3. Bulan Madu

1360 Words
Kejora sangat tahu jika suaminya tidak punya niatan untuk mengajaknya bulan madu. Tapi dalam hatinya juga tidak ada rasa kecewa sama sekali. Justru Kejora tidak mau jika hanya berduaan dengan suaminya tersebut. Haidar sendiri merasa malas jika membahas tentang pernikahannya dengan seorang wanita yang tidak dicintai. Karena ingin menghindari obrolan tersebut, Haidar berniat segera pergi. "Haidar, makananmu belum habis!" Tegur Imron. Haidar pemuda patuh yang tidak berani membantah ucapan papanya, sekalipun perintah dari papanya tersebut berlainan dengan kemauan Haidar. Sebab Imron memiliki penyakit jantung sehingga Haidar takut membuat papanya kumat. "Pa, mungkin Haidar masih sibuk dengan urusan kantor," kata Ulva membela putranya. "Menuruti pekerjaan kantor tidak akan ada habisnya, Ma. Lagi pula aku ingin segera melihat cucu sebelum aku meninggal," jawab Imron kekeh. Jika sudah seperti ini Haidar langsung kalah telak, apalagi wajah Indah yang juga ikutan murung karena tak kunjung hamil membuat Haidar merasa ikut sakit. "Dua hari lagi, Pa. Aku akan mengajak Kejora ke Bali," kata Haidar yang terdengar memaksakan diri. Imron seketika tersenyum lega karena putranya masih mau mendengarkan permintaanya. "Haidar, Kejora. Kalian ini adalah suami istri. Jadi kalian harus saling menyayangi satu sama lain ya!" Pinta Imron. "Iya, Pa," jawab Kejora dan Haidar bersamaan. "Kalian berencana pergi berapa hari?" tanya Imron memastikan. "Tiga hari," jawab Haidar singkat. "Sebentar sekali, seminggu! Ajaklah Kejora jalan-jalan mengelilingi wisata di sana agar hatinya senang," perintah Imron tegas. "Iya, Pa. Kalau begitu malam ini aku tidur di kantor karena akan mengurus semuanya sebelum aku tinggal liburan selama seminggu," jawab Haidar menunduk patuh. "Iya, Nak. Kamu hati-hati ya?" ucap Imron tersenyum bahagia. Selepas kepergian Haidar, Indah serta suaminya juga berpamitan pulang. Ulva begitu berat melepas putrinya sampai menangis. "Ma, aku bukan mau pergi selamanya. Lagi pula aku bisa datang ke sini lain kali," bujuk Indah. "Iya, sayang," jawab Ulva menghapus air matanya. Yang terakhir Indah berpamitan pada Kejora, sambil berpelukan Indah membisikkan sesuatu. "Kak, setelah ini langsung lihat dalamnya vas bunga depan kamarmu ya?" Kejora yang tidak tahu apa-apa hanya menganggukkan kepalanya. "Indah, sering-seringkah kesini ya?" pinta Kejora. "Iya, kakak ipar," jawab Indah ceria. Suasana menjadi sepi, Kejora sendiri tidak tahu setelah ini akan melakukan apa. Hidup di rumah baru dengan orang-orang asing membuat dirinya tidak merasa nyaman. "Kejora, sebaiknya kamu istirahat saja. Kalau bosan bisa baca-baca koleksi buku di perpustakaan pribadi milik suaminya. Letaknya tepat di samping kamarmu," kata Imron ramah. "Iya, Pa. Saya permisi dulu," jawab Kejora sopan. Kejora merasa sedikit senang, setidaknya di rumah asing ini papa mertuanya sangat baik dan bijaksana. Mengingat nanti malam suaminya tidak pulang membuat Kejora juga semakin riang. "Apakah aku salah bila merasa senang jika suamiku tidak di rumah?" batin Kejora. Kejora tidak mau ambil pusing, toh sebelum ini kehidupannya di keluarganya sendiri juga tidak lebih baik. Setelah sampai di perpustakaan pribadi suaminya Kejora merasa takjub, sebab koleksi bacaan di sana sangat banyak. "Wah… Kalau begini aku akan betah berlama-lama di sini," batin Kejora senang. Selain menulis Kejora juga suka membaca, baginya kedua hal tersebut bisa menarik dirinya ke dunia lain yang bisa membuatnya melupakan dunia nyatanya sendiri. Perpustakaan yang berukuran lumayan luas itu juga dijadikan sebagai ruang kerja suaminya. Dengan iseng Kejora duduk di kursi kerja yang empuk. Seketika matanya terbelalak karena ada foto sepasang lelaki dan perempuan yang sedang berpelukan mesra. Kalau yang lelaki sudah jelas Kejora tahu, sebab foto tersebut adalah suaminya sendiri. Sedangkan untuk yang perempuan Kejora masih penasaran. "Apa dia kekasihnya? Kalau memang iya kenapa Haidar mau menikah denganku? Pantas saja Haidar sangat acuh padaku." batin Kejora sambil menertawakan nasib hidupnya. Kini tiada lagi harapan untuk Kejora hidup bahagia bersama suaminya, sedangkan hatinya sendiri juga tidak bisa mencintai pemuda yang dingin dan cuek itu. "Aku nggak peduli, mau di luar rumah dia punya simpanan banyak tidak akan membuat aku sakit hati. Yang terpenting sekarang aku fokus memikirkan masa depan saja." Kejora mulai bangkit dan melihat-lihat buku yang baginya menarik. Setelah itu dia duduk lagi di kursi sambil membaca. Kejora tenggelam dalam isi buku tersebut, sampai dia tidak sadar kalau Mama mertuanya sudah berdiri di depan meja. "Hem…" Kejora tersentak kaget karena tiba-tiba mendengar suara mertuanya. "Ada apa, Ma?" tanya Kejora bersikap sopan. "Kamu sudah lihat foto di depanmu?" tanya Ulva. "Sudah, Ma," jawab Kejora merasa konyol. "Itu adalah foto Haidar dan pacarnya sedari SMA. Hanya saja hubungan mereka tidak mendapat restu karena dulu kakek kamu dan kakek Haidar membuat janji untuk menikahkan anak mereka. Karena anak mereka lelaki semua jadi perjanjian itu diturunkan pada cucu mereka yang kebetulan adalah kamu dan Haidar," kata Ulva menjelaskan. Kejora mendengarkan dengan seksama tanpa merasakan apa-apa. Dia hanya merasa penasaran saja dengan cerita berikutnya. "Aku tahu Haidar masih mencintai gadis tersebut, akan tetapi dia juga tidak bisa melawan perintah papanya yang memang tidak pernah ingkar janji. Aku bilang begini agar kedepannya kamu tidak kaget dan ribut di depan papa mertuamu, sebab dia memiliki penyakit jantung yang rawan dengan sesuatu yang mengejutkan," kata Ulva tegas. Kejora merasa jika ucapan Mama mertuanya tersebut lebih tepat dikatakan sebuah perintah jika dibanding hanya sekedar memberitahu. "Iya, Ma. Kedepannya aku tidak akan membuat masalah apapun," jawab Kejora patuh. "Baguslah kalau begitu, dan jangan bilang mengenai ini pada Haidar ya?" Perintah Ulva tegas. "Iya, Ma," jawab Kejora. Setelah itu mama mertuanya keluar dari ruangan tersebut, dan Kejora jadi ingat dengan bisikan indah tadi. "Oh iya, bukankah tadi indah menyuruh aku untuk melihat isi vas?" Setelah di buka ternyata adalah selembar kertas yang isinya tidak jauh berbeda dengan apa yang diucapkan mama mertuanya barusan. Hanya saja tulisan Indah lebih sopan. Kejora justru tertawa saat membaca bagian akhir. Kak, kamu jangan menyerah ya? Aku yakin suatu saat nanti kak Haidar akan lebih memilihmu. Kejora sama sekali tidak berminat memberikan hari pada seseorang yang seperti itu. Setelah puas membaca Kejora tiduran di kamar, sebab dia memang tidak punya sesuatu yang dikerjakan. Suaminya malam ini beneran tidak pulang. Kejora dengan senang hati tidur seorang diri sambil memeluk bantal. Pagi harinya Kejora memasak kembali ke dapur sesuai keinginan mama mertuanya. "Kejora, setelah makan kamu bersiap-siap karena nanti siang Haidar akan pulang dan mengajak kamu pergi ke Bali," perintah Ulva tanpa tersenyum. "Iya, Ma." "Kamu hanya perlu mengemasi barangmu sendiri," timpal Ulva lagi. Kejora hanya mengangguk dengan sopan sebagai tanda mengerti. Setelah selesai memasak Kejora makan bersama kedua mertuanya. "Pa, aku mau mengemasi barang-barang dulu," pamit Kejora. "Iya, Nak. Semoga kalian nanti bersenang-senang ya? ucap Imron bersenang hati. Kejora tersenyum dan berlalu pergi. Dia segera mengemasi barangnya yang sekiranya cukup sampai seminggu. Karena Kejora bukan tipe perempuan yang memakai make up maka bawaannya hanya sedikit. Tak berapa lama kemudian Haidar sudah berdiri di depan pintu dengan tatapan yang dingin. "Ayo cepat!" Kejora segera mengambil koper kecilnya dan mengikuti langkah panjang suaminya. Kejora sama sekali tidak ingin bertanya kenapa Haidar tidak membawa barang bawaan. "Haidar, kenapa kamu tidak membawa barang?" tanya Imron curiga. "Aku sudah bawa yang aku simpan di kantor, Pa," jawab Haidar berubah ramah dan sopan. "Oalah, kalian hati-hati ya?" Ucap Imron. "Haidar, jangan lupa oleh-olehnya," timpal Ulva bersemangat. Selesai berpamitan sepasang penganti baru itu segera naik ke mobil dan menuju bandara. Kejora baru kali ini naik pesawat, seharusnya dia senang karena keinginan sedari kecil terwujud. Akan tetapi melihat wajah kaku suaminya yang duduk di sampingnya sama sekali tidak memberikan rasa kenyamanan. Kejora memutuskan untuk tiduran saja, dia mencoba bersikap tidak peduli dan tidak ambil pusing. Kejora baru terbangun saat ada pemberitahuan jika pesawat akan segera mendarat. Mereka hanya membisu, bahkan sesampainya di hotel tempat mereka berdua menginap tidak ada satupun yang mencoba untuk membuka suara. "Aku akan keluar, terserah kamu mau melakukan apa saja," kata Haidar tegas. Kejora sama sekali tidak keberatan ataupun bertanya hendak kemana suaminya berada? Selepas kepergian suaminya Kejora memilih tiduran karena merasa kelelahan. Setelah larut malam tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, dia tahu jika yang masuk adalah suaminya. Kejora memilih pura-pura tidur. Pagi harinya saat Kejora membuka mata suaminya sudah tidak ada lagi di kamar. Akan tetapi ponsel Haidar yang sedang di cas masih tergeletak di atas meja. Kejora penasaran dan membukanya. "Hebat sekali, minta izin pada orang tua untuk bulan madu denganku tapi sampai di sini menghabiskan waktu dengan pacarnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD