Pagi harinya Denver mengajak Shevaya untuk datang ke kantor bersamanya, dia hanya tidak ingin ibunya kembali datang dan ikut campur dengan urusannya. Kondisi Shevaya sudah lebih baik dari sebelumnya karena itulah dia meminta Shevaya untuk datang ke kantor dan menemaninya ke acara penting nanti malam.
“Kaki kamu udah baikan?” tanya Denver ketika mereka berada di mobil.
“Udah kok, tapi masih belum bisa jalan cepet. Emang nggak bakal malu-maluin kalau ikut ke acara nanti malam?” tanya Shevaya.
“Aku harus membawa pasangan Sheva, mau tidak mau kamu harus ikut.”
Shevaya tidak memiliki pilihan lain, dia hanya bisa mengikuti segala hal yang Denver inginkan. Kesepakatan di antara keduanya adalah agar mereka saling membantu terlebih ketika Denver membutuhkan bantuannya.
Shevaya kini sudah sampai di kantor, banyak pasang mata yang melihatnya. Mereka tidak menyangka jika Denver membawa pasangan datang ke kantornya. Lelaki itu terlihat kejam ketika marah, tetapi dia tidak melepaskan pelukannya di saat mereka berjalan menuju ruangan Denver.
“Banyak yang lihat,” bisik Shevaya malu.
“Biarin, biar banyak yang lihat.” Denver tidak peduli karena perusahaan ini miliknya, dia hanya tidak ingin ada karyawan lain yang berusaha menggoda dengan tubuhnya.
Setelah sampai di ruangan Denver, Shevaya hanya bisa duduk dengan santai. Dia melihat Denver yang membaca banyak dokumen yang dibawakan oleh Segara. Bosan, itulah yang Shevaya rasakan. Dia tidak suka berada di tempat ini, tetapi dia tidak bisa menolak permintaan Denver padanya.
“Kalau udah lapar ngomong aja,” ucap Denver tanpa melihat Shevaya.
Shevaya hanya mengangguk, dia kembali memainkan ponsel untuk mengusir sepi. Waktu tidak terasa berjalan dengan cepat, Denver tidak berpindah dari posisinya bahkan berjam-jam telah berlalu, Shevaya bahkan tidak berani bicara karena dia takut Denver terganggu.
“Sheva, kamu ingin makan siang sekarang?” tanya Denver yang kini meletakkan dokumennya dan berjalan menghampiri Shevaya.
“Boleh aku ingin—” belum selesai Shevaya bicara kini Rosmala dan Genta masuk ke dalam ruangan Denver tanpa ijin.
“Sheva, Tante pikir kamu di apartemen.” Rosmala memeluk Shevaya dengan riang.
“Kenapa ke sini?” tanya Denver.
“Ada yang ingin Papa bicarakan,” ujar Genta.
“Ayo kita keluar sayang, biarin mereka bicara.”
Genta berbicara pada Denver ketika Rosmala mengajak Shevaya untuk berkeliling perusahaan. Rosmala hanya tidak ingin Sheva tahu betapa pelik hubungan keluarga yang sedang Denver alami.
"Danuarta marah karena Sandi kamu pecat," ucap Genta tanpa basa basi.
"Pa, sebelumnya sudah aku katakan jika dia banyak membuat perusahaan kehilangan uang. Aku sudah menahan diri sejak lama, bukankah ini waktu yang tepat untuk memecatnya?" tanya Denver santai.
"Bagaimanapun dia masih keluarga kita, apakah kamu tidak ingin mempertimbangkannya lagi?" tanya Genta.
Denver menggelengkan kepalanya dengan tegas, apa pun yang terjadi dia tidak akan membiarkan usaha yang dia lakukan sia-sia. Sudah cukup Denver membiarkan Sandi begitu banyak mengambil uang perusahaan, dia tidak akan membiarkan kejadian sama terulang kembali.
"Danuarta meminta Felix untuk kembali ke perusahaan," ujar Genta.
"Dia mampu?" tanya Denver dengan tatapan mencemooh.
Denver tahu bagaimana kapasitas otak Felix, lelaki itu hanya pandai untuk berbohong. Dia selalu melakukan segalanya tanpa perhitungan yang matang, termasuk mengadu domba dirinya dengan keluarganya sendiri. Sudah cukup Denver keluar dari rumah, dia tidak ingin lagi Felix kembali melakukan hal yang membuatnya murka.
"Apa tidak cukup dia mengambil kalian? Mau ambil perusahaan juga?" tanya Denver marah.
"Denver, bukan begitu maksud Papa. Orang tua Felix sudah meninggal," ucap Genta.
"Mereka meninggal bukan salah Papa atau Mama. Kenapa kalian yang harus bertanggung jawab? Bukankah sejak awal dia tidak ingin kerja di perusahaan lantas kenapa sekarang saat perusahaan semakin maju dia ingin ikut serta di dalamnya? Kemana dia saat perusahaan ini terpuruk?" tanya Denver emosi.
Genta hanya bisa terdiam, dia hanya ingin menjaga anak dari kakak iparnya, tetapi kini semuanya semakin berantakan. Denver benar-benar marah bahkan sampai saat ini tidak pulang ke rumah, semua pertengkaran itu membuat Denver semakin jauh dari keluarganya.
"Jika Papa menghendaki hal itu, lebih baik aku keluar dari perusahaan." Denver pergi meninggalkan Genta untuk mencari keberadaan Shevaya.
***
Shevaya kembali merasa tertekan ketika banyak pasang menatapnya, semua pekerja tidak pernah melihat Rosmala begitu dekat dengan seorang wanita. Denver sampai sekarang masih single dan kedatangan seorang wanita ke kantor sungguh menjadi topik hangat perbincangan mereka.
"Nanti malam kamu ikut Denver datang ke acara itu?" tanya Rosmala.
Shevaya mengangguk, dia merasa berdebar dan takut ketika Rosmala mengatakan bahwa hal itu pertama kalinya dalam hidup Denver. Sebelumnya dia hanya datang seorang diri, sampai sekarang tidak ada wanita beruntung yang bisa mendekatinya. Hanya Shevaya yang kini bisa meluluhkan hati Denver.
"Harusnya kita ke butik membeli baju," ucap Rosmala.
"Tidak perlu, aku yang akan mengurus Sheva. Mama kembali pada Papa," ujar Denver yang tiba-tiba datang, ekspresinya sangat dingin.
Shevaya terkejut ketika cengkraman di tangan Denver menariknya dengan cepat, kakinya yang sudah hampir sembuh kini terasa nyeri ketika Denver memaksanya. Denver terlalu kesal dengan keluarga Felix yang tidak tahu diri, dia tidak menyangka jika ayahnya akan kembali membela mereka yang jelas bersalah.
"Mas sakit," rintih Shevaya ketika mereka berada di dalam lift.
Denver menghela nafasnya, dia melepaskan tangan Shevaya dengan perlahan. Hatinya sakit, dia lelah karena perjuangannya terus saja dikalahkan oleh mereka yang bahkan tidak melakukan apa pun untuk perusahaan, Denver sudah muak menghadapi mereka. Denver siap pergi dari perusahaan jika memang mereka memaksa, dengan keahlian dan otaknya dia mampu membangun perusahaan sendiri dan menyainginya.
"Apa yang terjadi?" tanya Shevaya mengusap lengan Denver dengan lembut.
"Tak ada apa-apa. Kita ke butik sekarang," ujar Denver.
"Kenapa perutmu?" tanya Denver ketika melihat Sheva mengusap perutnya terus menerus.
"Nggak papa," ujar Sheva takut.
Denver mendengus kesal, dia berhenti di restoran fast food untuk membelikan Sheva, dia tidak ingin jika Sheva semakin menyusahkan dirinya jika sakit.
"Makanlah, aku tidak ada waktu untuk mengurusimu jika sakit." Shevaya diam-diam tersenyum dengan perhatian yang Denver berikan padanya. Lelaki itu memang dingin, tetapi sikapnya terkadang hangat dan membuat Shevaya merasa senang. Sudah lama dia tidak mendapatkan kasih sayang seperti ketika ibunya masih ada.
Lima belas menit kemudian mereka sampai di butik, semua petugas kini menyambut Denver. Dia memang anggota VVIP di tempat itu, dia akan menghabiskan banyak uang ketika datang di sana.
"Apa yang bisa kami bantu?" tanya manager butik.
"Keluarkan koleksi gaun kalian untuknya," ucap Denver pada manager tersebut.
Semua orang bergegas mengambil semua koleksi, Shevaya kini harus mencoba satu persatu karena Denver harus mencari gaun yang cocok untuk dirinya.
"Next," ujar Denver dingin.
Shevaya ingin mengeluh, tetapi dia hanya bisa terdiam ketika sudah lebih dari 10 gaun dia coba tapi Denver masih belum setuju. Shevaya pikir mereka sangat bagus, tetapi tidak cukup bagus untuk bisa bersanding dengan Denver.
"Siapkan setelanku," ujar Denver yang sudah memesan pakaiannya satu minggu sebelumnya.
"Kalau ini gimana?" tanya Shevaya ketika Denver fokus dengan tabletnya.
"Tidak cocok Sheva, ganti lagi." Shevaya sangat lelah, gaunnya terasa berbeda ada yang berat dan ringan, benar-benar tidak mudah bersanding dengan tuan muda Denver yang selalu sempurna dalam penampilannya.
Hampir satu jam akhirnya Shevaya mendapat gaun yang cocok, dia sangat cantik dan Denver terpukau dengan penampilannya, anak itu terlihat kurus, tetapi di bagian tertentu menonjol dengan sangat pas di tubuhnya.
"Ini lumayan, pakai ini saja." Shevaya tersenyum lega mendengarnya.
"Aku akan pergi, persiapkan semuanya dengan baik, dari atas sampai bawah harus perfect, aku akan datang pukul 6." Denver pergi setelah mengatakan itu.
Shevaya kini hanya bisa pasrah menjalani serangkaian perawatan tubuh, salon dan butik bersebelahan dan dimiliki orang yang sama, hal itu terasa lebih mudah bagi mereka untuk mengatur permintaan Denver yang tidak bisa di bantah.
"Ini nggak berlebihan?" tanya Sheva.
"Semuanya akan kami lakukan sesuai dengan perintah tuan Denver, pertama kami akan melakukan perawatan tubuh dari lulur dan mandi s**u, anda hanya tinggal mengikuti saja karena waktu kita tidak banyak," ucap petugas tersebut.
Shevaya hanya terdiam 4 jam dia lalui dengan segala hal yang terasa sangat membosankan, Denver benar-benar ingin Shevaya terlihat menawan dari atas sampai bawah, kuku Shevaya berubah cantik dan kini rambut Shevaya benar-benar sudah ditata dengan apik. Dia sudah selesai hanya tinggal memilih tas yang cocok untuk dia bawa.
"Tas ini cocok untukmu," ujar Denver yang datang tiba-tiba.
"Baik Tuan," ucap manajer.
" Segara urus biayanya kami tunggu di mobil."
Segara melakukan tugasnya dengan baik, dia bahkan membawa paper bag baju yang dipergunakan Shevaya sebelumnya, dia tahu Denver benar-benar ingin sempurna dalam melakukan segala hal karena itulah dia memperlakukan Shevaya dengan begitu agar penampilan Shevaya tidak mempermalukannya.
"Jangan jauh dariku kalau nggak mau kenapa-kenapa."
Denver terpukau dengan penampilan Sheva, gadis muda itu terlihat sangat anggun dengan gaun yang dia pilih. Kecantikan Shevaya sangat cocok disandingkan dengan ketampanannya. Denver selalu menyembunyikan rasa kagumnya di balik sikapnya yang dingin, dia hanya tidak ingin Shevaya terlalu percaya diri dan bertingkah semena-mena kepadanya.
"Jangan malu-maluin," peringat Denver ketika mereka hampir sampai lokasi.
Shevaya tidak akan lupa dengan ucapan Denver, dia akan berhati-hati dan tidak akan jauh dari Denver. Shevaya juga tidak tahu harus ke mana jika bukan bersama lelaki yang mengajaknya.
Mereka berjalan bersisian, tangan Shevaya melingkar di tangan Denver. Semua pasang mata menatap mereka, pertama kalinya Denver mengajak seorang perempuan setelah sekian lama. Banyak wanita yang iri dengan Shevaya yang mampu menaklukkan hati Denver yang terasa beku itu.
"Cantik sekali, dari mana Denver mendapatkannya?" bisik-bisik mulai terdengar ditelinga Denver.
Lelaki itu melepas tangan Shevaya dan mulai melingkarkan tangannya di pinggang wanitanya. Denver semakin dekat dengan wanita itu, dia hanya tidak suka jika lelaki lain melirik apa yang menjadi milik Denver.
"Banyak lelaki yang ingin mendekatimu, jika kamu terlalu jauh maka kamu berada dalam bahaya," bisik Denver ditelinga Sheva.
"Aku tidak akan jauh darimu," ucap Sheva sembari tersenyum membuat kecantikan itu semakin menguar.
Denver kini mendatangi pemilik acara, dia bersalaman dan memperkenalkan Shevaya sebagai calon istrinya. Mereka turut bahagia dengan kabar baik itu, sudah lama Denver sendiri dan ini waktu yang tepat untuk Denver segera berkeluarga.
"Menikahlah, jangan lupa undang kami. Ingat Denver investor incaranmu lebih percaya dengan orang yang sudah berkeluarga." Denver hanya tersenyum menanggapinya.
Dari sudut matanya kini dia tahu bahwa banyak pasang mata yang melirik punggung mulus dari wanita di sampingnya. Denver menarik Shevaya agar lebih dekat dengannya, dia mengusap punggung Sheva dengan lembut berharap mampu mengusir lelaki yang mencoba untuk mencuri pandang.
"Lihatlah calon suamimu takut kalau kamu di ambil orang, baru kali ini saya melihatnya seperti itu." Shevaya hanya tersenyum, dia menahan diri karena perlakuan Denver membuat tubuhnya terasa meremang, sensasi aneh itu kembali terasa di tubuh Shevaya.
"Aku hanya tidak ingin orang lain mengambilnya," ucap Denver mengecup pipi Shevaya dengan manis.
Sheva melotot membuat pasangan suami istri itu tertawa melihatnya, mereka orang yang dekat dengan Denver baru kali ini melihat Denver begitu intim dengan perempuan lain.
"Mas, nggak sopan dilihat orang!" kesal Shevaya.
"Lihatlah, dia memang sangat menggemaskan. Aku tidak sabar untuk menikahinya."
"Kami mendukungnya, Denver dia sudah datang. Mari kita menyambutnya," ucap Rendra ketika melihat orang yang mereka tunggu datang.
Denver mengangguk, umurnya tidak terpaut jauh dari Rendra. Mereka memang sudah menikah lebih awal, tapi Denver memang belum memiliki keinginan menikah hingga saat ini. Jika bukan bertemu Shevaya dia mungkin akan kembali datang sendiri di acara itu.
"Hallo, sudah lama tidak bertemu." Rendra memeluk Glen, investor penting yang diinginkan oleh Denver.
"Sibuk banget sampai nggak ada waktu," ucap Glen tersenyum.
"Perkenalkan dia Denver, dia temanku." Rendra memperkenalkan mereka.
Denver menjabat tangan Glen dengan tenang, dia tahu bahwa Rendra tidak akan memperkenalkan dirinya dengan sembarang orang. Semua orang tahu jika dia merupakan investor yang disegani, karena itulah banyak orang yang berlomba-lomba untuk mendekat Glen dan mendapatkan kerjasama diantara mereka.
"Adikmu benar-benar cantik," puji Glen.
"Maaf dia calon istri saya," ujar Denver.
"Ah maaf, dia begitu muda saya kira dia adik anda." Glen tertawa sembari melihat Shevaya yang begitu mempesona.
Glen umurnya 2 tahun di bawah Denver, keluarga Glen memiliki perusahaan minyak di Timur Tengah, bahkan mereka memiliki tambang yang benar-benar menghasilkan banyak hasil per tahunnya. Glen anak pertama, dia ditugaskan ayahnya untuk mencari perusahaan mana yang tepat untuk diberikan investasi, dia juga terkadang mengajak kerjasama perusahaan yang menurutnya berpotensi.
"Glen, Cia ingin bertemu denganmu. Kapan kamu mampir di rumah kami?" tanya Nara yang sudah sangat dekat dengan Glen.
"Besok aku akan datang, aku hanya punya waktu dua hari di sini." Glenn benar-benar sibuk dan tidak memiliki waktu.
Pertemuan hari itu berjalan dengan lancar, Rendra bersedia membantu Denver kali ini dia hanya tinggal menunggu progress kedepannya seperti apa.
"Kenapa diam?" tanya Shevay pada Denver.
"Jangan keluar tanpa aku disampingmu," ucap Denver tiba-tiba.
"Bagaimana cara aku kuliah?" tanya Shevaya bingung dengan perubahan sikap Denver.
"Lupakan! Batasi dirimu, kamu itu calon istriku." Shevaya tiba-tiba merasa tertantang dengan ucapan Denver yang begitu dingin.
Lelaki itu menahan diri melihat banyak lelaki menggoda Shevaya, setelah pulang kini lelaki itu benar-benar uring-uringan dan membuat Shevaya bingung sendiri.
Mereka hanya terdiam sepanjang perjalanan, hingga akhirnya mereka sampai apartemen. Denver berjalan lebih dulu meninggalkan Shevaya yang tersenyum, dia tahu bahwa Denver tidak suka ada orang yang menggodanya. Shevaya kini akan melakukan adegan berbahaya, dia harus menguji Denver agar bisa memastikan posisinya bisa bertahan lama di hidupnya.
"Kamu cemburu?" Shevaya menahan tubuh Denver ketika mereka baru masuk ke dalam apartemen.
"Buat apa aku cemburu?" tanya Denver dingin.
"Apakah kamu mulai menyukaiku?" tanya Shevaya dengan senyuman jahil.
"Gila, untuk apa aku menyukaimu? Aku hanya ingin membantumu." Denver menyingkirkan tubuh Shevaya dan langsung berjalan menuju kamarnya.
Shevaya menarik tangan Denver dan dia mulai mencium lelaki itu dengan lembut, sungguh Shevaya hilang kendali dia benar-benar tidak bisa menahan diri ketika melihat bibir merah Denver berada di depannya. Sepatu high heels itu benar-benar membantu Shevaya untuk mengikis jarak tinggi diantara keduanya.
"Terimalah hukumanmu Sheva," ucap Denver ketika Shevaya melepaskan ciumannya, lelaki itu menggendong Sheva dan dibawa masuk ke dalam kamarnya.