Arvin duduk sebentar sambil menatap seisi kamar. Kamar itu seolah menjadi saksi pertengkarannya dengan Luna semalam. Sangat menyesal rasanya jika harus seperti ini yang terjadi. Air mata yang sempat menetes dia hapus lagi. Dia sangat mencintai wanita itu. Begitu sesak. Dia harus menahan segala kesedihan agar Luna tak cemas padanya. Mungkin hari ini Luna bangun. Mungkin hari ini Luna ingin melihat senyumannya. Oleh karena itu, dia tak ingin matanya terlihat sembab karena menangis. Arvin masuk ke toilet dan membasuh wajahnya agar segar kembali. Lalu, meraih handuk yang ada di dekat rak kecil. Sesaat, matanya tertuju pada tube kecil berisi pil. Ya, pil milik Luna. Dia menatap heran. “Pil apa ini?” Arvin segera keluar dari kamarnya dan menyambar tas yang berisi pakaian. Dia turun ke lant