“T-Tuan … siapa aku sebenarnya?” tanya makhluk tak kasat mata itu, sembari menatap kedua telapak tangannya.
Esdras yang merasa aneh dengan roh wanita itu hanya menggelengkan kepala, lalu kembali berbalik, dan melangkahkan kakinya, diikuti para anak buah Delta Dirac dari belakang.
Lelaki itu mencoba bersikap biasa saja, dan acuh tak acuh, kala beberapa makhluk tembus pandang, bagai asap di sepanjang lorong rumah sakit, terus menatapnya, seakan tengah melihat satu sosok artis papan atas, berjalan melewati mereka.
Padahal yang mereka lihat, bukan karena ketampanan Esdras, melainkan cahaya putih keemasan yang memancar sangat indah, hingga membias, menembus tubuh para roh halus itu.
“Tuan, bisakah kau mendengarku?” Satu makhluk tak kasat mata lain, tiba-tiba melayang mundur, menghadap pada Esdras.
Sembari menghela napas, lelaki tampan itu mencoba tak memperdulikan ocehan roh-roh tak masuk akal, dan terus melanjutkan langkah kakinya, menuju taman rumah sakit untuk mencari udara segar.
Namun … tepat saat pria itu melewati pintu utama rumah sakit, indera keenamnya begitu saja menangkap berbagai macam jenis makhluk tak kasat mata, dengan cahaya yang berbeda. Beberapa dari mereka terlihat bergerak dengan cepat, bagai angin. Tetapi, beberapa dari mereka yang lainnya hanya berleha-leha, duduk di beberapa bangku taman, batang pohon besar, atau bentangan kabel listrik lampu jalan.
Dan sialnya … semua roh halus itu mengalihkan perhatian mereka, menatap pada Esdras dengan tatapan kosong, namun seakan tengah merasa kebingungan.
“Ya Tuhan … a-apa ini?” gumam Esdras sangat pelan, bahkan hampir tak terdengar.
“Mereka semua sama sepertiku.” Suara makhluk tak kasat mata, yang sebelumnya terus mengejar untuk meminta pertolongan pada Esdras, tiba-tiba kembali menyapa indera pendengarannya.
Pria itu menoleh ke sisi kanan, dan mendapati, sang roh halus sedang berdiri di sampingnya, sembari memandang ke arah depan. Ia perhatikan satu per satu para makhluk sejenisnya itu, lalu merentangkan kedua tangannya, tepat di depan Esdras.
“Dia milikku! Dan, aku adalah pengawalnya.” Roh wanita itu merogoh saku baju pasien yang dikenakannya, mengambil sebuah bola bercahaya biru muda keemasan, lalu memperlihatkannya pada para roh halus di sana. Ia sentuhkan bola bercahaya tersebut pada dadaa lelaki itu, hingga hanya dalam hitungan sepersekian detik saja, sinar pada bola menyatu dengan cahaya di sekitar tubuh Esdras, dan membuat roh wanita itu tersenyum bahagia.
“Tuan, kau benar-benar ditakdirkan untuk membantuku. Lihatlah … cahaya dari bola kehidupan milikku, menyatu dengan aura pada tubuhmu,” ucap roh itu.
Esdras yang masih belum sepenuhnya memahami keadaan saat ini, hanya menggelengkan kepala dengan malas.
“Aku benar-benar tidak peduli! Aku tidak melihat, dan tidak mendengar apapun!”
Esdras kembali melangkahkan kakinya, dan kini duduk di atas kursi taman. Sementara para anak buah Delta Dirac yang berdiri di belakangnya, saling melempar tatap, melihat tingkah aneh underbossnya itu.
***
“Apa yang terjadi pada adikku?” tanya Lazarus, tiba-tiba.
Baik Finley, maupun Brylle, tak ada yang menjawab pertanyaan pemimpin kelompok mafia Delta Dirac itu. Keduanya hanya saling melempar tatap, mencoba mencari kata yang tepat untuk menjelaskannya pada Kakak dari Esdras.
“Kenapa kalian diam? Apa ada masalah dengan kesehatan adikku?” Lazarus terlihat semakin khawatir, saat melihat tingkah dua orang kepercayaan Esdras itu.
“Aku sudah melakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh pada tubuh Esdras, termasuk jaringan-jaringan pada bola mata barunya, dan … semuanya sangat normal. Bahkan, Esdras dalam keadaan sangat sehat pasca operasi cangkok mata, dan luka tusuk pada bagian perut.” Brylle mengambil tablet yang tersimpan di atas meja, menyambungkannya dengan data rumah sakit, lalu membuka file hasil pengecekan kesehatan Esdras. Ia taruh benda elektronik tersebut di atas meja, untuk memperlihatkannya pada Lazarus.
“Kau bisa lihat di sana. Semua hasil medical check up adikmu sangat baik. Pria itu bahkan pulih dengan cepat, karena kekebalan tubuhnya sangat luar biasa. Namun … ada satu hal yang membuat Esdras berbeda dari sebelumnya,” jelas Brylle, memberanikan diri, memberitahu pada Lazarus keadaan Esdras saat ini.
Lazarus yang tengah membaca hasil pemeriksaan dalam tablet, seketika mengalihkan perhatiannya. “Berbeda? Apa maksudmu?” tanyanya dengan dahi berkerut.
“Mata batin Esdras terbuka, dan dia bisa melihat makhluk-makhluk dari dimensi lain,” sahut Brylle.
Tidak percaya dengan takhayul seperti itu, Lazarus hanya menanggapinya dengan decihan, sembari menyeringai tipis. “Cih! Yang benar saja.”
“Brylle benar, Lazarus. Awalnya … kami pun tidak mempercayai, apa yang dikatakan oleh Esdras. Akan tetapi, pria itu benar-benar berbicara dengan mereka, termasuk Exsly, mantan kekasih Brylle yang sudah meninggal,” timpal Finley.
“Esdras pasti sedang memberi lelucon pada kalian,” sahut Lazarus, masih tidak mempercayai cerita dari Brylle dan Finley.
“Aku pun sangat ingin berpikir, seperti apa yang kau pikirkan, Lazarus. Jika saja, Esdras tidak mengatakan sesuatu hal, yang hanya diketahui olehku, dan juga Exsly. Dari sana, lah … mau tidak mau, akhirnya aku mempercayai kegilaan yang Esdras katakan,” lanjut Brylle.
Melihat raut wajah dua orang kepercayaannya sangat serius, Lazarus yang terus menolak mempercayai hal tidak masuk akal itu, akhirnya menyerah. “Kalian berdua yakin?” tanyanya.
Brylle dan Finley menganggukkan kepala secara bersamaan.
“Kau bahkan melihatnya sendiri, Lazarus. Sikap yang diperlihatkan Esdras, sama seperti ketika adikmu itu pertama kali membuka mata. Aku bahkan hingga memberanikan diri bertanya pada pihak keluarga pendonor, mengenai keseharian lelaki pemilik mata itu, sebelum jatuh sakit, dan meninggal. Dan mereka mengatakan, jika Andreas miliki penglihatan yang normal, tanpa pernah melihat hal-hal tak kasat mata, seperti Esdras. Ah … aku benar-benar gila merangkai teka-teki ini,” ujar Brylle, diakhiri dengan gerutuan putus asa.
Lazarus seketika mengusap wajahnya dengan kasar, sembari menghembuskan napas panjang. “Semua ini benar-benar sangat sulit untuk ku percaya. Dimensi lain? Makhluk tak kasat mata? Sixth Sense? Ha! Yang benar saja. Tak ada hal-hal seperti itu di dunia ini,” tolak Lazarus.
Sedangkan di tempat lain, Esdras yang sejak tadi hanya terdiam, dan duduk di kursi taman rumah sakit, mencoba memejamkan matanya. Ia bacakan beberapa mantra yang diketahui saat kecil, juga mantra-mantra yang pernah ia lihat dalam sebuah film fantasi, berharap penglihatannya akan kembali normal. Setelah selesai, Esdras pun kembali membuka matanya.
Namun sayang, para makhluk tak kasat mata yang nampak seperti asap itu, masih bisa dilihatnya dengan jelas, termasuk suara roh wanita cantik yang saat ini sedang duduk di atas lantai, menghadap padanya, sembari menopang dagu.
“Siapa namamu?” tanya Esdras pada akhirnya.
Roh wanita yang terlihat sangat senang itu, segera duduk bersila, dengan kepala mendongak ke atas. “Kau mau membantuku, Tuan?” tanyanya, riang.
“Aku hanya menanyakan namamu, bukan ingin membantumu!” sahut Esdras menolak.
Beberapa anak buahnya yang masih setia mengawal Esdras dari jarak beberapa meter, seketika menoleh ke belakang, ketika mendengar underboss-nya itu tengah berbicara sendiri.
“Ada apa dengan Tuan Esdras?” tanya Paul, pada rekan sejawatnya yang berdiri di sampingnya.
Pria bersetelan jas hitam itu menggelengkan kepala, lalu kembali menghadap ke depan, membelakangi Esdras.
“Kita hanya perlu mempercayai, jika Tuan Esdras sedang berlatih menjadi seorang aktor. Jangan sampai, karena rasa penasaran itu, kau kehilangan nyawamu,” sahutnya.
Mau tidak mau, Paul yang lebih menyayangi dirinya, memilih diam, dan kembali bertugas.
Sementara Esdras, masih terdengar berbicara sendiri di tempatnya.
“Aku tidak tahu namaku,” jawab roh itu.
“Bodoh! Nama sendiri, pun, kau tidak tahu!” balas Esdras.
“Aku benar-benar tidak ingat, siapa namaku. Bahkan, aku sendiri tidak yakin, apakah aku benar-benar sudah mati?”
“Lalu, untuk apa kau meminta bantuanku? Jika namamu saja, kau tidak ingat!” Esdras bertanya dengan nada mencemooh.
“Kenapa kau tidak mau membantuku, Tuan?” tanya Roh cantik itu lagi.
“Karena aku tidak ingin membantu makhluk tidak nyata sepertimu,” jawab Esdras, lugas.
“Hey, Tuan … bisa, kah, kau tidak mengatakan hal yang menyakiti perasaanku?” Roh wanita itu mulai merasa kesal.
“Apa asap sepertimu memiliki perasaan?”
“Sebelum aku menjadi roh seperti ini, aku pun pernah menjadi manusia sepertimu, Tuan! Jangan mengejekku begitu,” sahutnya membela diri.
“Aku tidak sedang mengejek! Aku mengatakan fakta yang sesungguhnya!” timpal Esdras, seraya bangkit dari posisinya, dan berjalan pergi, meninggalkan taman.
“Kau benar-benar jahat, Tuan,” gumam makhluk tak kasat mata itu.
****