7. Saingan Berat

2181 Words
"Felix, kamu sudah bangun?" Nessi menggeliat dalam pelukannya. Dadaa bidang pria itu menjadi bantalan empuk Nessi sepanjang malam, membuatnya tidur sangat nyenyak. "Kita tidur berdua, aku sampai kaget." Felix menghela napas, memijat pangkal hidungnya lalu mengecek ponsel. Banyak sekali deretan pesan yang dikirimkan oleh Damian beserta panggilan tidak terjawab. Felix lupa mengubah pengaturan nada deringnya yang sengaja disenyap kemarin malam saat Nessi berusaha menghubunginya di tengah perjalanan. "Sial, saya harus kembali ke kediaman Faresta. Tuan Damian mencari saya sejak semalam." Bangun dengan kasar sampai Nessi berdecak marah. Dia tidak diperlakukan secara lembut, Felix benar-benar menyebalkan sekali. Nessi mengubah posisinya menjadi duduk, menunduk dengan sedikit pusing. "Felix, kita belum sarapan. Kepalaku sakit, kamu tidak berniat meninggalkanku sekarang kan?" "Saya harus pergi sekarang." Mengenakan kembali sepatunya, lalu mengambil jas di kepala sofa. "Tidak seharusnya saya menginap, ini kesalahan." Bukannya mendengarkan ucapan Felix, Nessi malah mengernyit bingung saat fokusnya mengarah pada satu arah. "Bibir kamu kenapa Felix? Kamu habis berantem sama siapa sampai luka begitu?" Bangun dari posisinya, berusaha melihat bibir pria itu. Felix berusaha menjauhkan gadis itu darinya, menolak Nessi melihat lukanya. Berantem apa? Ini gara-gara Nessi yang tidak pandai berciuman sampai menggigit bibirnya. Pantas saja perih, ternyata beneran luka. "Tidak masalah, nanti juga sembuh." Ketika sadar, Nessi langsung menganga. "Apa semalam kita berciuman Felix?" tanyanya dengan memicingkan mata. Mungkin sebab alkohol sudah merajalela menyerang isi kepala, Nessi melupakan sebagian kejadian semalam. "Tidak, hanya dalam mimpi kamu." Felix mendorong kening Nessi, mendengkus. "Kemarin kamu menangis karena habis bertengkar dengan Nyonya George, lalu merengek pada saya ingin ditemani semalaman. Akhirnya seperti tadi, saya ketiduran di samping kamu." Nessi menghela napas, mengusap dadanyaa lega. "Syukur deh. Bibirku masih selamat, aku tidak pernah melakukannya dengan pria di luar sana." Menyunggingkan senyum, Felix hanya menggerutu dalam hati, "Saya sudah mencicipinya sampai ke dalam rongga mulut kamu!" Damn! Pikiran Felix seketika menjadi kotor akibat gadis di hadapannya ini. "Jangan lagi mabuk-mabukan, tidak baik untuk kesehatan dan keselamatan kamu. Orang jahat bisa kapan saja mencelakai kamu, jaga diri baik-baik, jangan sampai keadaan teler seperti tadi malam membuat akal sehat kamu sedikit kurang waras. Jangankan untuk melawan musuh, berlari untuk menyembunyikan diri sendiri saja tidak mampu." Nessi mengangguk paham. "Felix, kapan ajak aku ke rumah Mami lagi?" Tersenyum senang. "Aku butuh kasih sayang orangtua seperti Mami, keadaanku sekarang benar-benar sekarat." Cemberut, menatap sendu kepada Felix. Apa perhatian orangtua bisa ditukar? Atau paling tidak ada yang jual ... Nessi akan membelinya meski dengan nominal yang begitu fantastis. Hidupnya tidak melulu soal uang, tapi sangat kurang pada bagian cinta dan kasih sayang. "Tidak dalam waktu dekat, Nona Ratih masih baru melahirkan, saya sibuk di kediaman Faresta dan bolak-balik kantor Almeer's Group." "Ngomong-ngomong, Mami kemarin tanya kapan kita menikah?" Nessi menggigit bibirnya, bingung harus menyampaikannya bagaimana. Felix terkesiap, mengusap kening. "Lalu, kamu jawab apa?" Isi kepalanya terbagi-bagi, inilah yang paling memusingkan sebab berisi orangtuanya. Apalagi jika Viesa membawa-bawa soal usianya yang tinggal sebentar lagi. Ingin rasanya Felix menghilangkan diri saja. Membahas soal nikah dan sebagainya menguras perasaan. "Kataku semua tergantung di kamu, aku ngikut aja." Menaikkan bahu, takut jika Felix marah. "Gimana ya, aku nggak tega bikin Mami kecewa sama aku kalau aku bilang yang sebenarnya tentang kita. Mami udah terlanjur senang banget, aku juga sayang sama Mami." Felix mendesah. "Nanti biar saya saja yang bicara. Masalah ini tidak boleh berlanjut semakin lama, nanti Mami semakin berharap banyak ke kamu." Belum sempat Felix beranjak, Nessi duluan mencegahnya. "Apa lagi? Saya buru-buru, Nessi. Saya harus balik ke kediaman Faresta." Nessi memelas. "Ayo kita menikah saja, bagaimana?" Memegangi tangan Felix, menggoyangkannya dengan tatap memohon. Felix langsung tersedak saliva dan batuk hingga kedua matanya berair. "Hei, hei anak nakal. Kamu masih terlalu kecil untuk membicarakan nikah. Bagaimana bisa?" Geleng-geleng kepala karena dia pikie Nessi bercanda. "Apa kamu masih mabuk, huh?" Menempelkan telapak tangan ke kening Nessi. "Lumayan hangat, kamu sepertinya sakit." "Mami menyuruhku menikah jika ingin bebas. Nanti mungkin saja Mami juga memberiku modal sebagai bekal dalam pernikahan kita. Aku hidup sendirian, kalau udah nikah ... kamu bisa menjagaku." "Jangan bercanda. Saya masih terlalu sibuk mengurus kerjaan." "Tapi Mami meminta kamu cepat menikah." "Saya bisa mengatasi Mami sendirian, kamu tidak perlu ikut campur untuk hal ini." Nessi kembali mencegah Felix, tapi pria itu tetap melangkah ingin pulang. "Astaga, hati-hati!" Felix sigap meraih tubuh Nessi yang sempat oleng akibat mengejarnya di tangga. Untung saja tidak jatuh terguling ke bawah. "Menikah saja. Aku tidak akan mengganggu kesubukan kamu. Kita tetap akan hidup masing-masing sembari aku mengurus usaha rumah makan. Aku akan menyelamatkan kamu dari tuntutan Mami supaya lekas menikah, kamu bantu aku biar dapat modal usaha dari orangtuaku." Memegangi tangan Felix, kembali memohon. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali, Felix paling lemah dengan tatapan setulus ini. Felix menepuk-nepuk puncak kepala Nessi, geleng-geleng kepala keheranan. "Jangan bercanda, menikah tidak segampang yang kamu pikirkan. Janji pada Tuhan tidak sebercanda itu, saya tidak mau menjadi seseorang yang gagal di mata Tuhan akibat mempermainkan pernikahan." "Lalu kamu maunya bagaimana? Kita sudah kepalang basah, nyebur aja sekalian. Intinya pernikahan itu enggak dipermainkan, hanya saja kita tetap memiliki kebebasan masing-masing. Aku dengan dunia aku, kamu dengan dunia kamu. Aku tidak mengekang, sebaliknya pun begitu." "Bagaimana jika Mami menuntut adanya cucu dari kita?" Nessi menganga. Secepat mungkin dia memutar otak. "Mungkin kita bisa beralasan untuk itu sampai aku benar-benar siap. Begini ... oke, aku tetap akan memenuhi semua hak kamu. Tapi untuk urusan anak, kita tunda dulu sampai usaha rumah makan aku berkembang dengan baik." Felix menghentikan Nessi berucap ketika ponselnya berdering. Damian kembali menghubunginya, segera Felix angkat. "Selamat pagi, Tuan." Dadaanya bertaluan lebih cepat, ini baru pertama kali Felix menghilang tanpa memberitahu Damian. Damian membulatkan matanya di seberang sana. Sejak semalam dia menghubungi dan mengirimkan pesan, baru kali ini mendapat jawaban. "Ke mana saja kamu sejak semalam? Saya mencari kamu ke mana-mana." "Maafkan saya, Tuan, saya akan segera datang." "Tolong belikan bubur ayam seperti biasanya, istri saya ingin sarapan itu. Minta lebih banyak ayam suir dan bawang gorengnya." Felix mengangguk paham, lalu segera berniat pulang tanpa membuang waktu. "Kita bicarakan lain kali, saya harus segera pulang." Nessi mendesah. "Felix, pikirkanlah semuanya baik-baik. Aku serius untuk ini. Aku tahu aku masih bocah, pecicilan, dan sangat ceroboh. Tapi aku akan berusaha menjadi istri yang baik kalau kamu bersedia menikahiku." Felix tidak banyak menyahut, langsung pamit pulang begitu