Selamat Datang Ke Dunia

1378 Words
Hari kedua mereka berada di Jakarta. Cuaca sedikit panas, sehingga Annisa merasa malas ke luar kamar dan memilih tetap di penginapan, sekalipun ibu mertuanya sudah menelepon meminta datang. Dia mengatakan bahwa mereka akan berkunjung ke sana dengan menggunakan taksi online. "Bapak mau ke depan beli makanan. Kamu jangan ke mana-mana, Nduk. Tunggu saja di kamar," pesan Pandu ketika menyambangi putrinya. Bima hanya memesankan satu kamar untuk mereka, sehingga Pandu mengeluarkan biaya pribadi untuk membayar kamarnya sendiri. Annisa akan bertemu ayahnya di pagi hari saat sarapan. Untuk makan siang, mereka akan mencari di sekitar penginapan karena jika memesan makanan di sana harganya cukup tinggi. "Bapak jangan lama. Perutku gak enak," keluhnya. "Bapak cuma mau menyebrang ke depan. Ada yang jualan nasi campur," jelas Pandu ketika melihat wajah putrinya yang terlihat khawatir. "Aku mau ayam goreng, Pak. Aku ingin makan enak di sini," pinta Annisa. Selama berada di kampung, mereka memang menghemat semua pengeluaran dan menabung sedikit demi sedikit untuk biaya melahirkan. "Ya sudah bapak pergi dulu. Ingat, jangan ke mana-mana. Tetap di kamar. Jangan bukakan pintu kecuali Bapak yang datang." Pandu berjalan ke luar dan menutup pintu kamar anaknya. Ketika terdengar suara kunci yang berputar, laki-laki itu langsung bernapas lega karena tak perlu merasa khawatir meninggalkan putrinya sendirian. Sepeninggalan ayahnya, Annisa berjalan menuju jendela dan menatap pemandangan indah dari baliknya. Penginapan ini cukup bagus dan bersih sekalipun harganya terjangkau. Annisa sempat menolak ketika Bima mengatakan akan memesankan mereka sebuah kamar hotel. Baginya itu terlalu berlebihan, hingga akhirnya tempat ini yang dipilih. Asyik menatap taman kecil di depan kamarnya, tiba-tiba Annisa mengaduh karena si jabang bayi menendang dengan cukup keras. Dia merasa takjub ketika tendangan itu semakin keras. Lalu, wanita itu mengusap perutnya dengan pelan sembari berbicara. "Kamu lagi apa, Le? Main, ya? Masa' ibu ditendang," katanya dengan senyum yang melengkung di bibir. Setelah mengucapkan itu, tendangan menjadi semakin keras dan menekan kandung kemihnya. Annisa berjalan pelan ke kamar mandi sembari berpegangan di daun pintu. Lantainya tidak licin karena setiap pagi ada petugas yang membersihkan. Setelah selesai semua, wanita itu kembali memakai pakaian dan berjalan pelan menuju keluar. Namun, sikunya tak sengaja menyenggol botol sabun sehingga sebagian isinya tumpah. Dengan kepayahan, Annisa mencoba menimba air untuk menyiram lantai agar tak licin. Sayang, kakinya justru terpeleset dan terjatuh cukup keras sehingga menyebabkan tubuhnya terbentur bak mandi. Wanita itu sempat berteriak kesakitan sembari memegang perut, lalu tiba-tiba saja semua menjadi gelap. *** Setengah jam berlalu dan Pandu masih mondar-mandir di depan ruang operasi dengan gelisah. Telapak tangannya memproduksi cukup banyak peluh karena merasa gugup sekaligus ketakutan secara bersamaan. Tadi saat pulang ke penginapan, dia mendapati putrinya tergrletak di kamar mandi dengan darah yang mengucur di sela kaki. Awalnya Pandu mengetuk pintu hendak mengajak Annisa untuk makan siang bersama, tetapi tak ada jawaban. Laki-laki itu berpikir bahwa putrinya sedang tidur, jadi memilih menunggu beberapa saat. Namun, perasaannya semakin tidak enak, sehingga meminta kunci cadangan ke resepsionis. Begitu pintu kamar terbuka, Pandu langsung berteriak panik saat melihat kondisi putrinya. Dia segera mengangkat Annisa dan membawanya ke depan, lalu meminta petugas resepsionis untuk memesankan taksi online menuju rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan Pandu melantunkan doa-doa agar putrinya tetap kuat bertahan. Begitu tiba di rumah sakit, Annisa langsung dibawa ke kamar operasi untuk mendapatkan pertolongan. Pandu menanda-tangani surat-surat yang dibutuhkan sebagai persetujuan operasi, lalu menelepon Bima. Cukup lama dia menunggu seorang diri, hingga sebuah panggilan mengalihkan pandangannya. "Pakde. Mana Nisa?" Bima bertanya dengan napas memburu karena berlari saat memasuki rumah sakit. Dia bahkan sempat menyenggol petugas katering yang sedang membawa food troly karena begitu panik. "Di dalam. Sedang ditangani dokter. Semoga Nisa dan bayinya gak apa-apa," jelas Pandu lemas. Dia duduk di kursi tunggu sembari mengusap wajah berulang kali. Bima mengucap istigfar, lalu duduk di sebelah Pandu dengan perasaan tak menentu. Dia sengaja tak memberi tahu sang ibu agar semua orang tak panik. Mereka berdua memilih diam sembari sabar menunggu. "Keluarga Ibu Annisa?" tanya seorang dokter saat ke luar dari ruang operasi. "Saya ayahnya," jawab Pandu cepat. "Ibu dan bayinya berhasil kami selamatkan. Hanya saja untuk sementara harus masuk inkubator karena lahir prematur dan berat badannya rendah," ucap dokter seraya menatap mereka berdua dengan lekat. "Alhamdulillah." Dua laki-laki mengucap syukur lalu saling berpelukan. "Bapak bisa masuk untuk mengazankan bayinya?" Pandu mengikuti sang dokter masuk ke dalam dan menunaikan tugasnya. Setelah itu dia diminta keluar karena cucunya akan dibawa ke ruang intensive perawatan bayi. Pandu hanya sekilas melihat rupa dari balik kaca dan mengucapkan hamdalah bahwa bayi itu terlahir sempurna. Tidak ada cacat di tubuh putra Annisa, hanya saja dia perlu mendapatkan perawatan khusus. Tak lama, pintu kembali terbuka dan sebuah bed didorong oleh beberapa perawat. Annisa tampak terbaring dengan mata tertutup dan langsung dibawa ke ruang perawatan. Pandu dan Bima mengekori hingga tiba di depan lift dan mereka naik ke lantai tiga. "Nanti jika pasien sudah sadar, boleh diberikan minum jika sudah buang angin. Dokter sebentar lagi akan datang untuk pemeriksaan lebih lanjut," ucap salah satu perawat sebelum meninggalkan ruangan itu. Pandu dan Bima menyimak semua penjelasan tanpa menyela. Mereka mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang diberikan tim medis. "Semua biaya akan saya tanggung. Pakde gak usah khawatir," janji Bima ketika melihat Pandu sedang termenung. "Terima kasih, Nak. Bima. Kamu memang baik, sama seperti Rahman. Andaikan Annisa mau menerima pinanganmu, pastilah Pakde merasa tenang," ucap Pandu seraya mengusap kepala putrinya yang belum sadarkan diri. Mereka berdua saling bercerita hingga akhirnya Bima berpamitan keluar untuk membeli makanan. Dia tak mungkin menjaga Annisa karena perkerjaan yang tak bisa ditinggalkan. "Nak Bima. Pakde bisa minta tolong lagi?" pinta Pandu. Hanya laki-laki itulah harapannya karena mereka tak mengenal siapa pun di kota itu. "Ada apa, Pakde? Bilang saja jangan sungkan," ucapnya sungguh-sungguh. "Tolong kamu ke penginapan dan bawakan barang-barang kami. Annisa pasti butuh baju ganti." Pandu pernah mengalami hal ini ketika mendiang istrinya sakit dulu. Dialah yang merawat wanita itu sampai sembuh, sehingga sedikit mengerti apa saja yang perlu dilakukan dalam kondisi seperti itu. "Baik, Pakde. Ada lagi?" Pandu menggelengkan kepala sebagai jawaban, lalu dia ke kamar mandi untuk mengambil wudu. Saking paniknya, dia sampai lupa menunaikan kewajiban sebagai muslim. Doanya begitu khusyuk saat meminta segala yang terbaik untuk keluarga mereka. Air matanya bercucuran ketika mengucapkan nama sang putri dan cucunya. Sementara itu, setelah keluar dari ruangan Annisa, Bima berbelok arah ke ruang perawatan bayi. Dia ingin melihat putra sang kakak yang baru saja dilahirkan. Sekalipun mereka belum bisa menyentuhnya untuk sementara waktu, paling tidak dengan melihat wajahnya dapat membuat hati tenang. "Bapak suami Ibu Annisa?" "Ya, benar. Saya ingin melihat bayi saya," ucapnya berbohong. Tak mungkin juga dia menjelaskan itu putra mendiang sang kakak. "Baik, tapi tidak bisa lama ya, Pak. Nanti ada waktunya sendiri," jelas perawat sembari berjalan dan menunjukan arah ruangannya. Jantung Bima berdetak kencang saat memasuki ruangan itu. Begitu mereka tiba di depan sebuah inkubator, senyum melengkung di bibirnya. Keponakannya terlihat begitu kecil dengan selang oksigen sebagai alat bantu pernapasan. Rambutnya ikal dengan kulit sedikit gelap. Hidung bayi itu begitu mancung mirip sekali dengannya. Bima menatapnya dengan beribu perasaan bahagia yang menyusup di d**a. Lalu, ketika dia diminta untuk keluar oleh perawat, laki-laki itu baru menyadari sesuatu hal. Bayi itu, berkulip gelap dengan hidung mancung dan rambut ikal. Semua tampilan fisiknya sama sekali tak mirip dengan mendiang Rahman. Kakaknya berkulit putih bersih dengan rambut yang lurus dan tipis. Begitu pula Annisa yang tampilan fisiknya sama. Lalu ... bayi siapakah itu? Apakah telah tertukar karena sering terjadi di rumah sakit. Atau kah .... Deg! Jantung Bima berdetak kencang. Dia berbalik dan kembali menatap bayi itu dengan lekat. "Ya Allah," ucapnya sembari meneteskan air mata. Dada Bima begitu sesak dengan rasa haru yang sedang berlomba-lomba memenuhi hatinya. Laki-laki itu mengucap istigfar dan berusaha menyakinkan diri berulang kali. Itu anaknya. Bayi itu putranya, lahir dari benih yang ditanam di pagi itu saat dia m*****i Annisa. Bima menangis sesegukan sehingga perawat sempat menegurnya agar tak membuat suara berisik di ruangan itu. Bima mengusap air mata dengan ujung kemeja lalu berucap dalam hati sebelum benar-benar keluar. "Nisa. Kamu harus menjadi istriku, apa pun yang akan terjadi nanti." Langkah kaki Bima saat meninggalkan ruangan itu kini terasa lebih ringan. Dia akan pulang ke rumah dan membawa ibunya datang. Dia tak perlu ke kembali ke kantor dan segera mengajukan cuti. Mulai sekarang, dia yang akan mengambil alih tanggung jawab Annisa dan putra mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD