Neith: Turn Back Time

1483 Words
... "Pada zaman dahulu, kala manusia belum mengenal tulisan, disebut sebagai masa pra aksara atau masa nirleka. Berakhirnya zaman ini, ditandai dengan ditemukannya aksara atau simbol pada masa peradaban tertentu. Contohnya saja di Mesir kuno. Sebagai salah satu peradaban tertua di dunia, diperkirakan mengakhiri zaman nirleka sejak ditemukannya hiroglif yang berumur empat ribu tahun sebelum masehi ...." Penjelasan dari guide itu belum habis. Namun, aku tidak punya waktu untuk menyimaknya. Berkali-kali kulirik ponsel yang ada di genggaman, melihat jam digital yang terpampang di layar. Ah, sudah lima menit aku berdiri di dekat pintu masuk, tapi orang yang ingin kutemui belum juga kelihatan. Tujuan kedatanganku ke sini memang bukan sekadar untuk berwisata. Aku sedang menunggu seseorang, dia berjanji menemuiku di sini. Dia seharusnya meneleponku jika sudah sampai. Sebaiknya aku menuju ruang pameran utama, dan menunggunya di sana. Kulangkahkam kaki dengan pelan, sembari mengamati deretan hiroglif dan artefak yang dipajang. Hingga akhirnya aku berhenti di sebuah kotak kaca yang cukup besar. Ada berbagai perhiasan kuno yang dipamerkan, mulai dari mahkota, gelang, cincin, kalung, hingga rantai pinggang. Namun, tidak satu pun yang menarik perhatianku. Walau begitu, tetap saja kuamati detilnya satu per satu. Tiap masa kejayaan, memiliki simbol dan ciri pahatan yang berbeda. Bahkan warna dan bahan yang digunakan juga mengandung makna. "Selamat sore, Nona Arlend," sapa seseorang dari belakang, saat aku sedang mengamati sebuah mahkota kuno. "Selamat sore," jawabku sambil menoleh. Pria tinggi itu kira-kira seusia Papa jika masih hidup. Wajahnya ditutupi cambang lebat, dan juga topi bundar kuno seperti milik komedian legendaris Charlie Chaplin. Setelan jas hitamnya, mengingatkanku pada para aristokrat di pemerintahan era Victoria. "Maafkan saya karena sedikit terlambat. Cuaca agak tidak bersahabat akhir-akhir ini," kata pria tersebut. "Tidak mengapa, saya juga baru datang." "Bisakah Anda mengikuti saya? Saya sudah menyiapkan satu ruang untuk pembicaraan penting kita," pintanya. "Oh, tentu saja, Profesor Lateef." Kuikuti pria bermantel tebal itu menuju lorong di sebelah etalase perhiasan kuno. Dia adalah salah satu kurator di museum ini. Beberapa waktu yang lalu, aku melakukan riset literatur tentang kebudayaan Mesir kuno, mencari inspirasi untuk menciptakan desain perhiasan terbaru yang akan launcing musim panas ini. Saat browsing-browsing tentang perhiasan kuno, aku menemukan sebuah artikel di web resmi The National Museum of Egypt. Terdapat tulisan Tuan Lateef tentang penemuan artefak terbaru. Sebuah gelang kuno berbentuk ular. Anehnya, gelang tersebut identik dengan gelang yang diwariskan padaku secara turun temurun. Bahkan sebelum meninggal, almarhum Papa berpesan untuk menyimpannya baik-baik. Tanpa pikir panjang, aku mengirim e-mail serta foto gelang yang kumiliki untuk memastikan jika keduanya identik. Tuan Lateef membalas email itu seminggu kemudian, lantas kami berkomunikasi lewat video call. Dia memastikan bahwa penemuan tersebut baru dipublikasikan seminggu lalu. Jadi, tidak mungkin akan secepat ini bisa dibuat replikanya hanya dalam waktu singkat. Apalagi mengingat kerumitan detil gelang tersebut sama persis. "Silakan masuk," ujarnya seraya membuka pintu kayu ganda berukuran besar. Permukaanya diukir dengan bagus dan tersemat hiasan dengan huruf hiroglif yang berbunyi 'sang penunggu'. Iya, aku cukup ahli menafsirkan tulisan kuno itu—terima kasih pada dosen arkeologiku—bahkan saat kuliah dulu aku sempat mendapat tawaran sebagai penerjemah dari beliau. Entahlah, bahasa tulis kuno itu seperti sangat kukenal dengan baik. Begitu masuk, aku terbelalak tidak percaya. Ruangan ini sangat besar dan bernuansa 'mesir kuno' sekali. Sepertinya di sinilah tempat penyimpanan benda-benda khusus yang tidak dipamerkan. "Silakan duduk," ujarnya lagi. "Terima kasih." Pria itu segara mengambil sesuatu dalam lemari yang berada di seberang meja. Setelah berbalik, ternyata di tangannya terdapat sebuah peti kayu kecil yang terlihat sangat usang. "Ini dia," ujarnya sembari membuka tutup peti itu. Sebuah gelang kusam dengan kilau keemasan berbentuk ular. Persis seperti yang kupakai sekarang. Segera kusingsingkan lengan mantel dan menunjukan padanya. "Ya, Tuhan! Mereka sama persis," ujarku. Tuan Lateef bergeming seraya mengelus cambang lebat yang memenuhi dagunya. Dia tidak berkata apa pun, hanya memandangi dua gelang yang identik itu bergantian. "Bolehkah kulihat milikmu?" tanyanya. "Oh, tentu saja," ujarku seraya melepas gelang ini perlahan. Selanjutnya, kuserahkan benda milikku itu padanya. Serta merta dia menerimanya dengan hati-hati, lalu meletakkannya di meja. Sebuah kaca pembesar dikeluarkan dari laci, dan dia gunakan untuk mengamati gelang tersebut dengan detail. "Luar biasa, Nona Arlend. Mereka kembar. Mungkin gelang ini memang sepasang, seperti perhiasan lainnya. Kiri kanan. Tidak mungkin ini sebuah kebetulan." Pria berkacamata tebal itu berdecak, serta berulang kali mengamati kedua gelang itu di bawah kaca pembesar. "Entahlah, saya tidak memiliki petunjuk apa pun. Hanya saja, kadang aku merasa aneh saja saat mengenakannya," lanjutku. "Aneh bagaimana?" tanyanya sambil lalu, tanpa melepaskan pengamatan pada gelangku. "Seperti setengah bermimpi tentang suatu tempat. Seperti aku pernah ke tempat itu, tapi sama sekali tidak pernah mengingatnya," jelasku. Tuan Lateef mengernyitkan dahi, lalu mengembalikan gelang itu padaku. "Coba pakai keduanya, barang kali itu bisa membantu kita menemukan sesuatu," usulnya tiba-tiba. Aku tertegun sejenak, lalu melihat matanya yang berbinar-binar, membuatku ingin mencoba. "Baik, kenapa tidak?" ujarku santai. Misteri Mesir kuno selalu membuatku tertarik. Walau pada dasarnya aku tidak percaya mitos sama sekali. Aku mengagumi masa lalu sebagai bagian dari peradaban tertua dan terbesar yang pernah ada dalam sejarah kehidupan manusia. Jadi sudah selayaknya aku menghormati warisan mereka, apalagi kakekku juga memiliki darah Mesir. Yap, sesimpel itu. Aku memasang gelang milikku sendiri di tangan kiri, seperti awalnya. Lantas kukenakan gelang dari museum yang terlihat lebih kusam di tangan kanan. "See, mereka memang sepasang," ujarku sambil meluruskan kedua lengan untuk menunjukkannya pada Tuan Lateef. Begitu aku mendongak, senyum di wajahnya menghilang. Kedua matanya tidak berkedip memandang ku dengan sorot yang tidak bisa dilukiskan. Sementara itu, bibirnya seolah mengatakan sesuatu. Aku yakin itu sebuah mantra, mirip bisikan yang tidak mampu didengar oleh indera pendengaran biasa. Mendadak tubuhku seperti membeku, dialiri air sedingin es yang berasal dari kedua gelang itu. Perkataan aneh keluar dari bibir Profesor Lateef, yang tidak bisa kumengerti. Lama kelamaan, dua gelang di lenganku perlahan bergerak. Ah, mungkin hanya halusinasiku saja. Aku hendak bicara tapi bibirku seperti terkunci. Kutarik lengan untuk memastikannya. Namun, keduanya benar-benar beku, sementara gelang tadi bergerak melingkari tanganku lalu berubah menjadi dua ekor ular kobra emas bermata merah menyala. Kedua ular itu menjulurkan lidahnya dan bertaut satu sama lain. Keduanya berpilin dan mengambang di udara. Pilinan itu lama kelamaan membuat udara sekitar berputar seperti tornado. Lalu, kedua tanganku yang terborgol, lantas tersedot pada pilinan kedua ular yang berputar semakin cepat. "Tidaaaaaak!" Udara yang berputar di sekelilingku tiba-tiba berhenti. Kulitku yang terbalut baju berlapis untuk menyekat dinginnya udara, mendadak menghilang. Sebagai gantinya kulitku langsung menyentuh butir-butir pasir dan udara di sekitar terasa hangat dan kering. Bersamaan dengan itu, ruangan antik tempat penyimpanan artefak menghilang, menyisakan hamparan pasir sejauh mata memandang. Kukerjap-kerjapkan mata beberapa kali, tapi tetap saja tidak berubah. Di mana aku? "Neith! Neith! Kau tidak apa-apa?" teriak seorang anak laki-laki yang berlari dari arah samping. Dia bertelanjang d**a dan hanya mengenakan cawet dari kain. Aku yakin sekali bahasa yang digunakannya bukanlah bahasa Inggris, bukan pula bahasa Koptik—Mesir Kuno. Namun entah bagaimana aku bisa mengerti. "Aku baik-baik saja," jawabku. Kewarasanku benar-benar diuji. Kata-kata yang kukeluarkan bermaksud menjawab dengan bahasa Koptik, tapi justru yang keluar sangat berbeda. Persis seperti bahasa yang digunakan anak laki-laki ini. "Syukurlah, kalau begitu. Ayo kita pulang, langit hampir gelap. Sharmila pasti sudah menunggu." Masih dalam kebingungan, aku mengikuti langkah kaki kecil itu. Entah siapa namanya. Tanpa kusadari, bajuku pun berubah. Setelan formal di balik mantel tebal yang kukenakan tadi, kini berganti dengan kain tebal yang hanya hanya disampirkan sekadarnya. Fungsinya cuma menutup sebagian tubuhku bagian atas hingga ke bawah sebatas lutut saja. Anak itu berbalik lalu menyeret tanganku. "Cepatlah Neith! Jangan bengong! Kau tahu? Angin buruk tadi benar-benar membuatku takut." "Siapa namamu?" tanyaku. Langkahnya mendadak terhenti. Matanya yang bulat dengan alis tebal hitam yang melengkung sempurna, menatapku heran. Sesaat kemudian dia berjinjit lalu menempelkan telapak tangannya yang gemuk padaku. "Neith, angin berputar tadi benar-benar membuatmu hilang ingatan? Oh, tidak!" ucapnya lucu. "Kau pikir begitu?" "Ayolah, Neith! Jangan mempermainkanku. Masa kau bisa lupa pada adik angkatmu yang sangat menggemaskan ini? Namaku Kosey, dan namamu Neith, dan kau suka kaki kambing. Sudahlah, kita harus bergegas." Tangan kecil nan dekil itu lagi-lagi menyeretku untuk berjalan. Aku pun menurut saja. "Kosey?" "Hmmm?" Dia terus melangkah. "Panas sekali, aku ingin mandi." Langkahnya seketika berhenti. Dia menoleh dengan tatapan tidak senang. "Apakah kamu bercanda, Neith? Kita baru saja pulang dari sungai, dan kau bilang ingin mandi? Otakmu benar-benar tidak beres." "Eh, iyakah?" "Sudahlah, berhenti merengek dan lekas pulang! Aku tidak mau Sharmila sampai memarahi kita lagi, karena terlalu lama bermain," nasihatnya macam orang tua pada anak yang bandel. Harusnya egoku terluka mendapat perlakuan demikian. Namun entah mengapa melihat wajah pria kecil ini aku malah merasa lucu. Tanpa sadar aku tersenyum. "Baiklah Kosey, maaf sudah menggodamu. Ayo kita pulang, aku tidak sabar untuk makan kaki domba," kataku mencoba menghiburnya. Wajahnya yang masam kembali ceria. Lantas ia melepas pegangan tanganku. "Kita lomba lari, sepertinya aku bisa mengalahkanmu kali ini, Neith. Kau kan sudah pikun, tak tahu arah pulang, hahahahaha," ujarnya, kemudian dia berlari meninggalkanku. "Kosey! Tunggu!" teriakku sembari berlari menyusulnya. ... bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD