Di dalam sebuah ruang bercat putih, seorang pria berbadan tegap, dengan perban elastis melilit, melintang pada bagian perut, tengah duduk di atas brankar, bersama seorang dokter yang sedang melepas perban, juga penutup khusus pada kedua netra, pasca operasi cangkok mata.
Setelah semuanya selesai, pria bersneli itu melirik sesaat pada salah satu rekannya yang sedang berdiri di sisi kiri brankar, berharap penglihatan pasiennya kembali seperti sedia kala.
“Cobalah buka matamu perlahan-lahan.”
Setelah mendengar perintah dari Dokter, pria tampan itu pun mulai membuka kelopak matanya dengan hati-hati, lalu menatap lurus ke depan, sembari mengerjapkan matanya beberapa kali.
“Bagaimana?” tanya sang Dokter.
Namun, tak ada jawaban apapun dari pasiennya. Pria itu hanya terdiam, memandang lurus ke depan, dengan tatapan yang sangat sulit diartikan.
“Apa … kau masih belum dapat melihat, Esdras?” tanya pria bersneli itu lagi.
“Brylle, apa mata yang didonorkan untuk Esdras masih berfungsi dengan baik? Atau … apa mungkin, kau gagal mengoperasi mata Esdras?” tanya pria berjaket kulit hitam, dengan dahi berkerut.
“Tidak. Aku bahkan sudah melakukan pemeriksaan ulang pada kornea mata yang hendak didonorkan pada Esdras. Aku tidak segegabah itu, Jo Finley,” sahut Brylle, membela diri.
Finley yang saat ini tengah memperhatikan mimik wajah Esdras yang kembali berubah, seketika menghembuskan napas kasar, berharap lelaki itu segera berbicara, agar semuanya tahu, apa yang sebenarnya terjadi. “Ya Tuhan … reaksi apa lagi sekarang?! Esdras, bisakah kau mengatakan sesuatu? Aku benar-benar tidak ingin, kita semua mati di tangan Lazarus, jika cangkok matamu gagal!” gerutunya.
“Siapa mereka?” Pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut lelaki itu, justru membuat orang-orang dalam ruangan tersebut ikut kebingungan. Secara bersamaan, mereka menoleh, dan menatap ke arah pandangan Esdras, dengan dahi mengernyit.
Kosong.
Tidak ada apapun di sana. Hanya ada meja kecil berbentuk bulat di sudut ruangan, dan dinding bercat putih saja. Tak ada siapapun, termasuk ‘mereka’ yang Esdras maksud.
“Siapa yang kau maksud?” tanya pria bersneli itu, penasaran.
Esdras pun mengedikkan dagu ke depan, seakan ada beberapa orang yang ditunjuk oleh lelaki itu. “Mereka! Orang-orang berpakaian rumah sakit, dengan rambut berantakan. Kenapa mereka bisa masuk ke ruanganku? Lalu, kenapa mereka menatapku seperti itu? Apa mereka belum tahu, siapa aku? Ha! Berani sekali mereka memandang rendah padaku!” Esdras mendelik pada sesuatu hal yang menurutnya sedang menatap ke arah pria itu, sembari mendengkus kesal.
Brylle kembali menoleh, dan menatap ke arah tatapan pasiennya, diikuti beberapa anak buah Esdras yang tengah berjaga di ruang tersebut, dua perawat, juga Finley.
Namun, sekeras apapun mereka berpikir, dan sefokus apapun mereka melihat, orang-orang yang dimaksud lelaki itu tetap tidak dapat mereka temukan.
“Apa … anak buah Wolf East melukai kepalanya?” tanya Brylle pada Finley, karena saat kejadian penyerangan, pria bersneli itu sedang berada di rumah sakit.
Finley menggelengkan kepala. “Tidak!”
“Esdras, sepertinya … kepalamu ikut cedera saat kecelakaan kemarin. Kita harus mengecek kembali keadaanmu, dan melakukan CT-Scan ulang!” celetuk pria bersneli itu, seraya mengambil berkas yang sebelumnya sempat ia taruh di atas nakas, lalu hendak berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Namun … langkah kakinya tiba-tiba berhenti, ketika pasien, sekaligus rekannya itu mengatakan sesuatu hal yang seketika membuat seluruh bulu kuduknya meremang tanpa alasan.
“Brylle … bukankah Exsli sudah mati? Kenapa wanita itu berdiri di sampingmu, sekarang?” tanya Esdras, dengan suara yang sangat lantang, dan sangat meyakinkan.
***