"Jadi, masalah apa lagi yang telah kau perbuat, Paul?"
Ucap seorang lelaki dewasa yang usianya sekitar tiga puluhan, memakai kemeja merah cerah dibaluti dengan jas hitam legam. Suaranya pun sengaja ditekan karena sudah sangat kesal dan bosan harus berhadapan dengan bocah nakal yang selalu membuat onar di sekolah swasta miliknya.
Lantai kantor pribadinya pun telah dikotori oleh jejak sepatu milik si bocah nakal yang sedang berdiri di depan mejanya.
Menjengkelkan.
Dia bahkan sampai tak tahu lagi harus menghukumnya dengan cara apa, karena berbagai cara telah dia lakukan untuk menghukum bocah itu, tapi tetap saja, semua itu tidak membuatnya jera sedikit pun, alih-alih meredam, masalah malah semakin mencekam.
Pantatnya saja sudah terasa panas karena harus duduk dengan posisi tegak dalam waktu yang cukup lama di kursinya ketika berhadapan dengan siswanya, soalnya dia itu harus tampak berwibawa di hadapan semua siswanya--termasuk bocah nakal itu--demi menjadi kepala sekolah yang baik.
"Ini tidak adil, Pak."
Suara berat dari bocah lelaki yang bernama Paul itu seketika membuyarkan kegondokkan hati Sang Kepala Sekolah, fokusnya mulai kembali dan matanya secara intens menatap bola mata bocah tersebut yang semakin mendingin.
Paul, yang memiliki tubuh tinggi besar dan juga otot yang lumayan tebal, bisa saja menghajar habis sang kepala sekolah yang kurus kering di depannya, tapi dia masih menyimpan rasa hormat pada pria muda yang menjabat sebagai kepala sekolah di sekolahnya itu. Tapi tetap saja, dia jengkel dengan sikap kepala sekolah yang selalu memandangnya sebagai pembuat onar di sekolah, padahal masalah yang terjadi tidak selalu seperti yang diasumsikan orang-orang.
Contohnya saja masalah lima bulan yang lalu, yang waktu itu, dia menghabisi lima kakak kelas sampai mereka dibawa ke rumah sakit, itu sebenarnya bukan sebuah penindasan terhadap kakak kelas, Paul menghajar habis-habisan lima kakak kelas karena mereka berlima ditemukan sedang mengeroyok seorang lelaki cupu, jadi dia melakukan itu hanya sebatas untuk memberikan perlindungan pada si lelaki cupu tersebut.
Tapi yang terjadi, malah membuat Paul terlihat seolah-olah menjadi 'tokoh b******k' di rumor-rumor yang dibicarakan tiap warga sekolah tentangnya, sampai akhirnya, kepala sekolah mendengar hal itu, dan dia diperintah untuk datang ke kantor kepala sekolah untuk meminta penjelasan dari masalah tersebut.
Dan sayangnya, apa pun penjelasan yang diceritakan oleh Paul, sama sekali tidak dipercaya sedikit pun oleh kepala sekolah, karena label buruk sudah melekat pada dirinya.
Dan sekarang, untuk ke sekian kalinya, Paul kembali lagi ke kantor kepala sekolah karena diduga telah membuat masalah, dan sama seperti biasanya, alur klise mulai berjalan. Karena itulah, kini dia sudah terlalu malas untuk menjelaskan kronologi kejadian aslinya, karena itu percuma, tidak akan didengar. Jadi, belakangan ini, yang Paul lakukan ketika dia dipanggil oleh kepala sekolah, paling hanyalah mengucapkan satu dua patah kata saja. Menurutnya itu sudah cukup.
"Ya, kau benar, Paul," Sang Kepala Sekolah menghela napasnya dengan malas, sambil merespon perkataan Paul. "Ini sangat tidak adil sekali, karena pekerjaanku tiap harinya harus selalu bertemu dan mengurusi anak nakal sepertimu. Aku yakin, kau juga pasti sudah bosan berhadapan denganku, tapi Paul, aku mohon padamu, bisakah kau sehari saja tidak membuat masalah di sekolah ini?"
Memberikan kesempatan untuk Paul berbicara, sang kepala sekolah memandang lekat-lekat muka pemuda di depannya yang penuh goresan. Namun, karena kelihatannya, Paul tidak menunjukkan akan merespon ucapannya, dia mulai kembali bersuara, "Dan karena apa pun hukumannya, kau pasti mampu mengatasinya dengan mudah, karena itulah, aku akan memberikanmu sesuatu yang lebih berat dari semua hukuman yang pernah kuberikan padamu, kau penasaran?"
"Tidak."
Sedikit kesal, sang kepala sekolah kembali melanjutkan ucapannya, "Jadi, Paul, mulai hari ini, kau secara resmi, kukeluarkan dari sekolah ini."
