“Steph,” panggil Daniel dengan suara yang bak tersekat di tenggorokan. Ia masih dalam batas antara percaya dan tidak percaya dengan sikap formal yang ditampilkan oleh Gadis itu. Berat rasanya untuk menerima kenyataan ini.
“Ya, Pak?” sahut Stephanie tenang. Setenang Seseorang yang tidak mempunyai beban apa-apa. Seolah-olah, tidak pernah ada sebuah hubungan khusus antara mereka, yang berujung dalam keadaan menggantung.
Gemas benar Daniel menyaksikan ketenangan Gadis itu. Tampak demikian natural dan tidak dibuat-buat. Itu kurang lebih mirip dengan kepercayaan diri yang dikesankan oleh Stephanie saat pertama kalinya menyambangi ruang kerja Daniel dulu. Kepercayaan diri yang pas pada porsinya, dan sanggup merebut perhatian Daniel kala itu.
How could you Steph? Kamu..., bisa-bisanya kamu begini ke aku. Aku tahu bahwa kamu sangat berhak buat marah ke aku. Steph..., bisa nggak sih kalau kamu balas aku dengan cara lain saja? Bukan dengan cara yang satu ini? keluh Daniel tak terucap.
Daniel mengembuskan napas dengan super hati-hati.
“Apa kabarmu, Steph?” tanya Daniel kemudian.
Alangkah dalam arti pertanyaan ini buatnya sendiri, dan betapa Daniel memang benar ingin tahu ‘kabar’ Gadis itu.
Sukses mengucapkan pertanyaan penuh makna itu, Daniel membiarkan kerinduannya membuncah tak tercegah. Ia masih merasakan getaran kuat di hatinya saat mendapati Stephanie menatap padanya meski hanya sekilas. Gadis itu tampak tak ingin berlama-lama beradu pandang dengannya. Buktinya, Ia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Di detik ini Daniel langsung menengarai, Gadis itu pantang memberinya kesempatan untuk membaca dan menimba perasaan apa pun yang tercermin di matanya. Ya, mata, bagian yang semestinya paling jujur. Dan sialnya, tidak ada perubahan ekspresi di paras Gadis itu, membuat Daniel ingin mengutuk saja rasanya.
Mimik muka Stephanie yang datar dan biasa saja itu membuat Daniel bertanya-tanya dalam diam, apakah dia memang begitu lihai menyimpan gejolak perasaan yang dimilikinya, ataukah memang perasaannya biasa-biasa saja saat ini. Rasanya Daniel ingin menggerutu panjang karena tak mampu menebak secara pasti.
Dan yang lebih membuat Daniel kecewa adalah tanggapan dari Stephanie atas pertanyaannya.
“Kabar saya baik. Saya lihat, kabar Pak Daniel juga baik, kan?” balas Stephanie. Tetap dalam nada flat, sedatar papan seluncur.
Daniel terkesiap mendengarnya. Ia menyadari alangkah formalnya kalimat Stephanie barusan. Menyebut dirinya dengan kata ganti ‘saya’, pula, bukannya ‘aku’ seperti yang dilakukannya selama waktu kebersamaan mereka.
Sampai di momen ini Daniel tidak bisa membohongi dirinya, rasanya sungguh tak nyaman dan demikian berjarak. Daniel merasa seolah Stephanie sudah menarik garis super tebal di antara mereka, kemudian berdiri angkuh di belakang garis dengan kedua tangan dilipat ke d**a. Seakan-akan, mata Stephanie menatap nyalang kepadanya, mengawasi dirinya agar tetap berdiri di seberang garis itu, demi memastikan Daniel tidak melanggarnya. Ya, garis tebal itu, yang seketika menjelma seperti sebuah garis batas di antara mereka berdua.
Ini salahku sendiri. Pantas kalau reaksi Steph begini. Tapi masa sih, semudah ini aku menyerah? It’s so not me. Seorang Daniel Marcello Sanjaya nggak bakalan segampang ini patah arang. Never! ucap Daniel dalam hati.
Diam-diam Daniel sibuk memikirkan cara untuk dapat berkomunikasi secara baik dengan Stephanie di pertemuan tak terduga ini, sekalipun dia sadar bahwa ini bukanlah tempat dan waktu yang paling ideal untuk melakukannya. Sejenak Daniel berpikir.
“Steph, kamu cuti berapa lama? Maksudku, kapan kamu mau balik ke Jakarta?” tanya Daniel kemudian, setelah tersadar takkan mungkin dapat berbicara panjang lebar dengan Staphanie saat ini. Masih terlalu banyak faktor eksternal yang menghalangi mereka. Dan Daniel sungguh tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang berharga, dengan cara yang kurang tepat sehingga membuat komunikasi mereka akan semakin memburuk.
Stephanie menggeleng kecil lalu menyahut, “Tergantung berapa lama selesainya urusannya, Pak.”
Daniel terpana. Jawaban Stephanie jauh dari dugaannya. Selintas Daniel menangkap ada keresahan dan keengganan dalam jawaban Gadis itu.
Sontak hati Daniel bertanya-tanya, seberat apakah persoalan yang tengah mendera Stephanie sekarang ini sehingga bisa mengucapkan kalimat barusan? Pasalnya Daniel tahu sendiri, terlepas dari latar belakang Stephanie yang juga belum lama diketahuinya, posisi Gadis itu toh, tetap saja Pegawai di tempatnya berkarya sekarang. Amat mustahil bila seorang Stephanie bisa mengambil cuti dalam jangka waktu tak terbatas. Kecuali jika mengambil cuti tak berbayar. Namun Daniel buru-buru meminggirkan praduga tersebut.
Pasti caranya menjawab barusan itu hanyalah bentuk kemalasannya buat berlama-lama berbincang sama aku. Seingatku, Pak Adji nggak menyebut kemungkinan bahwa Stephanie bakalan cuti lama. Lagi pula, mana mungkin dia tega sih? Pekerjaannya bisa terbengkalai. Seorang Stephanie nggak mungkin begitu, pikir Daniel.
“Steph, nomor Jakarta kamu tetap bisa dihubungi kan, selama kamu di Hong Kong nanti?” tanya Daniel tiba-tiba.
Stephanie diam sesaat, entah memikirkan apa. Daniel menunggu dengan sabar. Tepatnya, berusaha untuk bersikap sabar.
“Iya,” itu saja jawaban yang keluar dari celah bibir Stephanie setelahnya. Namun begitu, membuat Daniel nyaris bersorak karenanya. Seakan-akan melihat adanya secercah harapan.
Sabar, Steph, setelah semua ini jelas, aku pasti bicara denganmu. Aku janji, bisik hati Daniel.
“Sebab biarpun sudah ada pemberitahuan bahwa saya cuti dan sudah mencantumkan kontak dan nama Person In Charge yang bisa dihubungi selama saya cuti, kadang masih ada saja customer yang memilih menghubungi saya,” terang Stephanie kemudian. Lugas.
“Oh.. ya, ya,” sahut Daniel yang mendadak kehilangan perbendaharaan kata. Ucapan Stephanie barusan itu, tampaknya disengaja demi menegaskan, bahwa hubungan mereka sekarng adalah sebatas Customer dengan Marketing person-nya PT Sheng Li Industries saja. Ah, otak Daniel cukup cerdas, kok, buat mencernanya. Dan ia terpaksa menelan ludah demi menekan rasa tersinggungnya.
“Maaf Pak Daniel, kalau begitu saya permisi. Saya mau istirahat,” cetus Stephanie kemudian. Sesantun semestinya. Hanya saja, kali ini tanpa menunggu reaksi dari Daniel.
Walau Gadis itu masih tetap berusaha menjaga etika dengan memberikan sepotong senyum kepada Daniel sebelum menyandarkan badan dan memejamkan mata, toh hal itu tak serta merta membuat Daniel puas. Ia masih menyangsikan, sungguhkah Stephanie setergesa itu untuk segera tidur, ataukah hanya melempar kode keras semata supaya dirinya secepatnya menjauh dari Stephanie.
“Oke, selamat beristirahat Steph,” sahut Daniel dengan perasaan tak menentu.
Lantas Daniel mundur dari selasar, kembali ke kompartemennya sendiri bersama rasa hampa yang menguat di benaknya.
Sepertinya Daniel tahu diri. Atau tepatnya, terpaksa untuk sadar diri. Ya, apalagi yang bisa dilakukannya selain kebali ke kompartemennya? Dalam situasi macam ini jelas sulit baginya untuk memaksa merangsek, ke daerah ‘pertahanan’ yang telah dibangun Stephanie. Sementara dirinya sendiri saja masih belum menentukan sikap, tengah gamang. Fakta yang sulit untuk dibantahnya.
Tentu saja. Jikalau tidak gamang, minimal hatinya sudah tahu, kemana akan berlabuh, yang menyisakan dua kemungkinan. Pertama, dia berada di dalam pesawat tersebut dengan kemantapan hati, menjemput impian masa depannya, dengan siapapun itu. Atau yang kedua, semestinya sekarang dia tidak sedang berada di dalam pesawat, terlepas dari pertemuan tak terduganya dengan Stephanie. Karenanya, adilkah bila dia meminta Stephanie menantinya? Menunggu sesuatu yang entah apa hasilnya?
Daniel tersenyum kecut. Paham dia apa akibatnya kalau memaksakan kehendaknya kepda Stephanie, menuntut Gadis itu menunggunya tanpa kepastian. Bisa-bisa Gadis itu bukan sekadar menarik garis tebal, tetapi membangun tembok tinggi, di antara mereka!
Daniel duduk kembali. Tiada sedikitpun kenyamanan yang Ia rasakan. Sebaliknya, perasaannya tambah kacau balau. Ia merasa terjebak pada sekian banyak kepentingan dan ketidakpastian. Penuh sesal, Daniel memukuli jidatnya lalu menjambaki rambutnya sendiri, hingga dia kelelahan secara mental.
“Kenapa begini, sih?” keluh Daniel lirih, di puncak kegelisahannya. Diingatnya, dalam kurun waktu tiga minggu saja, sudah tiga kejadian yang jauh dari prediksinya, menimpa dirinya. ^ * Lucy Liestiyo * ^