Andreas menyambut kedatanganku saat pemuda dua puluh dua tahun itu melihatku masuk ke dalam kedai. "Bu Tari, maaf tadi saya masih di toilet saat Bu Tari telepon. Saya telepon balik, Bu Tari tidak menjawabnya," ujarnya dengan mimik bersalah.
Aku tersenyum, tidak memarahinya setelah mendengar alasan yang dia utarakan. "Nggak apa. Aku nggak dengar kamu telepon tadi karena ponsel ada di dalam tas." Ponsel memang aku setting hanya getar saja sehingga terkadang saat benda itu ada dalam tas, aku tidak tahu jika ada seseorang yang menelepon. "Oh, ya. Bisa minta tolong angkat barang-barang di depan."
"Baik, Bu." Dengan cekatan Andre mengajak salah satu rekannya keluar kedai mengikutiku yang menuju mobil Pak Surya. Lelaki itu berdiri di belakang mobilnya dengan pintu bagasi yang sudah terbuka.
"Pak Surya maaf jika saya sudah merepotkan Anda."
"Tidak apa-apa Tari. Saya senang bisa membantumu."
Lalu aku minta Andre dan Udin untuk mengangkut barang-barang yang ada dalam bagasi. Pak Surya berniat membantu yang berhasil aku cegah. Tidak enak hati sekali rasanya jika beliau harus ikut-ikutan mengangkat barang.
"Biar mereka saja yang mengangkut ke dalam. Mari Pak Surya silahkan masuk."
Lelaki itu tak menolak dan mengekor di belakangku masuk ke dalam kedai. Suasana siang yang lumayan ramai dengan pengunjung membuatku sedikit kesusahan mencari tempat kosong.
"Silahkan duduk, Pak."
"Terima kasih." Pria itu menatap sekeliling kedai sementara aku tinggal sebentar untuk memesankan beliau minuman.
Karena tidak ada Cahaya yang ikut serta, hanya minuman dingin yang aku hidangkan di atas meja. "Silahkan diminum, Pak."
Lagi-lagi pria itu mengucapkan terima kasih dan langsung menyesap minumannnya.
"Tari ... ini kafe milikmu?" setelah beberapa kali beliau berkunjung baru kali ini bertanya mengenai kepemilikan kedai. Malu sebenarnya karena beliau harus mengetahui akulah pemilik kedai ini tapi kalau aku berbohong pun bukan hal yang baik.
"Iya, Pak. Ini hanya kedai kecil saja. Bukan kafe."
"Jangan merendah begitu. Seharusnya kamu bangga karena memiliki tempat usaha yang ramai seperti ini."
"Iya, Pak. Alhamdulillah karena kedai ini semakin banyak dikenal oleh pembeli. Mungkin sudah menjadi rejeki saya dan anak-anak. Bagaimana pun kedai ini satu-satunya tempat mengais rejeki bagi saya hingga dapat memberikan penghidupan yang layak bagi anak-anak."
Kening Pak Surya tampak mengernyit. Aku tahu itu. Mungkin Pak Surya mencoba menelaah maksud kata-kataku. Tidak mau membuatnya makin kebingungan, aku pun berinisiatif menjelaskan. Hanya sedikit tentangku dan tidak lebih. "Saya ini janda dengan tiga orang anak, Pak. Dan dari kedai inilah saya menaruh harapan besar untuk mencari nafkah."
"Oh, maaf Tari. Saya tidak tahu," jawabnya sedikit kikuk dan tak enak hati padaku.
"Tidak apa-apa, Pak."
"Anakmu berapa?"
"Tiga. Cowok semua."
"Oh ya? Jagoan semua? Kamu sangat hebat. Bisa mandiri dengan menjadi tulang punggung keluarga."
Aku tersenyum dan tak berniat menjelaskan lebih banyak mengenai kehidupanku. Bagaiman pun juga Pak Surya hanyalah orang yang baru aku kenal. Tidak sepantasnya aku memberikan banyak informasi tentang diriku padanya. "Eum ... tumben hari ini Pak Surya tidak bersama Cahaya?"
"Iya. Cahaya ada di rumah neneknya."
Aku mengangguk mengerti. Keheningan tercipta karena di antara kami tiba-tiba saling diam kehabisan bahan obrolan. Hingga pada akhirnya Pak Surya memilih kembali menyesap minumannya. Mengangkat pergelangan tangan kanannya melihat arloji yang melingkar di sana.
"Sepertinya saya harus pulang. Terima kasih untuk minumannya."
"Hanya minuman saja, Pak. Saya yang harusnya berterima kasih karena Pak Surya sudah banyak membantu saya hari ini."
"Mengenai mobilmu, jika kamu butuh bantuan jangan segan menghubungiku. Ini kartu namaku." Pria itu mengulurkan sebuah kartu nama yang langsung aku terima.
Aku mengantar kepergian Pak Surya hingga depan kedai. Menunggu sampai pria itu menghilang dari pandangan baru setelahnya aku masuk kembali ke dalam. Ada banyak hal yang harus aku kerjakan hari ini. Ditambah tidak adanya mobil akan semakin menambah kerepotanku nanti.
***
Sore harinya aku pulang ke rumah dengan menggunakan ojek online. Mengenai mobil, aku sudah menyerahkan semua pada bengkel langganan. Tubuh ini terasa penat sekali. Begitu masuk ke dalam rumah, keheningan yang menyambut. Rey ada di rumah neneknya sepulang sekolah tadi sementara Iyan dan Mondy, mereka ada bersama ayahnya yang menjemput ketika pulang dari sekolah tadi. Aku tak perlu mengkhawatirkan toh mereka ada bersama ayahnya.
Memilih mandi dan memasak untuk makan malam. Baru saja selesai dan aku masih membereskan rumah, suara deru mobil menghentikan aktivitasku yang sedang menyapu. Karena aku tahu jika yang datang adalah anak-anak, gegas aku buka pintu untuk menyambut kedatangan mereka.
"Bunda!" Mondy berteriak memanggil namaku. Senyumku lebar menyambut kedatangannya. Kurentangkan kedua lengan dan memeluk secara bergantian Mondy dan Iyan. Sungguh, satu hari tak bertemu rasanya aku sudah sangat rindu.
"Mondy sudah makan?" tanyaku. Kepala bocah itu menggeleng. Sudah aku tebak. Pasti ayahnya kurang perhatian soalan makan mereka. Inilah yang kadang membuatku kepikiran jika anak-anak dibawa oleh ayahnya.
Aku mendongak menatap pada mantan suamiku. Seolah tahu apa yang ingin aku minta penjelasan darinya.
"Sudah aku tawari makanan, tapi nggak mau mereka," jelasnya dan aku sudah cukup malas untuk membahas itu semua.
"Ayo masuk." Kugandeng Iyan dan Mondy masuk ke dalam rumah disusul oleh Mas Agam, mantan suamiku.
Kubiarkan saja lelaki itu duduk di ruang makan. Sementara aku meminta pada Iyan dan Mondy masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian.
"Rey mana?" tanyanya ketika aku kembali menghampirinya.
"Ada di rumah Ibu."
"Ri, aku ingin bicara sesuatu padamu."
Tanpa mau repot-repot sekedar membuat air minum untuknya, aku menarik kursi dan duduk di hadapannya. Sungguh rasanya malas sekali menghadapi pria satu ini, karena jika sering datang ke rumah dan kerap menemui anak-anak sudah dapat aku tebak jika ada sesuatu yang dia inginkan.
"Ada apa?"
Bukannya langsung pada pokok pembicaraan, prai itu justru bertanya. "Mobilmu ke mana? Kok tidak kelihatan di depan?"
"Oh, itu. Ada di bengkel. Mogok tadi."
Pria itu manggut-manggut seolah paham dengan apa yang aku katakan tanpa bertanya lagi kenapa mobil milikku bisa mogok.
"Ri, sebenarnya aku sedang butuh bantuanmu."
Keningku mengernyit. Otakku sudah tak mampu berpikir jernih karena sudah dapat aku prediksi jika soalan uang lah yang akan Mas Agam tanyakan.
"Bantuan apa?"
"Aku mau pinjam uang. Tidak banyak."
Aku mendesah lelah. Malas sekali menanggapinya. "Aku nggak ada uang, Mas."
"Tolonglah, Ri. Aku sedang ada masalah keuangan. Tolong pinjami aku dua juta saja. Gajian akhir bulan ini, aku akan segera kembalikan."
Mataku mendelik judes padanya. Begitu ringan sekali mulutnya berbicara. Aku sudah hapal betul tabiatnya seperti apa. "Mas, bisa-bisanya jika tentang uang selalu aku yang kamu jadikan tujuan."
"Karena aku tahu hanya kamu yang bisa membantuku, Ri."
"Tapi maaf, Mas. Aku tidak punya uang."
"Masak kamu nggak ada uang? Kalau nggak ada dua juta, sejuta saja nggak pa-pa." Pria itu memaksa seperti biasanya.