Seketika, Paul terkejut, kedua bola matanya sampai melotot hampir melompat keluar, jantungnya berdetak kencang, dan seluruh tubuhnya terguncang. Dengan terbata-bata, Paul bersuara,
"Dikeluarkan, ka-kau bilang!?"
Dengan santainya, pria itu menjawab, "Iya, dan ada apa denganmu, Paul? Kelihatannya sikapmu sedikit berubah. Apakah kau terkejut? Tapi itu wajar, semua orang juga pasti terkejut jika tiba-tiba dipecat dari pekerjaannya, aku mengerti."
"Apa pun akan aku lakukan! Asalkan jangan itu, Pak!"
Melihat Paul menunjukkan ekspresi yang jarang sekali ditampakkan, membuat si kepala sekolah muda itu sedikit tertarik untuk bermain-main dengan bocah itu.
"Apa pun selain itu? Tapi Paul, selama ini, aku sudah mencoba bersikap sabar padamu, dan sepertinya, kali ini kesabaranku sudah habis. Maafkan aku."
BRAK!!
Kemarahan Paul memuncak dan tersalurkan dengan memukul meja pribadi Kepala Sekolah hingga patah dan hancur, membuat pria berjas hitam legam itu tercengang. Tak menyangka kalau Paul bakal semarah itu sampai berani menghancurkan meja dinasnya di depannya seperti ini, sebagai kepala sekolah, ia harus melakukan sesuatu untuk menghentikkan amukan Paul sebelum bocah itu menghancurkan barang-barangnya yang lain di kantornya.
"Ada apa denganmu!? Paul!?" Pria berambut perak itu berdiri dari kursinya, dengan bentakan yang cukup keras pada Paul, dan kedua matanya pun secara bergantian menatap ke kepingan meja yang telah hancur, kemudian kembali memandang wajah Paul dengan kesal.
"Tarik kembali ucapanmu! Pak! Atau akan kuhancurkan semua benda yang ada di tempat ini!"
Merasa terancam setelah mendengar perkataan dari Paul, pria muda yang menjabat sebagai kepala sekolah mengeluarkan ponsel miliknya dari kantong celana, tapi saat dia akan menekan tombol telepon untuk meminta bantuan pada seseorang, bocah nakal itu malah lebih dulu merebut benda tersebut dari genggaman tangannya.
"Berikan padaku! Paul! Itu bukan benda yang dapat kau hancurkan! Harganya terlalu mahal!"
Cemas, sang kepala sekolah memekik-mekik tak terima ponsel miliknya direbut dengan mudah oleh bocah berandalan itu, apalagi mengingat harga dari benda itu yang cukup tinggi, membuat kepalanya terasa akan pecah jika Paul merusak benda tersebut di hadapannya.
Namun, walaupun begitu, pria itu sama sekali tidak mau menarik kembali ucapannya dalam mengeluarkan Paul dari sekolah, karena itu memang sudah menjadi keputusannya yang mutlak. Oleh karena itu, dia sebagai kepala sekolah akan terus menjaga wibawanya bahkan di situasi genting seperti ini, karena reputasi adalah segalanya baginya.
"Aku tidak peduli harga dari benda ini, yang kuinginkan hanyalah kau tarik ucapanmu! Pak! Jika kau masih tidak mau, benda ini akan kubanting berkali-kali hingga hancur luar dalamnya! Dan ini bukan hanya gertakan! Aku akan melakukannya sekarang juga jika kumau!"
"BERHENTI DISITU! PAUL!"
Tiba-tiba suara jeritan seorang wanita dewasa yang cukup familiar terdengar di ruangan ini, tepatnya di belakang Paul, di ambang pintu, saat bocah itu menoleh, ternyata memang benar, wanita tersebut adalah ibu kandungnya sendiri, yang datang diikuti oleh guru-guru sekolahnya.
"Ck!" Paul mendecih, tak habis pikir kalau ibunya harus terlibat ke dalam masalah ini, karena itulah, dia melemparkan kembali ponsel yang ada di tangannya ke kepala sekolahnya, kemudian, dia menatap tajam ke pemimpin sekolahnya tersebut. "Mengapa Ibuku sampai datang kemari, Pak?"
"Aku tidak mau memberitahumu apa-apa lagi! Kau sudah keterlaluan! Bocah biadab! Kaupikir berapa harga ponselku ini!?"
Merasa pertanyaannya tidak direspon, Paul mengabaikan kepala sekolahnya yang berseru-seru di depannya, dan pandangannya dialihkan ke sosok ibunya yang sedang berdiri di ambang pintu, serta sosok guru-guru yang berdiri di belakang ibunya.
"Mengapa kau bisa datang kemari, Bu? Darimana kau tahu hal ini?"
"CCTV!" Paul terkesiap saat ibu kandungnya menjawab pertanyaannya dengan langsung menyebut sebuah mesin pengintai itu, dia lupa pada benda berbahaya yang terpasang di tiap pojok ruangan ini. "Salah satu gurumu mengirimkan sebuah video rekaman CCTV saat kau berbicara dengan kepala sekolahmu di ruangan ini, padaku! Dan apa kau tahu? Akibat ulahmu! Ibu diperintahkan untuk datang kemari, menghentikkanmu sebelum kau menghancurkan semua barang-barang lain di ruangan ini! Dan berkat ulahmu juga! Ibu harus mengganti rugi meja yang sudah kau hancurkan itu!"
"Ib-Ibu! Ak-Aku tidak bermaksud untuk me--"
"PULANG!" Sang Ibu dengan amarahnya yang meninggi, menyuruh anak semata wayangnya untuk kembali ke rumah. "CEPAT PULANG SEKARANG! PAUL!"
Terpaksa, Paul dengan hati yang jengkel serta perasaan yang berat, melangkahkan kakinya keluar dari ruangan kepala sekolah, melewati ibu kandungnya dan guru-gurunya yang sedang berdiri lalu meninggalkan mereka di sana. Kemudian, bocah itu lari dengan sangat kencang, melintasi berbagai lorong, menuruni berbagai tangga, dan akhirnya ia pun sampai di tempat parkiran sepeda.
Napasnya terengah-engah sesampainya di tempat parkir sepeda, kemudian, dengan langkah yang gontai, Paul menghampiri sepedanya, kemudian menaikinya dengan keringat yang menetes-netes, lalu dengan perlahan dia pun mengayuh sepedanya untuk pergi keluar dari lingkungan sekolah, untuk pulang ke rumah, tidak mempedulikan tas gendongnya yang masih tertinggal di kelas.
***
"Wah! Lihat-lihat! Itu Paul, kan!?"
Para siswa di suatu kelas di lantai atas menempelkan mukanya ke kaca jendela, memperhatikan seseorang yang sedang mengayuh sepedanya ke luar gerbang sekolah.
"Ternyata memang benar! Itu Paul!"
"Pasti dia terkena masalah lagi!"
"Padahal belum waktunya pulang, tapi dia malah pulang duluan, hebat sekali, ya!?"
"Kau benar sekali! Haha! Aku saja sampai iri! Bagaimana kalau kita buat masalah juga seperti Paul, agar kita bisa pulang lebih cepat seperti Paul!?"
"Ide bagus! Hahahaha!"
Segala candaan yang menyindir tingkah Paul terus terdengar saling menyahut, diikuti dengan gelak tawa yang renyah dan sedikit nada sinis, membuat suasana kelas tersebut semakin ramai, sampai akhirnya sebuah suara mengudara,
"Sudah kubilang! Jangan mengolok-olok Paul! Teman-teman!"
Suara dari seorang gadis berambut hitam bergelombang membuat suasana ramai itu mulai pudar, tiap kepala yang tadinya menempel di kaca jendela, satu-persatu menoleh menatap gadis tersebut.
"Eh? Memangnya kenapa?"
"Sudah diamlah! Ini bukan urusanmu!"
"Kami tidak mengolok-oloknya, kok! Kami hanya mengaguminya! Hehe!"
"Ya! Ya! Itu benar! Lagipula, teman macam apa yang mengolok-olok kawan satu kelasnya, kan? Paul juga salah satu teman kami di kelas ini."
Gadis itu memberengut kesal, dia sepertinya mengerti maksud dari teman-teman sekelasnya, karena walaupun kata-kata mereka terdengar sangat manis, tapi mereka semua sebenarnya hanya mengeluarkan kata-kata sindiran saja terhadap Paul, dan itu semakin membuatnya jengkel.
"Pokoknya! Apapun alasan kalian! Aku tidak mau lagi mendengar kalian mengolok-olok Paul!"
***
Paul Cozelario, seorang pemuda berandalan yang baru saja dikeluarkan dari sekolahnya, tiba-tiba terpilih dan ditakdirkan menjadi seorang mentor.
Sebagai seorang mentor, Paul ditugaskan untuk mencari sepuluh orang yang terpilih menjadi seorang pahlawan, di mana sepuluh manusia itu tersebar di berbagai kota yang punya 'keunikannya' masing-masing.
Dalam jangka waktu sebulan, Paul harus mendapatkan 10 pahlawan.
Setelah melewati beragam jenis tantangan dan rintangan, akhirnya Paul berhasil menemukan 10 pahlawan.
Dan Paul pun mulai menamakan 10 pahlawan bimbingannya sebagai 'MINERVO'
Namun, perjuangan Paul dan MINERVO masih panjang, dan jalannya cukup terjal.
Karena muncul organisasi 5 JARI yang sangat kuat.
Apakah Paul dan MINERVO bisa mengalahkan 5 JARI?
Akankah 5 JARI menaklukkan Paul dan MINERVO?
Saksikanlah kisahnya di MINERVO.
Terima kasih sudah membaca dan sampai jumpa di chapter selanjutnya!