saja. Nessi menutup kembali pintunya, terduduk di sana dengan menyembunyikan wajah di antara lipatan kedua tangan. Apa Felix akan risih padanya setelah berbicara begini? Apa Nessi kelihatannya seperti w************n yang sedang menawarkan diri? "Kenapa hidup aku semiris ini? Kapan aku bahagia dengan keadaan penuh kasih sayang?" **** Sore ini kediaman Faresta sedang ramai sekali orang. Ada Kenan, Natasya, Senja, Zeline, Baby Ifander, Bastian, Nessi dan Nio. Semua berkumpul di ruang keluarga menjenguk keadaan Ratih yang baru saja keluar dari rumah sakit. Atas permintaan Damian, akhirnya Felix ikut bergabung di ruang keluarga tersebut. Semua orang sedang mengambil porsi makan masing-masing, Zeline berada di pangkuan Senja sambil disuapi agar menghabiskan makannya. Pandangan Felix tidak lepas dari gadis itu, sesekali tersenyum bangga sebab Senja terlihat begitu ke ibuan. Senja wanita karir dengan segudang prestasi, siapa saja ingin memiliki pasangan seperti wanita itu. Mendekati kata sempurna, bukan? Nessi menyadari Felix memandangi Senja sejak tadi, bibirnya maju ke depan, cemberut. Oh Felix menyukai adiknya Kenan? Bagaimana Nessi bisa bersaing, Senja adalah wanita karir yang begitu sukses. Pendidikannya tidak diragukan lagi, lulusan universitas terbaik dunia. Sementara dirinya gimana? Kuliah saja masih semester awal, hidup penuh kesedihan, lagi-lagi selalu berpikir ingin bunuh diri jika banyak masalah. Dia memang kekanak-kanakan, pantas jika Felix risih. Makanannya belum tersentuh, Nio menyenggol lengan Nessi. "Makan, matanya jangan asik jelalatan ke sana ke mari!" cibir cowok itu sambil geleng-geleng kepala. Nessi mendesah, lalu menyuap makanannya meski sudah tidak bernapsu. Beralih dari Felix, pandangan Nessi tidak sengaja bertabrakan dengan seorang pria di hadapannya. Dia Bastian, pengacara sukses yang sangat tampan dan sopan. Pria itu juga sesekali mencuri pandang pada Senja, mengulas senyum dalam diamnya. Nessi mengernyit, mereka menyukai wanita yang sama? "Tuhan ... enaknya jadi Mbak Senja. Sangat beruntung diperebutkan dua pria seperti Felix dan Bastian." Nessi membatin miris, perasaannya seketika sedih. Harusnya dia tidak terlalu ambil hati pada perhatian orangtua Felix, apalagi Nessi baru saja mengenal baik pria itu. Tapi namanya hati, siapa yang bisa menyangka Nessi akhirnya nyaman dengan Felix? "Nessi, kondisikan ekspresi kamu. Ya Tuhan, sangat menyedihkan gitu!" bisik Nio, berusaha mengulas senyum agar Nessi mengikutinya. "Sebelum janur kuning melengkung, kamu masih punya kesempatan." Nessi berdecak, memeletkan lidah pada Nio yang sok bijak menasehatinya. Kemudian keduanya sama-sama tertawa. "Makasih udah baik banget sama aku ya, makin sayang sama Nio deh!" Menyandarkan kepala pada cowok itu, mengedipkan sebelah matanya. Nio hanya geleng-geleng kepala, ada saja kelakuan gadis itu. "Sei, mumpung di sini lagi ngumpul dua pria hebat. Kalau dari kriteria kamu, Felix atau Bastian nih?" Kenan menggoda adiknya, membuat semua orang tertawa kecuali Nessi. Felix menatap Nessi yang sedang menundukkan kepala, berusaha membuang muka dengan mengajak Nio berbisik. Senja mengulum senyum, pipinya memerah padam. "Apa sih, Bang? Malu-maluin ih." Zeline bertepuk tangan. "Onty Sei sering ketemuan sama Paman Tian setelah jemput aku sekolah. Ya kan, Onty?" Tersenyum manis, lalu mengulurkan tangan kepada Bastian karena keduanya sudah begitu dekat. "Paman Tian sering belikan aku burger di kafe Tante Ratih. Enak, aku senang ikut Onty ketemu Paman." Memeluk leher Bastian, pria itu mengusap-usap punggung Zeline. Kenan terkekeh. "Bah, Felix. Sepertinya kamu kalah cepat dari Bastian." Felix hanya membalas dengan tawa kecil. Senja sesekali mencuri pandang pada Felix. Sedikit tidak enak jika obrolan ini membuat Felix bersedih. Dia dan Bastian hanya berteman baik. "Mbak, aku mau gendong Baby Zio boleh?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. Ratih mengangguk cepat. "Boleh, Sei. Dia udah kenyang, paling sebentar lagi tidur." Natasya sibuk memegangi dodot untuk baby Ifander. Anak cowok satu itu begitu anteng di pangkuan Mamanya, sama sekali tidak cerewet. Sesekali Ratih menoel tangan gendutnya yang begitu menggemaskan. "Udah naik berapa kilo berat badannya, Tasya? Ya Tuhan ... anak ini ngegemesin banget." Baby Ifander sudah kenyang, dia pindah ke pangkuan Kenan. "Bawa dulu baby Ifandernya ke sekeliling sini, Sayang, biar dia tetap nyaman." Anak itu senang dan betah sekali diajak jalan daripada duduk. Damian mengusap rambut Ratih, sesekali mengecup pelipis istrinya. "Jadi bucin sekarang kamu, Damian?" Natasya meledek, mencebikkan bibir. Ratih tertawa, mengusap permukaan paha Damian. "Saya begitu menyayangi keluarga kecil saya." Damian menaikkan bahunya. "Nona Tasya jangan selalu cari gara-gara sama saya, nanti kita gelut di sini, bahaya!" Lagi, perdebatan Natasya dan Damian selalu mengundang tawa. Nessi sibuk mengobrol dengan Nio, membahas soal kuliah mereka--berusaha mengabaikan Felix yang terlihat begitu menjengkelkan sejak tadi. Nessi kesal, pria itu sama sekali tidak berniat menyapanya. Tidak lama, Felix izin ke belakang sebentar. Nessi segera menyusulnya. Belum sempat Nessi memanggil Felix, ternyata pria itu menemui Senja yang sedang menggendong baby Zio. Nessi berhenti di balik tembok, memegangi permukaan dadaanya. "Kamu mau apa? Sini Baby Zionya saya bantu gendong dulu." Senja menyerahkan Baby Zio, segera dia masuk ke kamar mandi untuk buang air kecil. Baby Zio sudah diambang kantuk, matanya sesekali tertutup dengan menguap lebar. Lucu sekali anak itu, Felix sering gemas sendiri melihatnya. Senja keluar dari kamar mandi, kembali mengambil alih Baby Zio. "Sudah lama tidak bertemu kamu, Felix. Apa kabar?" tanya Senja sangat ramah, keduanya melempar senyum malu-malu. "Setiap kali kamu mengurus perkebunan di kediaman orangtuaku, kita tidak pernah bertemu. Aku baru saja datang, biasanya kamu sudah pergi." Felix terkekeh. "Kamu begitu sibuk." "Kemarin aku teleponan sama Mami kamu, katanya nanti aku boleh ikut kamu ke kediaman mereka. Aku dan Mami sudah lama sekali kenal, tapi kamu tidak pernah membawaku ke sana." Nessi menganga. Kenapa saingannya begitu berat? Hei, Mami mengenal Nessi sebagai calon menantu, posisi dia lebih unggul dari Senja. Tidak lama mengobrol berdua, Senja duluan kembali ke ruang keluarga. Felix akan menyusul, namun langkahannya terhenti ketika mengetahui persembunyian Nessi. "Ngapain kamu di sana?" tanya Felix menaikkan sebelah alis. Nessi kelabakan sebab persembunyiannya ketahuan, dia menggeleng cepat. "Aku tadi mau ke kamar mandi, buang air." Felix hanya ber-oh-ria menanggapinya. Nessi mencebikkan bibir, Felix sangat cuek padanya. "Tumben kamu banyak diam hari ini." "Lalu, apa aku harus jungkir balik di hadapan kalian semua?" "Tidak seperti itu juga. Sudahlah, kamu cepat ke kamar mandi, nanti kebelet pipis di sini." Tanpa berbicara apa pun lagi, Nessi lebih dulu meninggalkan Felix. Dia memang lebih banyak diam, untung tadi dia mengajak Nio. Kalau saja tidak, Nessi akan sendirian seperti orang bodoh tidak memiliki teman berbicara. Nessi hanya membasuh tangannya, kemudian melihat penampakan diri di depan cermin. "Kamu cantik dan masih muda, tidak perlu takut kalah saing!" katanya menguatkan diri sendiri. "Cih, bagaimana jika Felix lebih suka wanita dewasa dan mandiri? Nasib apes lagi!" Mengusap permukaan dadaa, menghela napas kasar. **** Nessi auto insecure kalau Senja saingannya. hahaha!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD