mereka lagi. Jangan memaksakan kemauan Mama ke mereka. Daniel sudah membantu Mama, menuruti kemauan Mama. Cukuplah itu. Jangan berharap yang lainnya lagi.” “Papa! Dari tadi Papa membuat Mama bingung. Seakan-akan Papa sudah tak berharap mereka berdua bersatu lagi. Sebenarnya apa yang Papa bicarakan dengan Daniel sebelum Daniel menyusul Inge ke Kaifeng? Apa? Papa merahasiakannya dari Mama?” Pak Victor menghela napas panjang. “Waktu satu tahun bisa merubah semuanya, Ma. Termasuk perasaan.” “Merubah apa? Maksud Papa sudah nggak ada cinta di antara mereka berdua? Atau hubungan mereka berdua sudah bergeser tanpa setahu kita, terutama Mama? Itu sungguh nggak mungkin, Pa! Bukannya sebelumnya Daniel berusaha keras untuk menemui Inge? Kita kan, yang sengaja memberi Inge waktu supaya lebih tenang? Baru belakangan hari Papa kasih alamat Inge? Daniel juga baik respons-nya. Bukannya itu sudah suatu bukti, bahwa mereka berdua itu hanya bermasalah dengan komunikasi saja?” “Sudahlah Ma, nanti kita bicarakan di rumah. Tadi Papa sudah bilang kan?” “Papa selalu seperti itu,” gerutu Bu Chelsea tak puas. “Karena hal begini tak bisa kita bicarakan di telepon. Sudah, Papa juga sudah mau melanjutkan meeting-nya.” Hening sekian saat. Terdengar desahan kecewa Bu Chelsea. Dia tak sepakat dengan cara berpikir Pak Victor. Baginya, amat penting untuk mengutamakan kebahagiaan Putri Tunggalnya itu. Dan juga, tentu saja menyambung kembali kedekatan dengan keluarga Sanjaya merupakan ‘bonus’ tambahannya. “Sekarang sebaiknya Mama fokus buat menyenang-nyenangkan Inge saja. Bukankah Mama begitu kangennya sama Inge? Ya kita buat dia nyaman saja supaya nggak kepikiran untuk bersikap semaunya dia lagi seperti waktu itu. Main pergi begitu saja, nggak pikir panjang.” Bu Chelsea mengembuskan napasnya.  “Oke,” sahut Bu Chelsea dengan berat hati akhirnya. “Sampai nanti di rumah, Ma.” “Sampai nanti, Pa. Daagh..” “Mama teleponan sama Papa?” Mendadak terdengar Suara Inge. Bu Chelsea tergeragap. Dia bertanya-tanya dalam hati, semenjak kapan Inge kembali ke hadapannya dan seberapa banyak yang percakapannya dengan Sang Suami yang telah didengar oleh Inge. Dia menengadahkan wajahnya dan mengamati wajah Sang Putri semaa wayangnya, mencari-cari jawabannya di paras cantik itu di dalam diam. Ya ampun Inge, Mama itu baru tersadar deh. Kenapa wajah kamu jaadi terlalu polos begitu? Kamu itu bahkan tampak seperti orang yang nggak memakai make up. Tadi itu Mama terlalu gembira karena bisa mengajakmu berbelanja dan bahkan kemari, ke rumah sakit ini, jadi kurang memerhatikan tampilanmu. Duh, Sayang, apa kehidupan asrama sudah membuat diri kamu sampai seperti ini? Rasanya Mama nggak rela! Mama bukannya bangga karena kamu terlihat lebih simpel sekarang. Memang, tutur katamu sedikit lebih terjaga. Itu Mama saksikan sendiri dari caramu memperlakukan Para Supir dan Asisten Rumah Tangga di rumah. Tapi Mama malah seperti nggak mengenal Putri Mama lagi. Entah sesulit apa kehidupan yang kamu jalani di sana, karena kamu melarang keras Papa dan Mama untuk menengokmu selama ini. Dan kamu bahkan sanggup mengancam Papa dan Mama, mengatakan bahwa kamu nggak akan mau pulang selamanya kalau satu kali saja kami berdua berkunjung ke asramamu. Lihat hasilnya sekarang! Inge, Inge! Keluh Bu Chelsea dalam hati. “Eh, kamu sudah di sini? Dari tadi?” tanya Bu Chelsea spontan. Inge menggeleng. Bu Chelsea menarik napas lega. “Baru saja. Ayo Ma, kita cepat menjenguk Si Ibu baru supaya cepat pulang.” Bu Chelsea tersenyum. “Ayo!” sahutnya. * “Tante Chelsea, terima kasih banyak ya, sudah menjenguk Susy dan bayi kami,” Keanu, Suami dari Susy mewakili Sang Istri. Dia baru saja kembali ke kamar perawatan Sang Istri setelah mengantarkan Kedua Orang tuanya serta Kedua Orang tua Susy ke lobby, usai menengok pula bayi mereka beberapa menit sebelumnya. Kini yang tertinggal di kamar perawatan tersebut hanyalah Sang Tante, dirinya, Susy serta Bu Chelsea dan Inge. “Sama-sama, Nak Keanu. Sekali lagi selamat lho ya, sudah jadi Ayah.” “Terima kasih, Tante Chelsea. Wajah Keanu begitu semringah, setali tiga uang dengan wajah Susy yang tampak cerah, meski belum lama melalui perjuangan berat untuk menjadi Seorang Ibu. “Bu Chelsea ini kok pakai repot-repot segala, bawa hadiah buat Susy sama si Baby,” komentar Bu Rini, Tantenya Susy. Dia memang sengaja pulang belakangan karena menunggu kedatangan Bu Chelsea yang telah mengabarinya akan singgah ke rumah sakit. "Iya nih, terima kasih banyak ya Tante," ucap Susy pula. Bu Chelsea mengibaskan tangan. “Ah! Itu hal kecil. Yang penting Susy lekas pulih, ya.” “Terima kasih Tante,” kali ini Susyl ekas menjawab. Sang Suami membelai rambutnya dan menatapnya dengan sayang. Inge nyaris memalingkan wajah ketika melihat Keanu mencium puncak kepala Susy. Tampak begitu yakin dan sepenuh hati, walau di depan Para Tamu yang tidak terlalu akrab dengannya. Mengapa Orang-orang mempunyai cinta dan berbahagia? Mereka bisa berbagi perasaan yang sama, mereka bisa terkoneksi satu sama lain. Perasaan mereka berimbang. Mengapa Orang-orang saling mencintai sementara aku tidak?  Dan mengapa cinta mereka saling berbalas satu sama lain tetapi aku tidak? batin Inge sedih. “Tante sama Kak Inge mau melihat bayi-nya nggak? Kebetulan ruangan bayi nggak jauh dari sini. Tapi sepertinya hanya bisa dari balik kaca. Nggak apa kan Tante?” tanya Keanu. Bu Chelsea menatap Inge penuh maksud. Inge langsung mengelak dari tatapan Sang Mama. “Boleh. Boleh.” “Biar Tante saja yang menemani. Kamu di sini saja Keanu, sama Susy.” Keanu mengangkat alis. “Nggak apa, Tante?” “Nggak apa dong.” “Susy, Keanu, kami tinggal dulu sebentar, ya,” ucap Bu Chelsea riang. “Silakan, Tante.” Inge mengangguk kepada keduanya sembari tersenyum. Semenjak tadi dia memang tak terlalu banyak bicara, melainkan memberikan ucapan selamat saja. Dia sedang berjuang meredakan semua pertentangan yang ada dalam hatinya. Pertentangan yang berawal di pagi hari ketika melabrak Stephanie, lalu terasa sedikit teralihkan dengan kegiatan semu bernama shopping dengan Sang Mama. Namun pertentangan itu kembali mengusik, setelah dirinya menerima panggilan telepon dari Jason. Untuk pertama kalinya Inge merasa dirinya terperangkap ke dalam perasaan bersalah. Perasaan telah mempermainkan Seseorang. Dan untuk pertama kalinya dia merasakan hatinya begitu lemah. Inge merasa benar-benar berada di persimpangan jalan, dan kesulitan untuk memutuskan harus melangkah kemana. Ini membuat Inge menjadi kurang bersemangat dan hanya menimpali sedikit-sedikit percakapan ceria yang berlangsung. Semua dilakukan demi menjaga yang nemanya etika saja. Ya, etika, ditambah kerendahan hati.  Sesuatu hal bagus yang diperolehnya selama berada di Asrama di Kaifeng. “Ayo, Bu Chelsea, Inge.” Ajakan Bu Rini mengembalikan pikiran Inge yang mengawang-awang, kembali ke tempat semula. Sang Mama menepuk pundak Inge, mengisyaratkannya untuk melangkah. Lantas Bu Rini mendahului langkah Bu Chelsea dan Inge keluar dari kamar. Hanya sebentar menyusuri lorong, mereka telah tiba di depan ruang bayi. Bu Rini berbicara sebentar dengan Seorang Suster. Tak lama, Suster tersebut masuk ke dalam ruangan bayi dan menuju ke sebuah ranjang bayi. Diangkatnya bayi montok tersebut dan memperlihatkannya kepada Bu Rini serta Dua Orang Tamunya. “Wah, itu pipi. Pipinya Mamanya, ya,” komentar Bu Chelsea. Bu Rini menganggukinya. “Iya. Wajahnya si Baby benar-benar mirip wajah Mamanya. Itu kan bagus, hoki, katanya. Soalnya Anak Lelaki,” balas Bu Rini. “Sudah dikasih nama, Jeng?” “Setahu saya sudah ada beberapa pilihan sebetulnya Bu Chelsea, tetapi belum diputuskan.” “Oooh..., begitu. Wah, senang ya. Ini cucu pertama untuk Keluarga Keanu, ya?” “Iya, dan cucu ketiga untuk Papa dan Mamanya Susy. Kakaknya Susy yang di New Orleans sudah punya dua Anak.” "Oh ya ya. Baru ingat. Jarak usia Susy sama Kakaknya juga jauh soalnya ya." Bu Rini mengiakan. Mata Bu Chelsea tampak berbinar kala mengamati bayi itu. “Aduh lucunya. Bikin gemes. Sayang sudah nggak boleh gendong, ya,” gumam Bu Chelsea pelan. “Iya. Maaf ya Bu Chelsea.” “Nggak apa. Kami yang telat sekali datangnya. Tadi itu macet soalnya.” “Bu Chelsea sepertinya sudah kepengen ya, punya bayi.” “Sangat,” sambar Bu Chelsea. Inge langsung sesak napas mendengarnya. Dia berusaha untuk berlagak tak mendengar. Bu Rini tersenyum lalu berkata, “Nanti pasti senang sekali. Inge Anak satu-satunya soalnya, ya Bu. Saya saja, biarpun sudah dikaruniai Sepasang Cucu, tetap saja bersemangat pas tahu Anak saya hamil Anak Keduanya.” “Resty hamil?” tanya Bu Chelsea tak percaya. Bu Rini mengangguk malu-malu. “Iya. Baru tiga bulan sih. Saya rasa jaraknya baguslah, empat tahun, sama Anak pertamanya. Terus nanti bisa jadi Teman main buat Saudara Sepupunya juga, karena hanya beda sekitar satu setengah tahunan, kan? Anaknya Bian kan baru sembilan bulanan umurnya.” Bu Chelsea mengerling kepada Inge. Dan bagi Inge, kerlingan mata itu bagaikan menyampaikan sebuah permintaan yang susah untuk dituruti., bahkan tepatnya tuntutan. Setidaknya saat ini. Bahkan menemukan pelabuhan yang tepat untuk berlabuh saja, dirinya belum punya. * $ $  Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD