Setelah berakhirnya ketegangan di Kota Groen, malam itu, Paul pamit pada Jeddy untuk pulang ke kotanya. Tapi, entah kenapa, tiba-tiba saja Jeddy mencegat Paul dengan berdiri di jalan yang akan dilewati anak itu, seolah-olah dia tidak ingin si berandalan pulang ke rumahnya.
"b******k, cepat minggir dari sana! Kau menghalangi jalanku!"
Jeddy menghembuskan napasnya, helaian rambut hijaunya tergoyang-goyang tersentuh angin. Manik zamrudnya menatap mata Paul, tawa renyahnya mulai keluar dengan santai. "Hahaha, maaf, bro," kata Jeddy, tanpa mempedulikan Paul yang terlihat sangat kesal. "Aku bukan bermaksud menghalangimu, hanya saja..., kau tahu, kan, Bro? Setelah keluargaku dipenjara, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di rumah, hahaha! Bisa dibilang, aku bakal kesepian jika sendirian di sana, jadi, maksudku, boleh tidak? Untuk sementara aku tinggal di rumahmu, Bro?"
"Hah!?" Paul tersentak. "Apa-apaan itu!? Kau mau tinggal di rumahku!? Tidak boleh! Kau harus tetap di kotamu sendiri! Lagipula suatu saat aku bakal ke sini lagi untuk--"
"Hahaha! Tidak apa-apa. Kalau memang tidak boleh, aku tidak memaksa, kok. Santai saja, Bro! Kalau begitu, hati-hati di jalan, ya, Bro!" Jeddy mendatangi Paul lalu mengalungkan lengan kanannya ke leher si pemarah dengan santai.
Mendengar nada pasrah dari Jeddy, membuat Paul jadi sedikit merasa bersalah. Kemudian, dengan kaku dan suara terbata-bata, Paul menjawab, "K-Kalau cuma sehari dua hari, sih! B-Boleh saja! Tapi itu terserah!" Jeddy tersenyum lebar mendengarnya, dia benar-benar gembira atas jawaban Paul.
"Hahaha! Kau serius, Bro!?" Jeddy langsung mengacak-acak rambut hitam jabrik Paul dengan tawa renyahnya. "Kalau begitu, terima kasih, ya, Bro! Aku senang sekali! Hahaha!"
Kemudian, Paul dan Jeddy meninggalkan Kota Groen dengan menaiki bus antar kota yang kebetulan kebagian jadwal paling terakhir karena mereka naiknya pukul sembilan malam. Di dalam perjalanan, mereka berdua tidak banyak berbincang. Mungkin karena memang sedang mengantuk, tapi mereka harus tetap terjaga agar busnya tidak terlewat dari Kota Swart; tempat tinggal Paul.
Sesampainya di halte bus Kota Swart, mereka turun dari kendaraan itu dengan sempoyongan saking ngantuknya. Lalu memaksakan diri untuk berjalan kaki ke rumah Paul karena memang jaraknya tidak terlalu jauh dari halte. Mereka berdua terus melangkah dan melangkah dalam keheningan malam yang sangat sunyi di Kota Swart. Suara-suara lolongan serigala dan anjing milik penduduk menghiasi suasana malam itu, membuat Jeddy agak ngeri mendengarnya. Sedangkan Paul tidak terlalu mempedulikannya karena sebagian kesadarannya telah pergi ke alam mimpi.
"Astaga! Paul! Sebenarnya kau sudah pergi ke mana, sih!? Sampai malam-malam begini baru pulang!? Dan siapa pemuda ini!?"
Ibu kandung Paul terkejut melihat anaknya dengan seorang pemuda asing datang dengan terkantuk-kantuk di depan gerbang rumahnya. Wanita itu segera membuka gerbang tersebut setelah Paul menekan bel rumahnya dengan terus-menerus sampai dia kepanikan mendengarnya.
"Nanti akan aku jelaskan, sekarang biarkan kami masuk dulu, Bu," lirih Paul dengan suara yang lemas, tak tahan ingin tidur. "Kami sudah ngantuk sekali, Bu."
"H-Hai Tante... saya Jeddy, temannya Paul dari Kota Groen." sapa Jeddy pada Ibunya Paul, mencoba memperkenalkan dirinya dengan ramah, walau wajahnya sudah sangat ngantuk.
Wanita itu memang kebingungan mengapa anaknya bisa pulang selarut ini, tapi karena kelihatannya mereka berdua sudah tampak lelah sekali, akhirnya ia mempersilakan Paul dan Jeddy untuk masuk ke dalam. Setelah masuk ke dalam rumah, Paul mengajak Jeddy untuk langsung naik ke kamarnya, agar tidak perlu berbasa-basi dengan ibunya. Dan Jeddy terpaksa menuruti kemauan Paul, walau sebetulnya dia merasa tak enak jika tidak berbincang sebentar dengan ibu Paul.
"Kau mau tidur di mana? Kasurku hanya bisa ditempati satu orang saja, kalau kau mau, kau bisa tidur di atas! Biar aku yang di bawah!" kata Paul dengan tegas, sambil berbicara, dia juga mengambil seprai lain di lemarinya untuk dijadikan alas tidur di lantai.
"Yah... aku tidak masalah tidur di mana pun," Setelah itu, Jeddy langsung melompat ke permukaan kasur yang empuk dan memeluk bantal gulingnya Paul. "Terima kasih atas tawarannya. Aku langsung tidur, ya, Bro." Setelah mengatakan itu, Jeddy menutup kelopak matanya dan langsung mendengkur cukup keras.
Mendengar suara dengkuran Jeddy membuat Paul yang sedang berbaring di lantai, jengkel. Karena dengkuran itu membuatnya jadi tidak bisa tidur. "Berisik! Bukan kau saja yang tidur di sini! b******k!" Saking kesalnya, Paul langsung menendang muka Jeddy--yang sedang nikmat-nikmatnya tidur--sampai anak itu terjungkal ke sisi samping kasur.
Puas melihat penderitaan Jeddy, Paul buru-buru memejamkan matanya sebelum suara dengkuran itu terdengar lagi. Dan akhirnya, Paul berhasil terlelap dengan posisi yang nyaman. Sedangkan Jeddy terkaget sebab dirinya tiba-tiba terjungkal, dia segera kembali ke posisi nyamannya di kasur dan menganggap kalau yang terjadi barusan oleh ulahnya sendiri--yang mungkin posisi tidurnya terlalu ke samping--padahal kejadian sebenarnya tidak demikian.
Keesokan harinya, Paul terbangun dari tidurnya setelah cahaya mentari mengenai kelopak matanya. Setelah membereskan alas tidur di lantai, Paul pun segera pergi ke kamar mandi, meninggalkan Jeddy yang masih terlelap di kasurnya. Sesudah membasuh badannya di kamar mandi, ia kembali ke kamar untuk memakai kemeja panjang berwarna hitam pekat dengan celana jin berwarna biru tua.
Jeddy yang baru saja bangun dari tidurnya, kaget melihat penampilan Paul yang sudah tampak rapi, dia pun beranjak dari kasur dan bertanya dengan rambut yang masih acak-acakan. "Wow! Apa kau mau pergi ke sekolah, Bro? Tapi mengapa kau mengenakan pakaian begitu? Oh, mungkin di sekolahmu tidak menganut sistem seragam, ya? Itu keren sekali, Bro!"
Kesal mendengar celotehan Jeddy yang ngawur, Paul menolehkan pandangannya ke sosok yang baru bangun tidur tersebut. "Daripada kau terus membual, lebih baik kau mandi! b******n!"
"Hahaha!" Jeddy terbahak-bahak mendengar respon kasar Paul. "Tapi ini serius, Bro! Penampilanmu tampak keren! Sebetulnya, aku dari dulu ingin sekali masuk ke sekolah yang seperti itu, soalnya kau tidak perlu lagi mengenakan seragam membosankan yang terkesan kuno itu, benar, kan, Bro? Hahaha!"
"Bodoh!" Paul langsung menyentak Jeddy setelah mendengar perkataan sok tahu itu. "Aku sudah bukan lagi anak sekolahan! Karena aku telah dikeluarkan oleh pihak sekolah beberapa hari yang lalu! Dan juga, sekolahku menganut sistem seragam! Jadi jangan bersikap seolah-olah kau tahu segalanya tentangku, b******k!"
Hal itu membuat Jeddy terbelalak, tak menyangka kalau Paul telah dikeluarkan dari sekolahnya. Itu artinya, dugaannya dari awal sudah sangat salah. Jeddy benar-benar tidak tahu tentang hal tersebut. Dia jadi merasa malu sendiri.
"Wuoooh!" Mulut Jeddy terbuka sangat lebar saat mengatakannya. "Kau bercanda, kan, Bro!?"
"Lupakan saja soal itu!" hardik Paul dengan mata melotot. "Sekarang kau cepat mandi, bodoh! Karena kita akan segera berangkat!"
"B-Berangkat!?" Jeddy terheran-heran. "Jika bukan ke sekolah, lalu kau akan pergi kemana pagi-pagi begini, Bro?"
Tentu saja Jeddy keheranan mendengar ucapan Paul, karena baru saja anak itu bilang bahwa dia telah dikeluarkan dari sekolahnya. Lalu, jika bukan ke sekolah, lantas Paul akan pergi kemana? Jeddy benar-benar dibuat bingung. Jeddy pun mulai menduga-duga; mungkinkah Paul akan pergi ke klub-klub dewasa? Seperti yang biasa ia lakukan jika sedang stres dan depresi ketika menghadapi tekanan berat di hidupnya. Namun, Jeddy masih meragukan itu, karena menurutnya, walau Paul terlihat seperti bocah nakal dan berandal, tapi sepertinya bocah itu bukan tipe orang yang suka nongkrong di klub-klub dewasa.
"Kita akan pergi ke kota lain untuk mencari pahlawan berikutnya!" Dengan terpaksa, Paul memberitahukan hal itu pada Jeddy agar orang itu bisa mengerti situasinya. "Jadi, cepat sana mandi! b******k! Atau kau mau aku tinggalkan!?"
"Hahahaha!" Jeddy langsung tertawa-tawa mendengar itu. "Mencari pahlawan berikutnya? Untuk apa, Bro!? Bukankah satu pahlawan saja sudah cukup? Mengapa kau harus mencari lagi, Bro?"
Karena bosan mendengar segala ketidakpahaman Jeddy, Paul pun mulai menjelaskan semuanya dari awal sampai akhir pada orang itu. Sampai akhirnya Jeddy benar-benar paham mengenai hal tersebut.
"Wow! Kedengarannya seperti cerita-cerita fantasi, ya, Bro!" kata Jeddy yang terlihat antusias. "Jadi, di dalam tubuhku ini ada roh kunang-kunang, ya! Yang telah memilihku untuk menjadi seorang pahlawan! Dan total pahlawan yang akan kau bimbing ada sepuluh! Wow! Ini sangat keren! Menakjubkan sekali, Bro!"
Paul kira respon Jeddy akan sama seperti Colin, yaitu menertawakannya, tapi ternyata tidak sama sekali. Jeddy malah terlihat bersemangat dan percaya pada semua omongan Paul, berkebalikan dengan sikap awal Colin padanya. Tapi itu wajar, karena kepribadian setiap orang itu berbeda-beda, dan respon dalam menanggapi sesuatu pun akan berbeda-beda pula.
"Bagus kalau kau mengerti," ucap Paul dengan sarkastik. "Jadi, cepat mandi, b******k! Selagi kau mandi, aku akan memesan sarapan untuk kita!"
Jeddy menganggukkan kepalanya dan segera mengambil handuk yang tergantung di balik pintu dan melangkah keluar kamar menuju kamar mandi. Setelah keberadaan Jeddy sepenuhnya lenyap, Paul pun membuka ponselnya untuk memesan sebuah makanan di toko online.
Menunggu beberapa menit, terdengarlah suara ketukan di pintu depan rumah, yang menandakkan pesanan Paul telah tiba, diantarkan oleh seorang kurir dari toko online tersebut. Paul pun turun dari kamarnya dan membukakkan pintu rumahnya.
"Pesanan Anda sudah sampai! Maaf sudah menunggu lam---EH!?"
Kurir itu tampak kaget ketika melihat muka dari pemesannya, Paul pun yang tadinya hanya memandang pesanannya jadi tersentak mendengar omongan kurirnya dan mau tak mau ia harus mengangkat kepalanya untuk menatap muka si kurir. Dan Paul pun ikut terbelalak kaget.
"Kau Si Colin Sialan itu, kan!?" tanya Paul pada kurir itu untuk memastikan agar tidak terjadi kesalahpahaman.
"P-Paul! Ternyata kau benar-benar Paul yang kemarin datang ke kedai, kan!?! Dasar! Kau membuatku kaget saja!" ucap Colin dengan nada yang kencang saking bahagianya dapat bertemu dengan Paul lagi. "Jadi kau tinggal di sekitar sini, ya? Kalau begini, aku bisa sering main ke rumahmu, dong! Karena lokasi rumahku tidak terlalu jauh dari sini!"
Cepat-cepat Paul merebut pesanannya yang masih digenggam oleh Colin, kemudian dia lemparkan uang kertas bayarannya ke wajah kurir itu dengan kasar. "Jangan banyak omong! Sudah pergi sana! Aku muak melihat wajah idiotmu!"
Mendengar itu, Colin langsung memasang muka memelas pada Paul, setelah ia memasukan uang bayaran tersebut ke sakunya. "Lagi-lagi kau kasar padaku. Ayolah! bukankah kita sudah saling terhubung dengan ikatan mentor-pahlawan!? Kau mentorku, kan!? Jadi kapan kau akan membimbingku untuk menjadi pahlawan sungguhan!? Kau tahu tidak, aku selalu menunggumu di kedai, berharap kau datang lagi! Tapi ternyata kau tidak muncul-muncul! Dan lihat? Tuhan akhirnya mempertemukan kita kembali! Hahaha!"
"Berisik sekali kau, b******k!" balas Paul dengan muka yang sangat berapi-api.
"Ngomong-ngomong," kata Colin dengan nada yang terkesan penasaran. "Tampaknya penampilanmu rapi sekali, kau mau pergi kemana, Paul?"
Baru saja Paul hendak menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba saja muncul Jeddy yang telanjang d**a dan berbalut handuk di belakangnya. Kelihatannya Jeddy baru selesai mandi, rambut hijaunya tampak basah.
"Kedengarannya seru sekali, apa kau sedang mengobrol dengan seseorang? Siapa dia, Bro?"
Dan untuk pertama kalinya Jeddy dan Colin saling bertemu, mereka saling menatap satu sama lain dalam beberapa detik, sampai akhirnya mereka saling mendecih.
"Apa dia temanmu, Paul?" tanya Colin dengan memandang heran ke muka Jeddy.
"Hm? Tentu saja, aku temannya Paul. Lantas, kau siapa, Bro? Apa temannya Paul juga? Tapi kelihatannya kau hanya seorang kurir, hehe!" ucap Jeddy dengan tersenyum lebar pada Colin.
Mendengar ucapan Jeddy, membuat Colin agak tersinggung. "Hanya seorang kurir?" ulang Colin dengan nada yang ditekan, saking gemasnya pada sikap Jeddy yang terkesan meremehkannya.
"Tapi, itu benar, kan? Kau memang hanya seorang kurir, kan, Bro?" Jeddy menyunggingkan senyumannya semakin lebar pada Colin.
Jengkel melihat Jeddy dan Colin terus-menerus saling melempar kata-kata sindiran di depannya, Paul pun langsung membentak mereka berdua dengan keras.
"Jika kalian mau berkelahi, silahkan di luar! Jangan di depan rumahku! b******k!"
Akhirnya Colin dan Jeddy pun terdiam, Dan beberapa detik kemudian mereka berdua mengingat sesuatu secara bersamaan.
"Tunggu sebentar! Emm.. jangan-jangan kau itu..," kata Colin menunjuk Jeddy dengan antusias. "... Seorang pahlawan setelah diriku, ya?"
"Aku ingat sekarang! Tadi Paul juga menceritakan soal itu padaku kalau dia telah mendapatkan pahlawan sebelum diriku! Dan namanya kalau tidak salah, Colin, kan!? Wow! Itu artinya dari tadi aku sedang berbicara dengan seorang Pahlawan! Keren! Kau adalah seniorku! Bro!"
Dan akhirnya, Jeddy dan Colin saling berjabat tangan dengan bangga, saling melemparkan senyuman gembiranya masing-masing. Tidak seperti sebelumnya, kini mereka berdua jadi terlihat sangat akrab. Membuat Paul yang menyaksikan tingkah mereka, menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dasar pahlawan-pahlawan payah!"