2. Amarah

1538 Words
Hari itu, Bisma pulang ke rumah tanpa firasat apa-apa. Pikirnya, rutinitas seperti biasa yang akan terjadi. Pulang ke rumah, bersih-bersih dan istirahat sebentar, makan malam, berinteraksi sebentar dengan anak-anaknya, lalu pergi tidur. Sementara interaksi bersama istrinya tak lebih dari mengobrol kecil di meja makan.  Kalau suasana hati sang istri sedang bagus, obrolan kecil itu akan berakhir biasa saja. Tapi sebaliknya, jika suasana hati Ayu sedang tidak bagus, maka hanya akan ada hening di antara mereka berdua yang berlanjut dengan cek-cok selepas makan malam, setelah anak-anak mereka masuk ke dalam kamar. Namun, ada yang berbeda sore ini ketika Bisma pulang. Tidak seperti biasanya, Ayu sudah menunggu kehadirannya di ruang tamu. Dari penampilan Ayu yang masih berpakaian rapi, Bisma menebak bahwa sang istri baru saja pulang dari suatu tempat. Bisma hendak menyunggingkan senyum pada Ayu, namun ia urung melakukannya begitu menyadari betapa dinginnya tatapan Ayu yang tertuju padanya. "Malam ini anak-anak nginep di rumah Mama." Ayu berujar sebelum Bisma bahkan sempat menyapanya. Kedua lengan Ayu terlipat di depan d**a dan Bisma merasa jika Ayu saat ini menatapnya seolah Bisma baru saja melakukan sebuah kesalahan yang fatal. "Oke." Bisma mengangguk, mencoba tetap biasa saja meski sejujurnya, perasaan Bisma berubah tidak enak sekarang. "Aku masuk dulu." Sebelum Bisma benar-benar beranjak dari hadapan Ayu, langkahnya sudah terlebih dahulu terhenti oleh tawa sarkastis istrinya itu. Membuat Bisma kembali menoleh pada sang istri. Ayu tersenyum miring pada suaminya. "Kamu nggak mau tanya aku habis dari mana?" Bisma tidak langsung menjawab. Ayu memiringkan kepala menatap Bisma, senyum sinis masih terukir di bibirnya. Membuat Bisma semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Seketika, perasaan Bisma jadi tidak enak. Namun, ia tetap bertanya, "Kamu habis dari mana?" "Oh, aku habis dari Surabaya, Mas." "Surabaya?" "Iya, Surabaya. Tadi aku flight pagi kesana, terus ini baru pulang. Makanya anak-anak aku titipin ke rumah Mama hari ini." Ayu menjelaskan dengan nada riang yang dibuat-buat. "Kamu nggak mau nanya aku ngapain ke Surabaya?" Kali ini Bisma tidak mampu berkata apa-apa, sebab hanya ada satu hal yang terbersit di pikirannya sekarang begitu Ayu menyebutkan Surabaya. Dan apa yang ada di pikirannya itu sukses membuat jantung Bisma jadi berpacu lebih cepat. Ia hanya bisa berharap jika tebakannya salah dan apapun itu urusan Ayu di Surabaya, sama sekali tidak berhubungan dengan tebakannya. "Aku ke rumah sakit Paramartha yang ada di Surabaya buat nemuin seseorang yang namanya Shannon Gracia Paramartha."  Sayangnya, harapan Bisma tidak terkabul sama sekali. Usai mengatakan itu, sikap riang yang dibuat-buat oleh Ayu sebelumnya sudah sepenuhnya lenyap, digantikan oleh ekspresi dingin itu lagi. Bisma hanya mampu mematung di tempatnya berdiri. Ia tidak tahu harus berbuat apa karena saat ini, rasanya seperti sebuah mimpi. Mimpi buruk. Meski sebetulnya Bisma tahu bahwa ada kemungkinan mimpi buruk ini terjadi, tetap saja ia tidak siap dan tidak akan pernah siap untuk menghadapinya. Menghadapi mimpi buruk yang sebetulnya kenyataan, tentang Ayu yang mengetahui keberadaan Shannon Gracia Paramartha alias Shasha, perempuan yang sudah diam-diam berhubungan dengannya beberapa bulan belakangan. Ayu meraih tasnya yang ada di atas meja, lantas ia mengambil sesuatu dari dalam sana. Dan apa yang diambil oleh Ayu itu dilemparkannya ke atas meja, membuat Bisma bisa melihatnya dengan sangat jelas, lembaran foto-foto yang berisikan dirinya sendiri bersama Shasha. Mudah bagi Bisma untuk menyadari bahwa semua foto itu berasal dari memori ponselnya. "Aku udah tau semuanya, Mas." Bisma sungguh tidak berani lagi menatap pada istrinya sekarang. Tidak tahu harus berkata apa, bahkan maaf sekali pun. Sebab Bisma tahu, maaf saja tidak akan cukup. Dirinya hanya mampu menghembuskan napas berat dan bertanya dengan suara yang nyaris tidak terdengar, "Sejak kapan?" "Satu bulan yang lalu." "Ayu..." "You're disgusting, Mas." Lagi-lagi Bisma tidak mampu menjawab, namun ia juga sama sekali tidak menyangkal. Dirinya memang menjijikkan. "Tapi Mas tenang aja, aku nggak akan minta cerai, walaupun yang udah Mas lakukan sebenarnya nggak bisa dimaafkan lagi." Ayu berdiri mendekati Bisma dan mendongak untuk menatapnya lekat dan penuh intimidasi. "Karena apa, Mas? Aku nggak akan ngebiarin kalian berdua bahagia." Ayu kembali tersenyum. Sangat tenang. Dan Bisma tahu sekali, puncak tertinggi dari amarah Ayu adalah ketika perempuan itu tidak menunjukkan amarahnya, dan justru bersikap tenang seperti ini. Namun, di balik ketenangan itu pasti ada sesuatu yang telah disiapkannya untuk membalas. *** Sebelumnya Bisma sudah membayangkan beberapa kemungkinan jika sampai Ayu mengetahui hubungannya dengan Shasha. Dari semua kemungkinan-kemungkinan yang telah dibyangkan olehnya, ia selalu beranggapan jika Ayu akan mengamuknya. Marah, berteriak, atau bahkan menangis histeris. Nyatanya, Ayu justru kelewat santai dan tidak membuktikan bayangan Bisma sama sekali. Bahkan setelah memberitahu Bisma bahwa dirinya telah tahu tentang perselingkuhan yang selama ini telah dilakukan Bisma, Ayu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Ayu masih bersikap seperti biasanya dan hal itu justru membuat Bisma was-was sekaligus digerogoti rasa bersalah.  Bisma pun jadi tidak memiliki keberanian untuk menghubungi Shasha hari itu dan sengaja menonaktifkan ponsel hingga keesokan harinya. Berbeda dengan Ayu yang masih bisa tidur nyenyak malam itu, Bisma sama sekali tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan banyak hal. Rasa bersalahnya terhadap Ayu, perasaan Ayu yang sesungguhnya terhadap perselingkuhan yang diketahuinya, kelanjutan rumah tangga mereka, hingga pikiran tentang Shasha pun turut muncul. Sungguh Bisma tahu kalau dirinya benar-benar b******k karena masih sempat memikirkan Shasha yang merupakan selingkuhannya di saat sang istri sudah mengetahui tentang perselingkuhan itu. Tetapi, Bisma sungguh tidak bisa tenang karena ia tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh Ayu pada Shasha ketika Ayu mendatanginya hingga ke Surabaya. Bisma baru tahu keesokan harinya begitu ia mengaktifkan ponsel dan menerima serentetan pesan serta panggilan tidak terjawab dari Shasha yang intinya mengatakan kalau semua orang di lingkungannya sudah tahu jika Shasha merupakan selingkuhan Bisma. Bahkan keluarga besar Shasha pun sudah mengetahuinya. Dan Ayu adalah pelaku yang menyebarkannya. Mengingat betapa terhormat keluarga besar Shasha membuat Bisma tahu sebesar apa masalah yang dihadapi Shasha sekarang karena perselingkuhan itu terbongkar. Pagi itu Bisma baru saja hendak menghubungi Shasha, tetapi Ayu sudah terlebih dahulu merebut ponselnya. "Mas, aku nggak mau kamu hubungin perempuan itu lagi." "Kamu nyebar berita tentang aku sama Shasha ke lingkungan dia, bahkan ke keluarga besar dia?" Bisma langsung menanyakan itu. "Iya." Ayu mengangguk santai. "Kenapa? Kamu nggak suka aku ngelakuin itu?" "Astaga...Ayu...kamu nggak seharusnya begitu. Kita bisa selesaikan ini di antara kita, tanpa perlu menyebar beritanya ke orang lain." Ayu tertawa sarkastik, kemudian menghempaskan ponsel Bisma ke lantai dengan keras hingga layar ponsel itu hancur. Bisma tidak benar-benar terkejut, bisa dibilang bahkan ia sudah menanti amukan Ayu yang seperti ini. "Bisa-bisanya kamu masih bela dia." "Aku nggak membela dia. Ini masalah reputasi. Nggak cuma reputasi dia, tapi juga reputasi aku." "Oh, kalau itu kamu nggak perlu khawatir. Identitas kamu aku tutupi. Aku juga nggak mau orang-orang tau kalau suami aku selingkuh, apalagi kalau sampai orangtua aku tau. Bisa-bisa mereka mencerca aku lagi tentang pilihanku menikahi kamu yang ternyata pilihan salah besar. Orangtuaku benar ternyata, kamu nggak lebih dari sampah yang menjijikkan." Kemarin, Bisma memang masih digerogoti oleh rasa bersalah hingga menatap Ayu pun ia merasa tidak sanggup. Tetapi, mendengar ejekan itu lagi keluar dari bibir istrinya, emosi Bisma perlahan muncul. Ejekan-ejekan itu, cara Ayu meremehkannya, sudah sangat seringkali ia dapatkan sejak mereka menikah. Dan itu merupakan salah satu alasan mengapa Bisma merasa sangat lelah dengan Ayu. "Seharusnya kamu bersyukur Mas karena aku nggak mau perpanjang masalah ini, mau pura-pura nggak terjadi apa-apa. So behave yourself. Jangan jadi nggak tau malu di saat kamu sendiri sudah melakukan kesalahan fatal. Bersyukur karena aku masih mau terima kamu di rumah ini, di saat seharusnya kamu udah nggak pantas lagi ada disini. Ngerti?" Bisma sungguh merasa diinjak-injak oleh Ayu. Harga dirinya sungguh terluka. Walaupun Bisma tahu betul kalau dirinya sangat bersalah telah berselingkuh, tetap saja hinaan sang istri menyakiti hatinya. Apa Ayu tidak sadar? "Kamu tau? Kamu yang jadi alasan kenapa aku selingkuh." "Sekarang kamu nyalahin aku?!" "Iya," jawab Bisma berani. "Karena selama ini kamu cuma anggap aku seperti sampah! Coba kamu pikir pakai logika, siapa yang bisa tahan punya pasangan yang selalu menganggap dia rendah?! Dan coba kamu ingat lagi, kapan terakhir kali kamu bersikap sebagai istri yang baik buat aku?! Kapan terakhir kamu melayani aku dengan baik?!" Ayu tidak menjawab dan hanya memandang Bisma penuh amarah. "Kamu nggak ingat, kan? Karena udah lama sekali sejak terakhir kamu memperlakukan aku selayaknya suami. Jadi, nggak seharusnya kamu nyalahin aku karena udah selingkuh. Ini bukan sepenuhnya salah aku, Ayu. You treat me like s**t while Shasha treat me like I am the most precious thing, like I am special." PLAK. Bisma sama sekali tidak berjengit ketika Ayu menamparnya. "f**k you..." umpat Ayu tepat di depan wajah Bisma. Bisma mengangguk. "I know." Ayu mulai menangis, tapi Bisma sudah terlampau lelah untuk merasa peduli. Bisma tahu dirinya salah, tapi ada kelegaan tersendiri yang dirasakannya karena sudah menyatakan semua yang selama ini ditahannya. Bisma melangkah menjauhi Ayu, berniat pergi dari rumah itu. Namun, sebelum dirinya benar-benar keluar, Ayu terlebih dahulu berbicara. "Kalau kamu pergi untuk menemui dia lagi, aku nggak akan biarin kamu ketemu anak-anak selamanya. Dan kamu tau kalau aku selalu serius sama ucapan aku kan, Mas? Aku bisa ngelakuin apapun untuk itu. Kedua tangan Bisma terkepal erat mendengarnya. "Dan aku juga bakal ngehancurin hidup perempuan itu lebih dari saat ini." Bisma menghentikan langkah dan tersadar bahwa dirinya tidak akan bisa melakukan apa-apa kecuali menuruti Ayu. Sebab Bisma tahu betul, Ayu memang mampu melakukan semua itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD