Empat pasang kaki itu melangkah pelan menyusuri jalan paling fenomenal di kota Yogyakarta. Bima bersisian dengan Pandu, sedangkan Annisa bergandengan tangan dengan Ratih. Mereka memarkir mobil sedikit jauh, sehingga bisa menikmati pemandangan di sekitar jalan.
Bima menyewa mobil untuk perjalanan kali ini. Mereka juga memesan penginapan untuk beristirahat. Dia ingin mengajak ibunya liburan, sekaligus mengambil hati Pandu agar menyetujui niatnya untuk menikahi Annisa. Laki-laki itu tidak peduli, jika nanti lamarannya diterima atau tidak. Baginya, yang paling penting adalah usaha.
"Mama mau sarapan nasi gudeg. Pagi-pagi begini sudah ada gak, ya?" tanya Ratih.
"Ada, Mbakyu. Di sebelah sana," tunjuk Pandu.
Suasana pagi itu cukup ramai karena hari libur, tetapi udara terasa begitu segar sehingga menambah selera makan. Setelah memesan empat porsi gudeg dengan teh hangat dan kopi panas, mereka duduk menunggu sembari berbincang.
Annisa hanya terdiam dengan perasaan tak menentu. Perutnya terasa mual sejak awal berangkat hingga sekarang. Hanya dia berusaha menahan itu demi memenuhi keinginan ibu mertuanya.
"Kamu kenapa, Nduk? Pucat begitu," tanya Pandu heran. Beberapa hari ini, putrinya memang terlihat aneh. Sekalipun tubuhnya kecil, fisik Annisa cukup kuat dan jarang sakit.
"Pusing, Pak. Mungkin mabuk perjalanan," jawabnya.
"Tumben. Biasanya badan kamu kuat saja," ucap Pandu sembari menyesap kopi panas dengan perlahan.
Bima yang mendengar percakapan itu hanya menyimak dan memperhatikan. Memang benar wajah Annisa terlihat pucat dan lemas, sehingga membuatnya sedikit khawatir.
"Entah, Pak. Aku kok beberapa hari ini gak enak badan," jawabnya. Makanan di piringnya masih bersisa banyak. Hanya segelas teh hangat yang bisa dia habiskan dengan cepat.
"Apa mau datang tamu bulanan, Nak? Kalau Ibu sewaktu muda begitu," timpal Ratih. Selama tinggal dengan mereka dulu, Annisa memang jarang sakit.
Annisa terdiam mendengar ucapan ibu mertuanya tadi. Tamu bulanan? Rasanya dia belum mendapatkannya. Tiba-tiba saja, wanita itu menutup mulut karena menyadari sesuatu hal.
"Nisa permisi ke belakang dulu," katanya dengan cepat sembari menutup mulut karena rasa mual semakin mendera.
Pandu menatap Bima dan Ratih secara bergantian, lalu bertanya, "Selama tinggal di sana, apa Nisa pernah sakit, Mbakyu?"
Ratih menggeleng, lalu menjawab, "Sakit biasa kayak demam atau flu iya. Tapi yang begini belum pernah. Mungkin dia kecapean."
Bima menatap dua orang itu dengan lekat, lalu tiba-tiba saja sebuah pemikiran melintas di benaknya.
"Saya permisi ke belakang," katanya menyusul Annisa. Laki-laki itu bertanya kepada pegawai rumah makan di mana letak kamar mandi, dan berdiri di depannya sembari menunggu.
Begitu pintu terbuka, Bima menghadang jalan Annisa dengan merentangkan satu tangan.
"Mau apa?" tanya wanita itu sengit.
"Kamu ... kenapa sakit begitu?" Dia bertanya dengan nada khawatir.
"Bukan urusan kamu!" jawab Annisa ketus.
"Aku khawatir kalau kamu kenapa-kenapa, Nis," jawab Bima yakin.
"Biar aku urus sendiri. Kamu bukan siapa-siapa!" bentak Annisa.
Bima menggengkan kepala saat Annisa kembali ke kamar mandi dengan suara muntahannya terdengar jelas.
"Permisi!" ucap Annisa menepiskan tangan Bima ketika dia sudah selesai. Lalu, wanita itu kembali duduk di dekat ibu mertuanya.
"Kita balik ke penginapan aja sekarang. Kasihan Nisa lagi sakit," ajak Ratih iba. Melihat kondisi menantunya yang payah, rasanya dia tak tega.
"Mama sama Pakde tunggu di sini aja. Biar Bima antar Nisa ke penginapan," usul laki-laki itu yang membuat mata Annisa melotot tak senang. Ekspresinya sempat dilihat oleh Pandu, sehingga menimbulkan kecurigaan.
"Ya sudah kalau begitu. Mama juga ada yang mau dibicarakan sama Mas Pandu. Jadi kalian pulang duluan," saran Ratih bijak.
Dia ingin menyampaikan maksud Bima untuk melamar Annisa. Itulah alasan utama kenapa mereka datang berkunjung. Putra keduanya itu terus mendesak, sehingga akhirnya dia mengalah.
"Tapi nanti Bima jemputin Mama lagi kalau udah selesai antar Nisa," ucap laki-laki itu senang.
Annisa sendiri tak dapat menolak karena ayahnya sudah mengiyakan. Hanya saja dia harus waspada. Wanita itu dengan cepat membuka tas, memeriksa apakah dia mempunyai sesuatu yang dapat digunakan untuk membela diri, seandainya Bima berniat jahat. Lalu, dia mengucap syukur saat menemukan ada gunting kecil di dalam pouch.
"Ayo!" Bima hendak menarik tangan Annisa, tetapi wanita itu sengaja menghindar dengan berpura-pura mencium tangan ayahnya.
Mereka berjalan beriringan menuju mobil, hingga tiba di parkiran tubuh Annisa menjadi limbung dan hampir terjatuh. Dengan cepat, Bima meraihnya kemudian membawa wanita itu masuk ke mobil.
Annisa memejamkan mata sembari menyandarkan kepala, dengan rasa mual semakin menghebat, juga pusing yang muncul bersamaan.
Bima mengendarai mobil dengan kecepatan sedang hingga tiba di penginapan. Laki-laki itu menuntun Annisa hingga masuk ke kamar.
"Keluar," lirih Annnisa dalam kondisi lemah. Sunguh laki-laki itu memang b***t jika berani memanfaatkan keadaan.
"Kamu mau obat?"
"Gak usah. Tolong keluar," pintanya memohon.
Bima segera menutup pintu dan berjalan ke kamarnya sendiri. Laki-laki itu meraih ponsel dan menelepon ibunya untuk memberi tahu kabar Annisa.
"Mama kalau sudah selesai cepat pulang. Tadi Nisa tadi hampir jatuh di parkiran," kata Bima saat panggilan tersambung.
"Loh, kok bisa?" tanya Ratih. Dia baru saja selesai menyampaikan niat mereka kepada Pandu dan ditanggapi dengan positif, asal Annisa bersedia.
"Aku gak ngerti. Gak bisa bantuin yang lain juga. Mama sama Pakde pesen taksi pulang sekarang," pintanya sebelum menutup panggilan.
Sembari menunggu mamanya datang, Bima berjalan keluar dan berdiri di depan kamar Annisa, mencoba mencuri dengan dari balik daun pintu. Apakah wanita itu masih mual seperti tadi atau sudah lebih baikan. Namun, tidak ada suara, sunyi senyap sama seperti hatinya.
"Ada apa, Nak?" tanya Ratih saat tiba. Dia dan Pandu menjadi panik dan bergegas pulang.
"Nisa kayaknya sakit parah. Muntah-munta terus tadi limbung. Hampir aja jatuh. Aku cuma bantu dia masuk ke kamar habis itu keluar," jawab Bima gamang.
Ratih mengetuk pintu karena terkunci. Mereka menunggu beberapa menit, tetapi belum ada jawaban, sehingga Bima meminta kunci cadangan dari resepsionis penginapan.
Begitu pintu kamar terbuka, Annisa terlihat sedang terbaring di tempat tidur dengan mata terpejam.
"Nisa," Ratih mencoba memanggil.
"Ibu," lirih Annisa lemas. Matanya menatap sekeliling, tetapi seketika mual mencium aroma parfum dari tubuh ibu mertuanya. Wanita itu menutup hidung dan memalingkan wajah.
"Kita bawa ke dokter saja sekarang," titah Ratih.
Pandu dengan cekatan membantu putrinya berdiri dan memapahnya berjalan ke depan. Lalu, mobil melaju membelah jalanan kota Yogyakarta, setelah Bima bertanya di mana alamat rumah sakit terdekat.
Annisa langsung dibawa ke IGD dan menjalani pemeriksaan.
"Minum obatnya dulu, Ibu," ucap salah satu perawat sembari menyerahkan sebutir pil dan air putih.
"Gimana kondisi anak saya, Dokter?" tanya Pandu dengan nada khawatir.
Ruang IGD itu penuh sesak dengan pasien dan berbagai macam penyakit. Sempat terdengar erangan dari korban tabrak lari atau anak kecil yang menangis. Juga teriakan dari perawat ketika seorang ibu yang hendak melahirkan tiba-tiba saja masuk.
"Ibu Annisa baik-baik saja. Hanya tekanan darahnya menurun drastis. Perlu istirahat," jawab dokter dengan singkat.
Ketika Pandu meminta hasil diagnosa yang lebih detail, dokter itu justru mengalihkan pembicaraan dan menuliskan resep agar segera ditebus ke apotik depan.
"Nisa mau pulang," pinta wanita itu sembari mengusap air mata.
Bima menatap wajah sang pujaan hati dengan iba.
"Mama mau bicara berdua dengan Nisa," pinta Ratih kepada putranya. Melihat kondisi menantunya yang tak lazim, dia menduga sesuatu telah terjadi.
"Aku tunggu di luar, Ma. Nanti kalau Pakde sudah selesai ambil obat, kita pulang aja," katanya sembari melangkah berdua.
Ratih menatap menantunya dengan lekat lalu mengusap wajah itu dengan lembut.
"Nisa. Ibu pernah melahirkan dua putra. Tanda-tanda awal kehamilan sama persis dengan apa yang kamu alami sekarang. Coba jujur sama Ibu. Apakah itu benar?" tanya Ratih blak-blakan. Dia tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana karena Annisa begitu tertutup.
Annisa membuang wajah dan terdiam beberapa saat lalu ... mengangguk.
"Alhamdulillah," ucap Ratih sembari mengusap wajah.
Hal itu membuat Annisa kaget dan hendak menyanggah ketika ibu mertuanya menyambung pembicaraan.
"Akhirnya Rahman punya keturunan walaupun dia gak sempat melihatnya," ucap Ratih sembari mengusap air mata karena rasa haru.
Annisa menggelengkan kepala, tetapi tak kuasa berkata. Dua bulan sebelum kepergiannya, Rahman jatuh sakit dan mendapatkan perawatan yang cukup lama. Bayi yang kini tumbuh di rahimnya bukan darah dari mendiang sang suami, tetapi orang lain.
"Nisa. Bayimu akan tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah. Apa kamu sanggup?" tanya Ratih.
Annisa lagi-lagi terdiam. Ingin mengatakan yang sebenarnya tetapi lidahnya begitu kelu.
"Nak. Ibu sangat sayang kepadamu. Bagaimana kalau kamu menikah dengan Bima? Kasihan anakmu nanti," pintanya lagi.
Annisa menggelengkan kepala. Bagaimana mungkin dia bisa hidup bersama dengan orang yang telah menodainya, sekalipun Bima adalah ayah biologis dari bayinya.
"Pikirkan baik-baik, Nisa. Bapakmu sudah setuju kalau kamu bersedia. Bima juga siap bertanggung ja--."
Ucapan Ratih terputus ketika Bima dan Pandu menghampiri mereka.
"Baiknya kita balik ke penginapan sekarang. Mungkin besok pagi baru jalan pulang ke kampung," saran Bima. Tadi dia sudah bertanya-tanya kepada Pandu mengenai penyakit Annisa, tetapi jawabannya kurang memuaskan.
Pandu mengiyakan dan menuntun p.
Kursi roda didorong pelan meninggalkan rumah sakit. Semua orang terdiam sepanjang perjalanan.