07 - Refleks

2023 Words
Raline mengetukkan jarinya berkali-kali di atas meja. Gelas minuman dinginnya sudah mengembun sejak tadi, tapi isinya belum juga berkurang sedikit pun. Tampak sekali jika gadis itu sedang sangat gugup sekarang. Dan pria di hadapannya masih terdiam, membiarkan Raline hingga gadis itu siap untuk bicara. “Anda nggak punya kerjaan apa? Katanya punya jabatan tinggi di perusahaan. Kok mau-maunya aja saya ajak ketemu di sini?” tanya Raline. Gadis itu terlalu bingung untuk mengutarakan maksud kedatangannya, sehingga ia pun tiba-tiba saja mengatakan hal se-random itu. Gara – pria yang ada di hadapan Raline itu berdehem. “Karena saya pikir kamu akan mengatakan sesuatu yang penting. Lagi pula, kebetulan juga sebentar lagi jam pulang Cinta. Saya sekalian mau jemput dia.” Raline mengangguk-anggukkan kepalanya. Baiklah, sekarang ia tidak punya bahan bahasan yang lain lagi. Suasana canggung pun kembali terjadi selama beberapa saat. “Jadi, kamu mau bicara apa? Kalau kamu masih ragu untuk mengatakannya sekarang, kita bisa bicara lagi kapan-kapan. Sebentar lagi saya harus ke sekolah Cinta,” tegur Gara. Raline mengembuskan napas panjang. Sekali lagi, ia berusaha membesarkan hatinya sendiri. Mengumpulkan semua keberanian yang ia miliki untuk mengungkapkan tujuan ia ingin bertemu dengan pria sibuk di hadapannya. “S- saya dengar Anda petinggi di perusahaan besar, ya? Milik Mahawira Grup?” tanya Raline ragu. Gara mengangguk. Namun pria itu masih tidak mengerti apa tujuan Raline sebenarnya, sampai-sampai ia tiba-tiba menanyakan hal itu. “Kalau jabatan Anda tinggi, bisa dong Anda masukin saya ke kantor tempat Anda bekerja itu?” tanya Raline lagi. “Maksud kamu, kamu ingin saya bantu biar bisa mendapat pekerjaan di perusahaan saya?” Gara balik bertanya. Raline mengangguk kecil. Namun, sebelum Gara salah paham, ia pun segera menjelaskan alasan kenapa ia meminta bantuan semacam itu pada Gara. “Buk- bukan maksudnya saya mau manfaatin Anda. Hanya saja, sepertinya saya tidak bisa lagi menunda rencana orangtua saya untuk menikahkan saya. Dan saya tidak mungkin selamanya bergantung sama hasil freelance dan jualan kue saya setelah menikah nanti, kan? Saya ingin jadi wanita yang mandiri, sehingga suami saya nantinya tidak akan berani menindas saya. Dan saya pikir, perusahaan tempat Anda bekerja cukup bagus dan bergengsi. Jadi …” Ucapan Raline terpotong karena kekehan aneh Gara. “Pada akhirnya kamu setuju untuk menikah?” tanya Gara. “Bukan begitu. Hanya saja, saya sudah tidak bisa menghindar, kan? Orangtua saya ingin saya segera menikah, agar saya ada yang jaga katanya,” jelas Raline. “Lalu calonnya? Apa kamu sudah menentukan? Jawaban kamu atas pertanyaan saya tempo hari saja belum kamu berikan, kan? Jadi, bagaimana?” Gara melipat tangannya di depan d**a, tampak menantikan jawaban gadis di hadapannya. “Maksudnya soal ajakan Anda buat menikah?” Gara mengangguk membenarkan tebakan Raline. Raline menghela napas panjang, berusaha menyusun kata-katanya dengan sebaik mungkin. “Begini, Pak. Seperti yang sudah saya jelaskan berkali-kali, saya belum ingin menikah. Dan kalau pun saya memang harus menikah dalam waktu dekat, itu artinya saya terpaksa melakukan itu. Jadi, untuk calon pun saya tidak akan sempat untuk memilih. Dan kedua orangtua saya masih lebih setuju kalau saya dengan Lucas dibanding Anda,” terang Raline. “Loh kenapa?” “Ya karena orangtua saya sudah lebih kenal pada Lucas. Kenal orangtuanya, latar belakangnya, ya gitu deh. Jadi, memang sebaiknya kalau Bapak mau bantu saya, tolong bantu saya untuk dapat pekerjaan di kantor Anda saja, Pak. Soalnya itu yang benar-benar saya butuhkan saat ini,” jawab Raline. Gara menatap Raline tidak suka. Kemudian, ia beralih menatap arloji di tangannya. Ternyata sudah hampit tiba waktu pulang sekolah Cinta. Gara harus segera pergi jika tidak ingin terlambat menjemput putrinnya. “Saya rasa kamu masih butuh lebih banyak waktu untuk berpikir. Kita bicarakan lagi hal ini lain kali. Sekarang saya harus menjemput Cinta,” pamit Gara. Untung saja, pesanan mereka sudah dibayar di awal. Sehingga Gara bisa pergi begitu saja tanpa perlu repot-repot ke kasir terlebih dahulu. Melihat Gara sudah bangkit dan meninggalkannya, Raline pun menjadi kelabakan. Ia meneguk sedikit minumannya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa gatal. Setelah itu, ia turut bangkit dan menyusul langkah Gara hingga membuat pria itu terkejut karena menemukan Raline yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya. “Ada apa lagi? Saya mau jemput Cinta dulu, Raline. Kita bisa bicara lain waktu,” bingung Gara. “Lalu soal rencana Bapak buat masukin saya ke kantor?” tagih Raline. “Itu kan bukan rencana saya. Lagi pula saya tidak suka menggunakan kekuasaan saya untuk memasukkan orang yang kurang kompeten masuk ke perusahaan. Itu bisa mempengaruhi kredibilitas saya. Jadi, maaf,” ungkap Gara. Ia kembali melanjutkan langkahnya menuju ke parkiran. Namun, baru saja pria itu masuk, ia kembali dikejutkan oleh Raline yang tiba-tiba sudah duduk di sebelahnya. “Kamu-“ “Saya mau ikut, Pak. Lagi pula Cinta pasti senang kan, kalau ketemu saya?” ujar Raline sembari tersenyum lebar. Ia harus berusaha lebih keras untuk membuat Gara bersedia membantunya. Ia harus bisa mendapatkan pekerjaan yang baik secepat mungkin, sebelum orangtuanya benar-benar menikahkannya. Gara menghela napas panjang guna menahan rasa kesalnya terhadap gadis aneh di sebelahnya. “Kalau begitu, mari kita buat kesepakatan!” Raline menoleh was-was ke arah Gara. Entah kenapa, ia tidak begitu yakin dengan kesepakatan apa yang akan Gara tawarkan. Dari raut wajah pria itu, sepertinya itu bukanlah sesuatu yang akan bersifat menguntungkan untuk Raline. “Kesepakatan apa?” tanya Raline. “Saya akan bantu kamu mendapat pekerjaan di kantor. Sebagai gantinya, kamu harus bersedia membantu saya merawat Cinta,” pinta Gara. Raline membuka mulutnya lebar sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Oh … boleh, deh. Yang penting saya dapat kerjaan yang bagus dulu. Nanti soal jadi babysitter Cinta, saya-“ “Babysitter? Siapa yang mau menjadikan kamu babysitter Cinta?” bingung Gara. “Lah tadi Bapak-“ “Saya mau kamu jadi mamanya Cinta,” potong Gara cepat. Raline membulatkan matanya tidak terima. Ia merasa sudah menjelaskan semuanya pada Gara dengan sangat jelas, tapi kenapa pria itu malah kembali lagi membahas hal tersebut? “Pak, Bapak suka sama saya? Perasaan ngebet banget