Mia tidak pernah sesenang itu sebelumnya. Ketika ia memotong daging merah yang sangat lembut itu ia tersenyum lebar. Ia bahkan sudah melupakan insiden foto pernikahan yang membuat Tristan bertanya-tanya sore tadi. Ia hanya ingin menikmati makan malamnya yang luar biasa.
"Ehm! Enak banget," ujar Mia seraya mengunyah potongan daging di piringnya. Ia menampakkan ekspresi yang menggemaskan hingga atensi Wira tertuju padanya. Bahkan Tristan mengangkat dagunya.
"Mami nggak pernah makan steak sebelumnya?" tanya Tristan. Ia meringis kemudian karena merasakan tendangan dari Wira di bawah meja. Ia pun mengusap tengkuk dengan canggung karena mendapatkan tatapan dari ayahnya yang bermakna teguran.
Mia menggeleng seraya terkekeh. "Nggak. Gue nggak pernah makan kayak gini. Ini makanan orang kaya. Mending buat jajan kuota internet daripada buat jajan daging."
Mia kembali memotong dagingnya dengan semangat, meskipun ia tak tahu bagaimana cara menggunakannya sendok, garpu dan pisau, ia tak ingin bersikap peduli malam ini. Ia hanya ingin menikmati lelehan lembut daging di mulutnya.
"Ehm! Enak banget, Bi Sulastri pinter masak deh." Mia mengunyah sembari memejamkan mata seolah sedang meresapi setiap rasa yang menyambangi lidahnya.
"Kamu bisa makan ini," ujar Wira seraya menyerahkan piringnya pada Mia. Ia sudah memotong-motong daging itu agar Mia tidak perlu repot-repot. "Aku udah kenyang."
"Beneran, Om?" tanya Mia antusias.
"Ehm, ngeliat kamu makan kayak gitu udah bikin kenyang," ujar Wira.
Mia melebarkan kedua matanya. Ia jadi merasa sedikit malu. Sembari menyentuh dadanya, ia berkata, "Aku malu-maluin ya?"
"Nggak. Bukan gitu," ujar Wira cepat. Ia tak ingin Mia tersinggung. "Makan aja."
"Makasih. Ini enak banget," kata Mia senang.
Wira tersenyum tipis, entah sudah berapa kali Mia berkata enak banget. Baginya Mia sungguh lucu. Indah juga bukan wanita yang terlahir kaya, tetapi Indah sudah belajar banyak untuk menjadi istrinya. Sedangkan Mia benar-benar polos dan melakukan apapun yang ia sukai. Wira meneguk minuman di gelasnya dengan perasaan tak keruan, baru saja ia membandingkan Indah dengan Mia?
Tristan yang mengamati gestur sang ayah dengan Mia hanya bisa tersenyum. Mau tak mau ia agak terkesan dengan aksi ayahnya. Ia juga terhibur karena ekspresi Mia yang lucu setiap kali makan. Ruang makan ini terasa lebih hangat daripada hari-hari sebelumnya. Bahkan Sulastri dan Sari yang mengintip dari dapur pun terharu. Rasanya keluarga Wira menjadi lebih berwarna sekarang.
***
Mia mungkin bukan gadis yang penurut, begitu pikir Wira. Karena malam ini hampir seperti dua malam sebelumnya. Mia tidak bisa tenang sebelum benar-benar tertidur. Dan malam ini ada hal yang membuat Wira sangat terkejut.
Wira baru saja membaringkan dirinya di sofa ruang kerja. Namun, seperti biasa ia mengecek apa yang dilakukan Mia lewat kamera cctv. Hal itu ia lakukan lantaran ada begitu banyak suara berisik di kamar. Wira membuka lebar matanya karena Mia terlihat sedang duduk di tepi ranjang, sepertinya Mia sedang menelepon seseorang lalu berbaring dan terdiam cukup lama.
"Nggak mungkin dia tidur begitu aja, 'kan?" gumam Wira. Benar saja, Mia tiba-tiba memiringkan badannya lalu meremas perut. "Apa dia sakit perut?"
Wira ingat, Mia sangat kekenyangan karena terlalu menyukai makan malamnya. Namun, ini sudah lewat dua jam sejak waktu makan malam, seharusnya makanan itu sudah dicerna bukan?
Wira terkesiap hingga ponselnya terjatuh ke dadanya saat tiba-tiba Mia mengetuk pintu ruangannya. Dengan cepat, ia pun menegakkan diri. Ia mematikan rekaman CCTV lalu membuka pintu.
"Ada apa?" tanya Wira pada Mia yang terlihat agak pucat.
"Aku sakit perut, Om." Mia menunduk dengan lengan di depan perutnya.
"Kamu mau ke rumah sakit?" Wira merangkul Mia panik. Anak ini benar-benar sakit rupanya. Apa gara-gara kebanyakan makan? Pikir Wira dalam hati. Ia pun membawa Mia kembali duduk di ranjang.
"Nggak, Om. Kayaknya aku masuk angin aja," kata Mia yang baru saja duduk di tepi ranjang lagi. "Tadi kan aku nongkrong di belakang sama Bi Sari. Agak dingin di luar."
"Kamu biasanya minum apa kalau sakit perut gini? Kamu nggak mau ke rumah sakit aja?" tanya Wira khawatir. Ia yang tak tahu apa-apa tentang Mia tak bisa menebak treatment apa yang cocok untuk Mia.
"Biasanya sih dikerik Mama. Aku minta tolong Bi Sari apa Bi Sulastri aja deh," kata Mia.
"Ya jangan. Masa kamu minta tolong orang lain sementara ada suami kamu di sini," ujar Wira. "Aku ambilkan air hangat dulu sama minyak angin."
"Eh? Tapi ...." Mia mengunci bibirnya saat Wira sudah meninggalkan kamar.
Mia mengerucutkan bibir, ia tentu saja merasa malu jika Wira yang akan mengerik punggungnya. Ia tak pernah membiarkan pria manapun melihat tubuhnya. Namun, pilihan apa yang ia punya? Perutnya benar-benar sakit. Jika ia meminta tolong Sari atau Sulastri tentu saja semua orang bisa meragukan pernikahannya. Ah, ini semua memusingkan.
"Kamu bisa minum ini," kata Wira seraya meletakkan satu gelas air putih hangat dan obat masuk angin sachet di atas nakas.
"Aku nggak suka obat." Mia mengambil air hangat dan meneguknya, tetapi ia hanya melirik obat yang dibawakan oleh Wira. "Dikerik aja deh biar lekas sembuh."
Wira mengusap tengkuknya. "Ya udah, pakai minyak kayu putih mau?"
Mia mengangguk. Ia membalik posisi duduknya menghadap sandaran ranjang. Dengan cepat ia menoleh pada Wira lalu berkata, "Awas kalau Om pegang-pegang atau liat-liat yang lain!"
"Nggak akan, tenang aja," kata Wira seraya duduk. "Buka baju kamu."
Mia memalingkan wajahnya. Jika perutnya tidak sesakit ini, mungkin ia akan menahannya saja alih-alih minta dikerik oleh sang suami. Namun, sekarang perutnya benar-benar parah. Dengan ragu, Mia pun membuka anak kancing baju tidurnya satu persatu.
"Rambutnya diikat," ujar Wira mengingatkan.
Mia menelan keras. Ia mengikat rambutnya tinggi-tinggi lalu menurunkan bajunya hingga Wira bisa menatap punggung mulusnya.
"Pelan-pelan aja, jangan pegang-pegang yang lain!"
Wira berdecak kesal. Ia juga tidak berniat untuk menyentuh tubuh Mia. Namun, tubuhnya tidak bisa berdusta. Melihat punggung putih tanpa noda di depannya membuat Wira harus meneguk saliva dengan gusar. Ia membuang napas panjang sebelum akhirnya mengoleskan minyak kayu putih di leher Mia.
"Ah! Sakit, Om," gerutu Mia. Gadis itu meliukkan tubuhnya ke kanan dan kiri bergantian seiring dengan Wira mengerik di lehernya. "Ah! Om! Bisa nggak sih pelan-pelan aja?"
"Ini juga udah pelan. Kamu diem aja," kata Wira sepenuh hati. Ia ingin ini semua segera berakhir, tetapi Mia benar-benar mempersulit. "Kalau kamu gerak-gerak gitu jadi susah."
"Aduh! Geli banget! Hati-hati dong, Om," gerutu Mia lagi.
"Makanya jangan banyak gerak. Ini juga udah pelan banget. Bentar aja, tahan dikit dong. Nanti juga enakan," kata Wira meyakinkan.
"Ehm, oke. Ah! Aduh, nah di situ enak banget, Om!"
"Benar, 'kan? Kalau dinikmati pasti enak, nggak sakit," ujar Wira. Ia menatap tali bra Mia yang mengganggu jalur kerikannya. "Ini dibuka aja."
"Ah, jangan. Aku malu," kata Mia gugup. Ia menoleh untuk mengintip ekspresi Wira saat mengerik punggungnya.
"Ya udah. Aku skip di situ," kata Wira yang menghindari tatapan Mia. Untung saja kamar ini sudah temaram lampunya, jadi Mia tak bisa menangkap gelagat gelisah di wajah Wira. "Gimana, udah enakan? Tinggal yang di bawah aja ini."
"Udah lumayan," jawab Mia dengan wajah memanas. Ia baru saja merasakan usapan lembut di punggungnya. Rupanya Wira sedang mengoleskan minyak kayu putih ke seluruh bagian punggungnya.
"Kamu minum itu, kalau bisa obatnya diminum juga. Itu enak kok. Nanti pasti cepet sembuh," kata Wira. Ia menurunkan kakinya dari atas ranjang ketika Mia mengenakan kembali baju tidurnya. Tentu saja, ia cepat-cepat memalingkan wajahnya dari Mia.
"Nggak enak, aku nggak suka." Mia yang masih merasa malu tak bisa menatap Wira, keduanya sama-sama gugup setelah aksi kerik punggung tadi.
"Ya udah. Terserah kamu. Kalau belum baikan kita ke rumah sakit aja. Aku mau tidur. Kamu bisa oles minyaknya ke perut kamu juga," kata Wira. Ia mengedikkan dagu ke atas nakas di mana botol minyak kayu putih tergeletak di sana.
"Siap, Om. Makasih."
Wira berdiri dan mengedarkan matanya. Ia tersadar, pintu kamar ini belum tertutup dengan rapat setelah ia masuk tadi. "Aku tutup dulu pintunya."
Wira mendekati pintu yang masih sedikit terbuka itu lalu menutupnya rapat-rapat. Ia tak tahu, bahwa sebelumnya Tristan baru saja melewati kamar tersebut dan sempat mendengar secuil obrolannya dengan Mia. Tentu saja, otak kecil Tristan sudah mengira bahwa ada adegan lain yang terjadi di dalam kamar sang ayah dengan istri barunya.