Saat sedang duduk santai sambil bersandar di salah satu tiang gazebo halaman belakang, seseorang melangkah lebar menghampirinya. Wanita berkulit putih dengan postur tinggi semampai itu mengusap permukaan perutnya yang sudah begitu membesar, terlihat cemas sembari memegangi ponsel canggih di tangan kanan. "Felix, di mana Damian?" tanyanya terdengar serak. Mata indah dengan bulu lentik miliknya mengerjap beberapa kali, terlihat sendu. Mungkin dalam hitungan beberapa menit kemudian akan turun badai membasahi kedua pipi jika pria yang dicarinya tidak menampakkan batang hidung.
Felix menutup kamus tebal miliknya yang berisi ribuan hal tentang sifat dan sikap wanita pada umumnya. Belakangan ini Felix gemar sekali membeli banyak buku dari beberapa penulis terkenal yang membahas sederet tentang wanita, dari berbagai pandangan dan versi masing-masing. Sungguh menyenangkan memahami setiap tingkah unik wanita, ternyata banyak makna tersembunyi di dalamnya. "Sedari tadi saya di sini, Nona Ratih. Saya tidak ikut bersama, Tuan, bukankah tadi pagi katanya ingin terjun lapangan bersama Tuan Kenan?"
Belakangan ini Felix memang sering ditugaskan di kediaman Faresta saja, alasannya tidak lain untuk melindungi Ratih yang sedang hamil besar. Damian sudah sering kali mengambil libur saat Ratih mengalami hormon kehamilan seperti mual, muntah, dan pusing sejak usia kandungannya memasuki bulan ke delapan. Semua orang awalnya bingung kenapa hal ini terjadi lagi padahal dulu saat trimester pertama sudah mengalaminya. Lalu dokter menjelaskan, jika setiap wanita berbeda-beda tergantung pembawaan bayi masing-masing. Bahkan saking santainya ada saja ibu hamil yang tidak mengalami kesulitan apa pun selama mengandung. Makan dan tidur dalam keadaan yang nyaman, tidak memiliki pantangan atau alergi apa-apa.
Ratih mengerucutkan bibir. Dia baru bisa bangun setelah sepanjang pagi tadi mengalami mual dan pusing. Perasaan Ratih lebih sensitif, tidak bisa ditinggalkan oleh Damian. Rasanya tidak rela jika pria itu meninggalkannya seharian penuh untuk bekerja, apalagi sampai keluar kota yang memerlukan waktu dua sampai tiga hari. Ratih galau, sering merajuk bahkan menangis sendirian di kamar. Tidak tahu apa sebabnya, pokoknya hanya tidak ingin berjauhan. "Kenapa lama sekali? Dia berjanji akan pulang ketika jam makan siang. Tapi lihat sekarang, ini bahkan sudah menuju sore. Aku lapar, ingin makan disuapi sama dia." Berdecak sebal, jurus andalannya belakangan ini ialah mogor bicara jika Damian nampak mengesalkan di matanya.
Felix mengusap kening bingung, sangat sulit memahami hormon ibu hamil. Saking ingin mendalami ilmunya soal perwanitaan, Felix sampai mencari buku tentang perubahaan suasana hati wanita saat mengandung. Tapi kembali lagi pada ucapan dokter, pembawaan setiap bayi berbeda-beda, dan baby bear ini salah satu bayi yang cukup menguras perasaan. Dia begitu aktif membuat Ratih mengalami banyak hal aneh, Damian saja menyadarinya. "Apa sudah Nona hubungi Tuan Damiannya?"
"Sudah, tapi ponselnya tidak aktif. Mengesalkan! Nanti aku suruh saja Mas Damian membuang ponselnya, percuma punya kalau tidak bisa dihubungi 'kan?"
"Buat saya saja ponselnya, Nona. Lumayan uang buat upgrade ponsel bisa ditabung buat buka usaha--bekal untuk menikah nanti." Niat Felix ingin bercanda, namun sepertinya keadaan hati Ratih benar-benar tidak baik. Bukannya tertarik, Ratih malah semakin meradang. Pukulan mendarat pada lengan Felix, pria itu hanya diam merasakan pedas bekas pukulan.
"Tidak lucu!" bentaknya marah. Ratih memicingkan mata, lalu menghela napas kasar. "Kamu sama saja kayak Mas Damian, menyebalkan sekali!" Lantas balik kanan, mengambil langkah lebar-lebar meninggalkan Felix yang masih terdiam membisu.
Felix mengusap wajahnya kasar, mendesah lelah. "Kenapa wanita hamil serepot ini dipahami isi hatinya?" decahnya frustasi. Sudah lama sekali Felix mendalami rentetan sikap wanita melalui kamus tebal miliknya, tapi saat perhadapan dengan wanita hamil ... ilmu itu menjadi nol besar. Berasa gagal sampai ke dasar, sungguh rumit!
Baru saja ingin kembali membaca kalimat baru dalam paragraf awal di halaman dua puluh, ponsel Felix berdering. Nama wanita yang baru saja memarahi dan memukul Felix tadi menghubungi. Ingin bicara apa lagi?
"Halo, Nona Ratih. Ada yang bisa saya bantu?"
"Kura-kura milikku kecebur lagi di kolam renang. Tolong ke sini, ambil dia dan masukkan ke dalam kurungan." Setelah itu telepon dimatikan. Selain menjaga Nonanya, Felix juga harus mengawasi hewan peliharaan baru. Kura-kura yang nampak menyebalkan, dia sering kali mencelupkan diri ke dalam kolam atau bersembunyi di samping pot bunga. Sebenarnya salah Ratih, wanita itu yang senang mengeluarkan kura-kura dari dalam kurungannya. Ketika binatang kecil itu jalan-jalan bebas, Ratih panik sendiri dan Felix kembali dibuat repot.
Ratih ingin memiliki kura-kura, tapi takut memegang dan merawatnya. Felix kadang heran, untuk apa memelihara kura-kura, lebih baik kucing saja--terlihat menggemaskan dan lucu, selain itu bisa diajak bermain.
Waktunya Felix menyudahi bacaannya hari ini. Melangkah lebar menuju teras kolam renang kediaman Faresta. Tubuh tinggi tegap dengan bisep otot terukir apik itu sering mencuri perhatian wanita penikmatnya. Apalagi usia Felix masih terbilang muda daripada Damian--tiga puluh tahun dan sangat tampan. Memiliki bingkai wajah blasteran Amerika membuat pesona Felix tidak bisa dipungkiri. Sorot tajam dengan iris dark grey sering menghipnotis lawan bicaranya. Berbeda dari Damian yang terkesan dingin, Felix terlihat lebih hangat dan manis.
"Felix, itu dia kura-kuranya!" Menunjuk ke arah kura-kura yang sedang berada di dasar kolam, diam di pojokan seorang diri. "Dia kayak sedih gitu nggak sih? Kayak orang frustasi."
Dalam hati Felix berkata, "Tentu saja frustasi, dia akan cepat gilaa jika Nona terus mengajaknya bermain dan memperlakukan layaknya kucing kesayangan." Tuhan ... Felix hanya bisa mengelus dadaa. Mungkin besok dia akan mengusulkan pada Damian agar memberi Ratih hewan peliharaan lain saja. Selain merepotkan, kura-kura ini juga sedikit ganas. Kemarin hampir saja dia menggigit jari Felix.
"Nona apakan lagi kura-kura ini sampai kecebur? Kata Tuan tidak boleh lagi di keluarkan dari kurungan, nanti dia bisa menggigit tangan Nona." Felix mengambil kura-kuranya menggunakan sebuah alat. Mengangkat ke atas dan kembali memasukkan dalam kurungan. "Jangan dibuka lagi kurungannya, nanti lepas dan jalan ke sana ke mari."
Ratih mendesah dengan bibir di majukan beberapa senti ke depan. "Lalu aku ngapain? Aku sendirian di rumah, tidak boleh melakukan pekerjaan apa pun dan dilarang jalan-jalan ke kafe. Aku bosan!" Padahal usia kehamilannya sudah sangat besar, persalinan ada di depan mata--sebentar lagi. Tapi Ratih masih senang memikirkan jalan-jalan ke mana hatinya mau. Tidak ada capek-capeknya, Felix malah begitu khawatir jika terjadi sesuatu yang membahayakannya.
"Nona memang sebaiknya di rumah saja. Jangan terlalu melakukan banyak kegiatan, nanti kelelahan."
Ratih menatap Felix malas. Bicaranya tidak jauh berbeda dari Damian. Ratih tahu batas lelahnya, tidak mungkin dia membahayakan bayinya. "Aku sejak tadi cuman tiduran sambil membaca majalah, nonton berita, nonton film, dan mendengarkan musik. Tuhan, aku tidak betah." Memelas serba salah dengan keadaannya sekarang. "Entahlah, diam begini membuat moodku menurun dan cepat bersedih hati. Aku sering merasa bosan."
Baru Felix akan membuka suara lagi, suara Damian menghentikannya. Pria itu datang menyapa Felix, lalu memeluk hangat istrinya. "Ada apa ramai-ramai di sini?"
"Nona Ratih kembali membuka penutup kurungan kura-kura, Tuan. Baru saja dia kecebur ke kolam lagi. Saya hanya takut kura-kuranya merasa terancam dan berakhir menggigit tangan Nona. Gigitan kura-kura bisa menimbulkan infeksi."
Damian menatap Ratih, wanita itu kembali menunjukkan wajah cemberut masam. Merajuk lebih dulu sebelum Damian menegurnya. "Aku tidak suka Felix, dia sering mengadu sama kamu!" katanya berusaha mengalihkan suasana agar terkesan Felix yang salah dan mengada-ngada.
"Apa yang Felix ucapkan benar, Sayang. Kura-kura itu juga bisa stress kalau kamu tidak tahu bagaimana cara merawatnya. Mau tangan kamu digigit dan infeksi?" Ratih menggeleng cepat, menunduk merasa bersalah. "Minta maaf pada Felix, dia tengah mencemaskan keadaan kamu, berusaha melindungi kamu. Jangan mengatakan sesuatu yang menyakiti perasaan Felix, nanti dia marah saya tidak tanggung jawab."
Ratih mencebikkan bibir, tapi akhirnya mengalah dan meminta maaf pada Felix. "Maaf ya, aku kan pengen main aja niatnya."
Felix mengangguk paham. "Tidak masalah, Nona. Saya memahami bagaimana kondisi perasaan Nona saat sedang mengandung besar begini." Setelah itu Felix pamit ke belakang, dia meninggalkan sepasang suami dan istri yang sedang bermesraan. Kadang hati Felix meringis, apalagi ketika pulang ke kediaman orang tuanya ... Tuhan, selalu soal menikah yang dibahas.
Aman saja jika tidak menimbulkan perdebatan, tapi sayangnya semua jadi masalah. Ibu Felix sudah sakit-sakitan, ingin segera melihat putra sematawayangnya menikah sebelum tutup usia. Felix panik, sering dibuat pusing sebab hal ini.
Sebenarnya sudah ada seseorang yang Felix sukai--sejak dulu, tapi wanita itu terlalu sulit untuk digapai. Felix tahu diri, tidak mungkin mereka bersanding dan hidup bersama. Terlalu jauh perasaan itu berlabuh, tanpa sadar telah memenjarakan. Felix masih mencoba mengenyahkan rasanya, harus hilang kendati sulit dan tidak rela.
****
Ketika weekend datang, waktunya Felix pulang ke kediaman orang tuanya. Hal seperti ini yang akhirnya sangat malas Felix temui, keadaan masih tidak baik-baik saja sebelum Felix membawa calon istrinya. Memperkenalkan pada kedua orang tua untuk mengatakan niat baik segera ingin melangsungkan pernikahan. Namun nihil, Felix belum menemukan wanita yang tepat. Menikah bukan permainan, ingin sekali saja seumur hidup. Meski menerima dorongan dan paksaan agar segera membangun rumah tangga, Felix tetap akan memilih yang terbaik dan berhati-hati. Tidak ada satu orang pun yang mau gagal dalam pernikahannya, begitu juga dengan Felix.
Sepanjang jalan mengemudikan mobilnya, otak terus bekerja keras membuat rencana baru dalam hidup. Jika Tuhan belum menakdirkan jodohnya datang, setidaknya Felix akan membangun beberapa usaha dulu sebagai tabungan masa depan. Felix akui, pendapatannya sebagai seorang bodyguard sudah sangat cukup bahkan berlebihan. Hanya saja, lagi-lagi kita tidak bisa bergantung pada satu pekerjaan apalagi yang tidak memiliki perkembangan dan tabungan tetap di masa akan datang. Felix bisa kalah dan mati kapan saja saat bertarung, lalu bagaimana dengan kedua orang tuanya?
Saat menikah nanti, bagaimana dengan istri dan anaknya?
Jika Felix memiliki usaha sendiri, penghasilannya bisa dijadikan tabungan untuk masa depan. Seperti Kenan, Damian ... mereka tidak hanya menggeluti satu bidang pekerjaan. Ketika semua bisa dilakukan secara bersamaan, kenapa tidak kan? Jadilah seseorang yang hebat dan pekerja keras sampai duit mengalir deras seperti air.
Asik berpikir sambil mendengarkan musik, tiba-tiba Felix menginjak rem mobilnya secara mendadak. Sudah sedikit kelewatan, lalu kembali mundur beberapa meter. "Ya Tuhan, apa wanita sudah itu gila?!" pekik Felix panik. Dia segera meninggalkan mobilnya, berlarian cepat menyeberangi jalanan yang super luas. Sepanjang langkah yang Felix ambil, mulutnya tidak berhenti memanjat doa pada Tuhan untuk tidak mengizinkan wanita itu melakukan percobaan bunuh diri.
Wanita itu berdiri di atas besi pembatas jembatan, di bawah sana ada lautan lepas yang begitu luas. Dijamin jika terjun dari atas akan binasa sampai ke bawah. Tidak mungkin selamat, apalagi mengingat di bawah laut banyak binatang buas pemangsa manusia. Dia berteriak melepaskan penat dalam diri, merentangkan kedua tangan merasakan angin yang berembus sangat kencang. Menerpa setiap helaian rambut yang dibiarkan tergerai indah. Jika wanita itu melemahkan tubuhnya, tidak menjaga keseimbangan, dan terpeleset sedikit saja, maka habis sudah.
Dalam benaknya hanyalah akhir dan kematian. Tidak ada yang mengerti dirinya, semua orang egois dan hanya mementingkan perasaan diri sendiri. Dia sudah bosan dan lelah, raganya sudah tidak mampu menunjukkan keadaan baik-baik saja. Dia lemah, tidak sekuat yang dibayangkan sebelumnya.
Saat tubuh wanita itu mulai tidak seimbang akibat terjangan angin, kaki kirinya terpeleset hingga membuat jantung seakan hilang fungsi saat itu juga. Belum sempat terjun bebas, seseorang mengumpat dan memegangi pinggangnya begitu erat. "Apa kamu gilaa?!" teriaknya yang masih terdengar jelas di telinga. "Kalau mau bunuh diri jangan di sini. Gantung diri di rumah saja. Selain tidak merepotkan orang lain, dosa kamu tanggung sendiri. Kalau di sini, saya ikut kena dosa jika tidak menyelamatkan kamu!" omel Felix habis-habisan. Dadaanya bertaluan lebih kencang, untung saja Felix tidak memiliki riwayat jantung.
Saking frustasi dan tidak tahu akan melakukan apa, hanya air mata yang menjawab semua kesakitan. Dia memeluk leher Felix, memilih menangis sejadi-jadinya dengan tubuh bergetar hebat. Dia sebenarnya ketakutan, tapi tekat sudah bulat untuk mengakhiri hidup. Ini jalan terbaik menurutnya, dia sudah bosan menjadi boneka dalam keluarga.
"Tadi berani sekali mau bunuh diri, sekarang malah menangis ketakutan. Astaga, kenapa wanita serepot ini?" Felix menghela napas panjang, mencoba membiarkan dulu wanita itu merasa sedikit lebih tenang dengan menumpahkan air mata.
Cukup lama menunggu dan membiarkan, Felix akhirnya jengah dan capek juga. Apalagi posisi mereka saat ini saling memeluk, Felix menahan bobot tubuh wanita itu. "Sudah, sudah. Saya lelah kamu begini, berat juga lama-lama."
Wanita itu mendengkus, meninju dadaa Felix kesal. Saat memperbaiki tatanan rambutnya, barulah Felix menganga. Mereka saling menatap beberapa saat, sama-sama kaget. Keduanya sudah saling mengenal, Felix tidak salah dalam mengenali seseorang meski pertemuan sebelumnya hanya dalam hitungan jari.
"Loh ... kamu?!"
****
Yeay, bertemu dengan Felix di bab pertama. Gimana, udah dapat feelnya?