Is it Mom’s Help? (1)

1691 Words
“Pak Adji, mesin Hao kapan datang? Sudah tanya ke bu Stephanie?” tanya Daniel langsung, berlagak tak tahu bahwa Gadis yang dicarinya tengah cuti saat ini. Ia juga mengabaikan ucapan ‘selamat pagi’ dari Pak Adji kala menyambut panggilan teleponnya. “Masih sesuai jadwal, Pak. Itu informasi terakhir dari Pak Rio, yang untuk sementara menggantikan bu Stephanie selama Beliau cuti,” jawab Pak Adji. Di dalam diamnya, sejatinya Pak Adji bertanya-tanya dalam hati, ada apa gerangan, mengapa Pak Bos-nya yang sejatinya saat ini juga tengah cuti, sempat-sempatnya menanyakan hal remeh yang merupakan urusan Departemen-nya. Andaipun ada pihak yang sangat berkepentingan dalam mengejar tentang pengiriman mesin saat ini tentunya dari bagian Produksi atau Marketing. Tetapi kedua bagian tersebut justru tidak melakukannya sejauh ini. Sbeebnya jelas, semuanya masih ‘on shcedule’, sesuai jadwal. Sehingga kedua bagian tersebut tentunya cukup enunggu dan tak perlu mengejar-ngejar informasi dari Pak Adji dan menambahi tingkat stress Pak Adji dan segenap team-nya. Terlebih, mesin yang dipesan dari Stephanie sejatinya adalah untuk produksi barang retail nantinya. Dan jelas, tidak mendesak. “Bu Stephanie cuti sampai kapan?” tanya Daniel selanjutnya. “Kelihatannya cuti panjang, Pak. Saya belum mendapatkan tanggal rincinya. Tapi Bapak tenang saja, tidak ada pengaruhnya sama orderan kita. Bu Steph sudah mengaturkannya dengan baik sebelum cuti. Dan saya percaya, dari internal PT Sheng Li, dalam hal ini Pak Rio, juga terus berkoordinasi dengan Bu Stephanie,” jawab Pak Adji. Jawaban panjang lebar dari Pak Adji sama sekali tidak memuaskan Daniel. “Pak Adji cari tahu kapan bu Steph masuk. Infokan ke saya, nanti,” Daniel menyudahi pembicaraan, tak peduli Pak Adji yang terbingung-bingung dengan permintaannya.   Pak Adji sama sekali tak pernah menyangka, Daniel memarahinya keesokan harinya. Bukan karena pekerjaannya tidak beres, melainkan disebabkan dia belum mendapatkan informasi yang jelas tentang keberadaan Stephanie saat ini. Ya, keberadaan Stephanie, bukan lagi perkara cutinya, atau yang lebih spesifik lagi, jadwal pengiriman mesin Hao untuk perusahaan mereka.   “Maaf, Pak Daniel, saya sudah berusaha untuk menghubungi Bu Stephanie baik melalui telepon seluler maupun telepon kantor, tapi nggak bisa sampai saat ini. Saya sudah kirimkan juga email kepada Bu Stephanie. Mbak Trisna, Asistennya Bu Stephanie juga bilang ke saya, dia juga belum bisa menghubungi Bu Steph. Tapi jangan khawatir, Pak, order kita aman, kok,” kata Pak Adji menenangkan.   “Pak Adji nggak paham instruksi saya dari kemarin? Cari tahu dengan pasti, kapan Bu Steph masuk? Apa saya ada bertanya soal aman atau tidaknya orderan kita? Enggak, kan? Memangnya Pak Adji sudah berapa lama bekerja sama saya, kok masih juga belum mengerti hal yang sesimpel itu?” serobot Daniel ketus, membuat Pak Adji tergeragap.   “Eng.., maaf, Pak. Saya akan berusaha kabari Pak Daniel, selekasnya,” sahut Pak Adji. Lelaki itu hanya mampu mengerutkan kening ketika mendapati pembicaran via telepon ditutup dengan ucapan datar dan singkat dari Daniel, “Thanks.”   Astaga! Seumur-umur kerja sama Bapaknya, nggak pernah aku diketusin begini. Ini si Bos lagi mengejar cintanya Bu Steph atau gimana, sih? Kesannya seperti orang pacaran yang lagi marahan saja dan Bu Steph, dalam hal ini yang marah lalu menghilang dari Pak Bos, lalu Pak Bos kalang kabut mencarinya. Heh, tapi memangnya mereka ada hubungan, apa? Seingatku, sikap Bu Steph juga biasa saaja,  kalau pas kemari. Nggak ada menyiratkan bahwa antara mereka berdua ada hubungan pribad. Lagi pula..., aduuuh! Bu Steph itu sudah mengatur dengan baik orderan mesin ini, dan sejauh ini juga nggak ada masalah, masa aku harus mengganggunya terus, dan kesannya nggak percaya sama penanganan Pak Rio? Ini kalau dilanjutkan terus, Orang kantornya Bu Steph bisa terheran-heran dan bertanya-tanya ada apa sebenarnya? pikir Pak Adji sambil menggelengkan kepalanya. ** “Kamu kemana sih, Steph? Kenapa telepon selulermu mailbox melulu?” keluh Daniel sembari memukul setir mobilnya. Dia semakin kesal kala tatapnya terantuk pada kopernya yang masih teronggok di bagian belakang mobil. Koper yang belum pernah diturunkannya dari mobil sekembalinya dari Kaifeng lima hari yang lalu. Huft! Sekacau ini aku. Nggak bisa begini. Aku harus segera menemukannya. Dia nggak boleh kenapa-kenapa, batin Daniel penuh tekad.               Walau masih didera rasa ragu, Daniel mengarahkan juga kendaraannya ke rumah Stephanie. Dia sudah nekad kali ini, tak peduli akan seperti apa sambutan Bi Sum atau jikamungkin, Saudara Lelaki Stephanie, sekiranya memang tengah ada di sana.             Untung saja hanya ada Bi Sum. Tidak terlihat Ardi, Bobby ataupun Ryan d kediaman Stephanie. Bi Sum menyambut kedatangan Daniel dengan sikap yang cukup kaku. Dasar wwanita itu spertinya kurang menyukai Daniel dan terutama apa yang pernah diperbuat Daniel kepada Nona majikannya, tampaknya Bi Sum tidak tertarik untuk berpura-pura ramah. Sorot mata Bi Sum terang-terangan menyiratkan kecurigaan, seolah-olah Daniel berada di balik masalah, entah apa pun jenis masalahnya, yang tengah dihadapi Nona majikannya saat ini, sampai-sampai pergi dan membuat gelisah Ketiga Saudara Lelakinya.               “Maaf, Non Steph nggak ada, Pak,” sahut Bi Sum dari balik pagar yang hanya sedikit terkuak. Wajahnya sama sekali tidak ramah seperti yang sebelum-sebelumnya.               “Belum pulang juga kemari? Belum ngabarin apa-apa? Dia kemana sih, Bi?” tanya Daniel.             Bi Sum mendesah.             “Saya.., enggak tahu, Pak. Kalau tahu, pastinya saya nggak akan sebingung ini. Maafkan saya.” Tanpa mengatakan apa-apa lagi atau menanti reaksi dari Daniel, Bi Sum segera  menarik pagar, menguncinya dan segera berbalik, lantas masuk ke paviliun rumah. “Bi Sum! Tunggu!” Ia tak menghiraukan seruan Daniel setelahnya, justru mempercepat ayunan kakinya.               Daniel menggertakkan giginya.             “Gila! Kenapa aku diperlakukan macam kriminal begini? Memangnya salahku apa?” gumam Daniel kesal.               Daniel mengepalkan tangannya dan menuju ke mobilnya. Dalam kalutnya, dia berusaha menghubungi nomor telepon Ardi beberapa kali. Sama seperti yang sebelumnya, tidak sekalipun bersambut. Rasanya semua jalan buntu. Dengan gemas, Daniel memukul-mukul lagi setir mobilnya.               “Jangan bilang kamu ghosting seperti Fei, Steph! Jangan! Don’t treat me so bad like this, Steph! Banyak yang harus kujelaskan padamu. Aku janji nggak akan biarin kamu pergi lagi. Kalau perlu, aku bawa kamu pergi kemanapun kamu mau. Aku nggak takut berhadapan sama semua Saudaramu,” tekad Daniel sembari menstarter kendaraannya.               Bayangan sang Mama mendadak berkelebat. Membuat Daniel bertanya-tanya, apa gerangan artinya.               “Sorry Mom, mungkin aku sudah cukup lama nggak ziarah ke makam Mama. Ya, aku juga punya banyak hal buat kuceritakan ke Mama sebenarnya,”  desah Daniel, yang tiba-tiba saja tergerak untuk menyambangi makam sang Mama. Dan sekali lagi, bayangan wajah sang Mama seolah menyapanya.               Tumben Mama seperti menegurku begini. Sebaiknya kulanjutkan pencarian setelah ziarah, pikir Daniel, yang langsung memutuskan mengarahkan kendaraannya menuju ke jalan tol. Dia sedang beruntung sepertinya. Perjalanan terbilang lancar hari itu, barangkali lantaran telah lewat dari jam sibuk.             Baru saja dia sampai di depan makam sang Mama, mendung menggantung di langit.             Daniel mengabaikannya. Pikirnya, justru mendung itu bagai memayunginya.                         “Hai, Ma, maaf aku baru sempat kemari lagi. Banyak yang ingin kuceritakan ke Mama,” sapa Daniel sambil meletakkan buket bunga sederhana yang dibelinya di perjalanan. Daniel duduk bersimpuh dan menyapa Sang Mama setelah menaburkan bunga yang dibelinya di luar kompleks pemakaman, ke atas pusara Sang Mama. Dia agak menyesal karena tidak sempat memesan buket bunga yang indah untuk Sang Mama kali ini. Pasalnya, tadi dia berangkat kemari tanpa rencana yang matang. Alhasil, dia hanya membeli yang seadanya saja. Daniel memanjatkan doa untuk kebahagiaan sang Mama dan mengusap nisan bertuliskan nama Sang Mama. Usai berdoa, ditatapnya lagi pusara Sang Mama, membayangkan Mamanya tercinta tengah mendengarkannya bertutur.   “Ma, aku bersyukur urusanku sama Inge sudah tuntas. Jujur, itu melebihi ekspektasiku. Aku bersyukur diberikan kelancaran. Kulihat, Inge juga sudah menemukan Penggantiku. Aku senang melihatnya bahagia dengan Pendampingnya yang sekarang. Rasanya lega sekali, Ma. Dilema perjalanan ke Kaifeng itu akhirnya nggak sia-sia,” ucap Daniel lirih, terkenang alangkah gelisahnya dia sepanjang perjalanan tersebut. Belum lagi sederet pengorbanan yang harus dilakukannya, demi tetap menjaga hubungan baik antara keluarganya dengan keluarga Pak Victor. Mendadak angin kencang berhembus. Setetes air dari langit jatuh, namun Daniel mengabaikannya. Dia masih ingin melanjutkan kisahnya. “Aku sampai terpaksa nggak menghadiri pernikahan Fei sama Edo, Ma. Nggak enak sama mereka dan Romi sebetulnya. Sudah begitu, perasaanku kepada Inge, juga sudah teramat memudar dan kupiir malahan sudah nggak bersisa lagi. Bahkan hasratku buat meluruskan kesalah pahaman juga sudah nggak ada lagi. Ada satu hal lainnya, Ma, aku takut kalau aku akan sungguh-sungguh kehilangan Steph, Ma. Sungguh Ma, aku janji ke Mama, aku bakal menemukan dia, dan menjadikan dia Menantu Perempuan Mama,” bisik Daniel yakin. Cukup lama Daniel terdiam setelahnya. Daniel merenung. Saat titik-titik hujan jatuh lebih sering, dia berpamitan pada sang Mama. “Aku pulang dulu Ma. Nanti akan kusempatkan kemari lagi. Mama bahagia terus di sisiNya, ya,” diusapnya lagi batu nisan, dan melangkah meninggalkan pusara sang Mama. Namun entah mengapa, bukannya segera berlari ke parkiran untuk menghindari titik air hujan yang tercurah dari langit, Daniel justru melakukan hal yang berbeda. Ada dorongan kuat yang menuntun Daniel untuk melewati makam Orang tua Stephanie, bukannya segera menuju tempat parkir. Daniel benar-benar mengabaikan gerimis yang mulai turun lebih sering. Pantang membuang waktu, dia bergegas ke sana. ** Sosok yang dilihatnya tengah bersimpuh di depan dua makam yang bersebelahan itu membuatnya nyaris berteriak dan memeluk dari belakang. Sekiranya perlu, betapa ingin dia meringkus Sosok itu, membelenggu kaki serta tubuh Gadis itu seerat mungkin, demi memastikan Gadis itu tidak pergi lagi seenaknya. Dia memang terheran mengapa Gadis itu memosisikan diri bersimpuh di antara dua makam yang bersebelahan, bukan salah satunya. Setidaknya, itu yang disaksikan Daniel dari jarak yang agak jauh.   Ya, itu Stephanie! Meski aku melihatnya dari belakang, jelas itu kamu Steph! Batin Daniel penuh kelegaan.   Semakin dekat jarak yang terentang antara dirinya dengan Sosok GADIS ITU, SEMAKIN Daniel menyadari bahawa penglihatannya sedikit keliru. Ternyata, Gadis itu bukan bersimpuh di antara dua makam, namun lebih condong ke salah satunya. Daniek mengerjapkan matanya. “Steph di depan makam Papanya?” gumam Daniel kemudian, seiring surutnya langkahnya. Mendadak Daniel ragu dengan apa yang dilihatnya ini. Dia melihat bahu Gadis itu naik turun. Hatinya sungguh tersentuh. Apalagi melihat Stephanie tidak peduli akan hujan yang mulai menderas. “Steph, ada apa? Kamu menangis?” ucap Daniel khawatir sambil berusaha mendekat. Tidak ada sahutan dari Stephanie. Tidak.  Kecuali suara brukk! Yang teramat keras. Daniel tersentak melihat Gadis itu jatuh tertelungkup. * $ $  Lucy Liestiyo  $ $ Fanpage B!telucy
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD