Sebelumnya …
"Mama tadi pagi ke rumah lagi, Mas. Lagi-lagi bertanya tentang anak." Laras meletakkan hasil pemeriksaan dari dokter spesialis kandungan. Entah tes ke berapa, dia lupa.
Meletakkan tes tersebut di meja kerja Tyo, sang suami. Sebelum dia beranjak dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia memijat pelipisnya untuk mengusir rasa sakit yang kini bersarang di kepala.
"Belum rezeki. Kamu jawab saja seperti itu, tidak perlu banyak basa-basi," sahut Tyo acuh, tidak melepaskan pandangannya dari layar komputer. Dia sibuk memeriksa data pengeluaran perusahaan sebelum tutup buku bulanan. Mengabaikan Laras yang telah frustasi atas desakan sang ibu, tapi dia masih saja acuh seakan tidaklah ada yang terjadi pada istrinya itu.
"Ck, kalau seandainya ibumu langsung mengerti …"
Laras menggantung ucapannya ketika melihat Kinan, sekretaris Tyo keluar dari ruang pribadi yang ada di ruangan tersebut.
Matanya seketika membulat. Seingatnya ruangan tersebut digunakan Tyo untuk melepas penat. Tidak ada yang bisa masuk,kecuali dirinya dan Tyo sendiri. Bahkan suaminya itu pernah bercerita, jangankan orang lain office boy saja harus diawasi ketika masuk. Sekarang?
"Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kinan sedang sakit," tutur Tyo, seakan bisa membaca pikiran Laras. Sedangkan Kinan, wanita itu melengos pergi tanpa menyapanya.
"Sakit? K-kamu yakin?" Laras tergagap tidak bisa menerima alasan yang diberikan Tyo mana mungkin Kinan dalam keadaan sakit sedangkan tadi dia melihat dengan jelas bibir wanita itu begitu merah. Wajahnya juga fresh selayaknya orang yang baru saja selesai mandi.
"Yakin." Tyo menyandarkan punggungnya. "Kamu pulanglah. Aku ada rapat dengan klien."
"Mas!" Laras ingin membantah tapi dia sudah mengangkat satu tangannya meminta dia untuk menelan kembali semua kata berisi bantahan tersebut. Tyo juga mendekat padanya, duduk persis di samping tubuhnya.
"Kamu jangan berpikiran negatif dulu. Kinan itu beberapa hari ini aku limpahkan pekerjaan yang begitu banyak sampai-sampai dia lembur sedangkan aku pulang ke rumah. Jadi wajar aku meminjamkan ruangan itu padanya untuk beristirahat sejenak. Tidak mungkin dia pergi ke ruang kesehatan yang ada di lantai bawah. Kamu jika berada di posisi Kinan tentunya tidak sanggup bolak-balik ke ruangan atasanmu dalam keadaan sakit. Maka dari itu aku ingin bersikap baik layaknya manusia yang lain. Daripada aku meminta dia berbaring di sofa ini malah mengundang kecurigaan orang lain. Seperti yang kamu ketahui terkadang aku menerima rekan bisnis di ruangan ini. Terkadang juga ada karyawan lain atau office girl yang mengantarkan minumanku. Mengertilah agar kamu tidak dirusak pikiran negatifmu sendiri." Meraih tangan Laras dan mengecup punggung tangannya. "Pulanglah sayang, nanti aku akan mengurus mama."
Laras tak lagi membantah. Dia menarik tangannya dari genggaman Tyo, beranjak pergi berharap pikiran yang sempat datang tadi hanyalah pikiran negatif saja seperti yang dikatakan suaminya itu. Dia yakin Tyo tidak akan berbuat macam-macam karena rumah tangga mereka sudah berjalan cukup lama.
Selama ini tidak ada pula tanda-tanda keanehan pada Tyo. Pria itu selalu pulang tepat waktu. Hanya saja belakangan ini sering keluar kota, katanya ada proyek yang harus diselesaikan dan bukankah itu baik untuk perusahaan?
Laras juga tahu bahwasanya apa yang dimiliki Tyo saat ini merupakan campur tangan mendiang kedua orang tuanya, dulu menjual segala mulai dari tanah hingga rumah untuk mendanai usaha Tyo. Dulu pria itu hanya memiliki satu atau dua travel saja. Sekarang pria itu sudah memiliki begitu banyak travel bahkan kini mulai menyewakan alat-alat berat untuk pertanian dan pembangunan.
Kini hidup mereka penuh kemudahan memiliki harta kekayaan yang sangat berlimpah sehingga Laras menjadi menantu kesayangan.
Hanya saja beberapa tahun belakangan ini dia mulai didesak untuk memiliki anak. Mulai menumbuhkan perselisihan dengan sang ibu mertua. Untuk ayah mertuanya sendiri tidak ada kendala apapun karena pria paruh baya itu sadar selama ini putranyalah yang enggan melakukan pemeriksaan. Namun ibunya Tyo tetap menganggap keluarga mereka merupakan keturunan yang subur tidak seperti Laras yang memang hanyalah anak tunggal saja.
Dari semua pengorbanan kedua orang tuanya, hingga dirinya yang mendampingi Tyo hingga sesukses sekarang. Laras tidak yakin suaminya itu berani main api, terlebih lagi semua aset yang ada atas namanya. Sedikit saja Tyo berbelok tentu saja Laras dengan mudah membuang pria itu jauh dari kehidupannya.
***
"Hanya segini Mas? Kamu pikir ini cukup untuk membeli skin care aku? Seharian kamu di pasar sana hanya mendapatkan uang segini?!" suara ribut terdengar dari dapur membuat Laras menghela nafas panjang.
Niatnya ingin mengambil segelas air dingin untuk menyegarkan tenggorokannya tapi, terpaksa dibatalkan mendengarkan perdebatan antara sang asisten rumah tangga dengan suaminya. Ini merupakan pemandangan yang tak asing lagi bagi Laras karena Tyas, sang asisten rumah tangga memang selalu saja tidak mampu bersyukur atas apa yang telah dia dapatkan.
Memiliki suami yang begitu baik dan perhatian tapi, selalu saja salah di matanya. Laras juga telah memberikan gaji yang cukup bagi Tyas rasanya jika wanita itu hidup sesuai dengan perekonomiannya dia yakin keributan ini tidak perlu terjadi.
Jengah? Laras tentu saja sangat jengah mendengar pertikaian sepasang suami istri itu tapi, dia tidak mungkin ikut campur lebih jauh. Itu bukan ranahnya. Dia juga tidak ingin Tyas tersinggung. Bukannya apa, selama ini Laras kesulitan menemukan asisten rumah tangga yang bisa cocok dengannya. Dan sampailah dia menemukan Tyas dua tahun yang lalu.
Hingga detik ini Tyas tidak pernah bermasalah bahkan selalu menemani dirinya dalam suka dan duka. Tyas tidak hanya sebatas asisten rumah tangga melainkan sahabat pula baginya. Dengan sabar wanita itu selalu mendengarkan keluh kesahnya selama menikah dengan Tyo. Mungkin pertengkaran di antara sepasang suami istri itu mengganggu pendengarannya tapi, Laras tidak mempermasalahkan hal tersebut karena sore hari Tyas akan pulang.
Untukmu mengurangi perselisihan Laras sudah sering meminta Tyas untuk tinggal bersamanya saja sekaligus menjadikan suaminya sebagai tukang kebun atau supir namun sayangnya pria bernama Adrian tersebut menolak. Dia tidak ingin terlalu banyak menyusahkan maka dari itu hingga kini mereka masih mengontrak.
Apalagi yang bisa Tyas lakukan? Tidak ada, dia hanya bisa menjadi penyimak yang baik dan berharap keributan tersebut tidak sampai ke telinga Tyo.
"Bukankah kemarin kamu baru membeli skin care? Sekarang skin care apalagi yang kamu sebutkan padaku?" bantah Adrian , suaminya Tyas. Mengusap kasar wajahnya, tidak mengerti kenapa uang yang dihasilkannya dari pasar tidak pernah cukup dimata sang istri.
Ada saja alasan wanita itu agar bisa merendahkan harga dirinya bahkan hari ini Adrian mengangkat begitu banyak barang ke sana kemari. Mengejar pelanggan yang biasa menggunakan jasanya semua semata-mata demi membahagiakan Tyas. Namun tetap dimata istrinya itu semua pengorbanannya tak berarti sama sekali. Uang yang dia serahkan tetap dilemparkan kembali ke meja dan mengutuk dirinya.
"Skin care aku itu tidak hanya satu atau dua Mas, tapi ada sepaket bisa habis secara bergantian. Kamu tidak perlu mengurus itu cukup bekerja saja dan penuhi kebutuhanku. Bukankah itu janjimu kepada mendiang kedua orang tuaku dan aku juga sudah mengajakmu untuk tinggal sekaligus bekerja di sini agar pengeluaran berkurang. Dengan angkuhnya kamu malah menolak seakan-akan kamu itu hebat dan sanggup menaklukkan kerasnya kehidupan di luar sana. Apa salahnya kamu di sini bersamaku jadi tidak perlu lagi memikirkan uang kontrakan yang akan jatuh tempo dua hari lagi.
Aku malu terus-menerus ditagih ketika terlambat . Kapan kamu bisa membayar kontrakan sebelum waktunya atau setidaknya sampai waktu yang ditentukan jangan menunggu wanita garang itu marah-marah dan menggedor pintu kontrakan hanya untuk menagih uang yang telat beberapa hari saja."
Kalau kamu berhemat tentunya uang yang aku berikan lebih dari cukup untuk membayar kontrakan serta kehidupan sehari-hari. Kamu juga bisa menggunakan gajimu untuk kebutuhanmu sendiri."
"Gaji aku?" Tyas menunjuk dirinya sendiri. "Aku bekerja untuk membantumu bukan untuk menafkahimu."
"Tyas, dengar kamu salah paham. Aku …"
"Tyas, maaf mengganggu. Bisa berhenti dulu ributnya? Mas Tyo pulang," tegur Laras hati-hati. Takut Adrian tersinggung karena tegurannya.
Laras benar-benar merinding melihat Adrian. Pria dengan postur tubuh tinggi, otot keras berkat profesinya sebagai kuli panggul di pasar. Ah, jangan lupakan rambut halus di rahang Adrian yang memanjang, membiarkan pria itu semakin garang saja. T-tunggu, ada satu lagi. Kulit sawo matang Adrian yang terpanggang matahari semakin menambah kesan jantan. Namun, itu semua membuat Laras takut. Adrian dan Tyo sangat jauh berbeda.
"Baik, Nyonya. Sekalian aku buatkan teh mint untuk Tuan?"
Laras mengangguk. "Benar sekali." Meneguk kuat ludahnya. "Oh,ya, kalau kalian berdua sudah keberatan, di belakang rumah ini ada paviliun. Tinggallah di sana. Lumayan, uang kontrakan bisa ditabung," sarannya ragu-ragu. Berharap kali ini Adrian mau.
Laras yakin pria itu pasti lelah ribut dan bosan mendengar omelan Tyas.
"Tuh, dengar apa kata nyonya," ketus Tyas pelan. Bibirnya mencebik, kesal pada sang suami yang tetap ingin mengontrak di luar sana.
Adrian hanya bisa menghela napas panjang. Menatap Tyas dan Laras secara bergantian. Mereka sama cantiknya, tapi Laras jauh lebih pendek. Kulitnya putih bersih. Saat bicara Laras terlihat anggun dan sangat sopan. Tidak seperti istrinya yang selalu saja menggunakan urat.
Perlakuannya pune berbeda. Laras menyambut kedatangan suaminya dengan senyuman yang begitu manis. Melingkarkan tangannya di pinggang Tyo setelah mengambil alih tas kerja suaminya itu.
Adrian berdecak kagum melihat pemandangan manis tersebut. Dia benar-benar iri pada sosok Tyo. Terlebih lagi ketika Laras melabuhkan kecupan singkat di bibir Tyo, sebelum ke dapur untuk mengambil teh mint.
"Ck, enaknya jadi orang kaya," keluh Adrian. Bergegas keluar dadi rumah mewah tersebut. Dia harus kembali ke pasar untuk mencarikan uang skincare Tyas, daripada nanti malam diacuhkan lagi.