mau saya nikah sama Bapak,” heran Raline. “Kamu tidak tahu rasanya, Raline. Sejak punya anak, apalagi sadar jika Cinta hanya punya saya, saya sudah tidak bisa lagi memikirkan ego saya sendiri. Jadi, apapun yang saya lakukan dalam hidup saya, saya pasti akan selalu melibatkan Cinta sebagai salah satu alasan saya dalam mengambil keputusan,” terang Gara. Raline mengejapkan matanya. Ia merasa begitu bodoh kalau sudah dihadapkan dengan persoalan serumit itu. Jangankan anak. Adik saja ia tidak punya. Ia tidak terbiasa melakukan sesuatu demi orang lain. Paham jika Raline tidak mengerti ucapannya, Gara pun hanya bisa menghela napas panjang kemudian mulai menyalakan mesin mobilnya. “Saya tidak akan menyalahkan kamu kalau kamu tidak mengerti. Biar bagaimana pun kamu belum punya anak, jadi memang sulit bagi kamu untung mengerti apa yang saya katakan,” ucap Gara. Tatapan pria itu kini fokus menghadap ke arah jalanan di depannya. “Itu salah satu alasan saya nggak mau menikah dan punya anak. Saya mau menjalani kehidupan yang sudah rumit ini sendiri. Saya tidak mau bertambah stress karena memiliki semakin banyak tanggung jawab. Jadi-“ “Dan apakah menurut kamu hal itu akan berhasil, dengan kenyataan bahwa kedua orangtuamu terus mendesakmu untuk segera menikah?” potong Gara. Raline merengut kesal. Ia menggeleng kemudian kenatap lurus ke depan. “Pertimbangkan ucapan saya baik-baik, Raline! Setidaknya, jika kamu menikah dengan saya, saya bisa lebih mengerti keadaan kamu. Saya tidak akan menuntut terlalu banyak hal dari kamu. Saya cuma mau kamu membantu saya merawat Cinta. Sedangkan Lucas? Apa yang kamu harapkan dari dia? Apa kelebihan dia dibanding saya?” “Ck, sudah deh, Pak! Makin ke sini makin kentara kalau Bapak ngebet banget sama saya. Padahal kan saya sudah bilang kalau saya nggak mau sama Bapak,” ketus Raline yang merasa bahwa Gara terus saja menyudutkannya. Akhirnya, pembiaraan mereka pun terhenti begitu saja. Lagi – hal itu kembali digantungkan. Tidak ada yang menjadi jelas di antara mereka. Namun, jika boleh jujur, perkataan Gara perlahan mulai bisa menggetarkan hati Raline. Ucapan-ucapan itu terus terngiang, membuat Raline berpikir keras tentang masa depannya. Jika Raline tetap pasrah dengan keadaannya yang seperti ini, maka bisa dipastikan ia akan segera dinikahkan dengan Lucas oleh kedua orangtuanya. Dan hal itu tidak lebih baik dibanding ia menjadi istri seorang Igara Surya Mahawira, kan? ‘Pada akhirnya aku akan menjadi istri seseorang. Entah itu Lucas, Pak Gara, atau mungkin pria lain. Kalau kenyataannya aku memang harus menikah, apa Lucas adalah pilihan yang tepat, sementara di sisi lain ada Pak Gara yang telah menjanjikan kebebasan untukku bahkan setelah kami menikah?’ batin Raline. Gadis itu sibuk dengan pikirannya sendiri di sepanjang perjalanan. *** “Pap- Mama!!!” Raline memaksakan senyumnya saat gadis kecil dengan rambut dikepang itu berhambur memeluk kakinya. Ia sedikit kaku, tidak tahu harus berbuat apa. “Mama nggak mau balas pelukan Cinta? Kenapa, Ma? Apa Cinta ada salah sama Mama?” Raline menggeleng. Ia jadi merasa serba salah. Ia melirik ke arah Gara yang tampak mengembuskan napasnya seperti orang yang putus asa. Kemudian, entah dapat ide dari mana, Raline segera menunduk dan menyentuh wajah Cinta. “Tante nggak marah, kok. Lagian harus marah kenapa? Cinta kan anak baik,” jawab Raline. “Tante? Mama kok selalu menyebut diri Mama begitu? Mama tidak suka ya sama Cinta?” tanya Cinta, membuat Raline langsung menggelengkan kepalanya dengan lidah yang terasa kelu. “Apa karena Mama sudah pisah sama Papa? Kata teman Cinta, waktu orangtuanya pisah, dia nggak boleh lagi manggil papanya dengan sebutan ‘Papa’. Dia juga tinggal terpisah dari papanya. Sama kayak Cinta sama Mama. Apa Mama seperti ini karena Mama juga sudah pisah sama Papa? Kalau begitu, kenapa harus pisah, Ma? Kenapa Mama dan Papa tidak kembali bersama saja?” Raline merasa bersalah mendengar suara parau gadis kecil di hadapannya. Tangannya terangkat untuk membelai puncak kepala Cinta dengan penuh rasa iba. “Em … Tan- Tant- Mama Tante nggak bisa jelasin sekarang, sayang. Tapi yang pasti, Tante nggak benci kok sama Cinta. Hanya saja-“ “Pa, Papa pernah jahatin Mama, ya? Kok Mama jadi nggak mau lagi tinggal sama kita? Atau Cinta yang nakal sampai-sampai Mama marah dan nggak mau lagi jadi mamanya Cinta?” Gadis kecil itu beralih pada sang ayah. Namun, bukannya menjawab pertanyaan Cinta, Gara justru menatap dingin Raline yang kini masih merasa serba salah. “Pak, gimana cara jelasin-“ “Itulah kenapa saya nggak berencana mengajak kamu ke sini tadi. Karena saya sudah menduga hal ini akan terjadi. Keberadaan kamu yang seperti ini cuma akan membuat Cinta sedih,” balas Gara dingin. Raline kian merasa bersalah. Namun, ia masih juga tidak tahu harus berbuat apa untuk menebus rasa bersalahnya itu. Terlebih lagi saat Cinta tiba-tiba menangis dalam dekapan ayahnya, merengek meminta agar Gara bisa membawa ‘mamanya’ kembali padanya. “Cinta mau Mama, Pa. Cinta mau punya Mama seperti teman-teman Cinta yang lain. Ayo kita minta maaf ke Mama, Pa! Supaya Mama nggak marah lagi, dan mau pulang bersama kita!” isak Cinta. “Cinta, dengar Papa, Nak! Tante Raline bukan mama kamu. Dia-“ “Papa jahat! Cinta mau turun aja! Cinta mau ikut Mama. Kalau Papa nggak mau bawa Mama pulang, biar Cinta yang ikut Mama!” teriak Cinta. Melihat kekacauan yang terjadi di hadapannya, Raline semakin merasa bersalah. Pikirannya pun ikut kacau. Yang jelas, ia sadar jika ia baru saja membuat dosa besar karena telah membuat hati malaikat kecil itu terluka. “Cinta, dengarkan Papa! Dia bukan Mama. Mamanya Cinta kan sudah-“ “C- Cinta, Cinta boleh kok ikut Tante,” potong Raline. Ia sepertinya tidak sadar dengan apa yang baru saja ia katakan. “Cinta mau ikut Mama,” lirih Cinta menatap ayahnya dengan tatapan memelas. “Kamu mau bawa ke mana anak saya?” tanya Gara. Ia masih enggan melepaskan Cinta dari gendongannya. “Kalau kamu cuma mau buat dia semakin berharap, lalu pergi begitu saja, saya rasa tidak perlu. Saya tidak mau Cinta lebih terluka lagi daripada ini. Dan soal permintaan kamu tadi tentang-“ “Pak, ayo kita rawat Cinta bersama! Sepertinya saya tidak keberatan untuk membantu Bapak membesarkan Cinta. Biarkan saya menjadi mamanya dan ikut serta membesarkannya!” ucap Raline dengan lugas hingga membuat Gara tersentak kaget dan seketika kehilangan seluruh kata-katanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD