Mia meletakkan ponsel itu saat Wira keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk melilit tubuh bawahnya. Spontan, Mia memalingkan wajah dengan mata membelalak lebar. Ia tak pernah melihat pria lain selain ayahnya yang berpenampilan seperti itu. Dan tentu saja, ia agak malu karena sempat menatap badan kekar Wira.
Beruntung, Wira hanya lewat saja lalu menghilang di balik walk in closet miliknya yang besar.
Mia memilih untuk kembali duduk di atas ranjang. Ia masih gelisah karena pemandangan yang baru saja mampir di matanya. Oh! Jika ini sebuah film atau drama ia pasti akan berguling-guling di atas ranjang saat menontonnya. Namun, di kehidupan nyatanya justru ia begitu sangat gugup. Oh, ya ampun, matanya benar-benar sudah ternoda.
"Kamu ngapain?" tanya Wira yang melihat Mia seperti orang linglung.
"Oh, nggak! Nggak papa, Om. Itu ...." Mia berpikir keras agar ia kembali normal karena Wira bahkan sudah berpakaian lengkap. "Itu ada pesan masuk di ponsel Om. Dari Dila. Dila siapa, Om?"
Wira mendekati ponselnya lalu memeriksa pesan yang masuk. Ia tidak mengira Mia akan melihat isi ponselnya bahkan membaca pesan dari Dila. Namun, ia teringat, semalam saja Mia tanpa canggung menonton film dari laptopnya. Yah, Mia bahkan masuk ke rumah lamanya tanpa takut. Yah, mungkin saja Mia adalah gadis serampangan seperti itu.
"Dila hanya kenalan," jawab Wira seraya menghapus pesan dari Dila.
"Oh, kirain pacarnya Om," gumam Mia.
Kedua mata Wira melotot. "Pacar? Kamu pikir aku punya waktu untuk bermain-main dengan wanita?"
"Nggak tahu. Aku kan nggak tahu apa-apa tentang Om," gerutu Mia.
Wira mendengkus, benar juga. Ia dan Mia baru saja saling mengenal tanpa tahu banyak hal tentang satu sama lain. "Aku bukan pria seperti itu. Aku nggak sempat pacar-pacaran karena banyak pekerjaan, jadi kamu nggak usah mikir yang macam-macam."
Mia tak tahu kenapa Wira menjelaskan hal itu. Lagipula ia tidak peduli. Mungkin akan lebih baik jika Wira punya pacar lalu berselingkuh, lalu ia bisa bercerai secepatnya. Namun, jika itu benar ia akan menjadi janda yang tersisih. Ah, ia baru saja sehari menjadi nyonya rumah dan kini semua rasanya sangat kacau.
"Jadi, kenapa Dila itu mengajak Om makan siang bareng?" tanya Mia lagi. Ia juga tak tahu, kenapa ia bisa sepenasaran itu. Namun, ia menduga Dila bukan wanita sembarangan.
"Dila suka sama aku dan ingin jadi istri aku. Dia nggak tahu kita udah nikah jadi ... yah, kayak gitu." Wira duduk di sebelah Mia yang langsung beringsut menjauh. "Kamu udah bersih belum?"
"Hah?" tanya Mia kaget.
"Bukannya kamu sedang datang bulan? Udah selesai belum?"
"Oh, belum," jawab Mia takut-takut.
"Oke. Aku mau bicara sesuatu yang penting kalau begitu," kata Wira.
Mia meneguk saliva keras. Ia tak mau membicarakan hal penting itu. Ia tak mau tidur dengan Wira. Ia tak mau Wira menuntut haknya. Ia takut!
"Jangan begadang seperti semalam," kata Wira.
"Eh?" Mia terkesiap.
"Jangan berisik di kamar, jangan menonton film hingga larut malam dan kesiangan seperti pagi ini. Bagus kamu sedang datang bulan dan tidak perlu sholat subuh. Tapi, itu bisa menjadi sebuah kebiasaan yang nggak bagus. Kamu harus terbiasa bangun pagi dan rajin sholat jika ingin jadi orang sukses. Dan, tolong," ujar Wira dengan nada tegas, "jangan tertawa keras seperti semalam. Aku benar-benar terganggu."
Mia tertawa mendengar ucapan Wira yang cukup panjang. Ia mengira Wira akan meminta haknya sebagai seorang suami. Namun, rupanya Wira hanya mengingatkan agar lebih disiplin. Mia kemudian menutup mulut dan mengangguk. Ia membuat gestur oke dengan ujung ibu jari dan telunjuk yang menyatu. "Maaf. Harusnya semalam Om tegur aja aku kalau keganggu. Aku nggak tahu kalau suara aku nyampe ruangan itu."
"Kamu baru sehari di sini. Aku nggak mau kamu merasa tidak nyaman jika aku banyak menuntut," kata Wira. Ia melirik ponsel buluk Mia di atas nakas. "Kamu beneran mau beli ponsel besok saja?"
"Ya. Nanti aku ajak temen aku. Tenang aja, Om. Aku bisa ngurus diri sendiri," kata Mia meyakinkan.
"Oke. Berkabar saja jika kamu mau pergi dari rumah ini."
***
Keesokan harinya, Mia sudah janjian dengan Cindy. Ia sudah melihat-lihat beberapa merek ponsel baru dengan harga di bawah dua juta yang cukup lumayan. Ia tak tahu berapa uang yang ditransfer Wira, jadi ia memutuskan untuk mencari yang murah-murah saja.
Mia baru saja turun dari ojek online yang ia sewa. Ia berjumpa dengan Cindy yang sudah menunggunya di depan pusat perbelanjaan. Ia sudah beberapa hari tak bertemu Cindy sejak kelulusan, jadi rasanya sudah sangat kangen.
"Woy!" seru Mia pada Cindy. "Lama nggak, Cin?"
"Lumayan. Untung gue lagi betah nge-game, jadi nggak kerasa nungguin lo." Cindy mengantongi ponselnya lalu merangkul Mia. "Gimana kabar lo? Kayaknya baju baru nih?"
Mia terkesiap saat kedua mata Cindy memindai dirinya. Yah, jika dulu ia selalu berpakaian biasa kini ia mengenakan baju-baju bermerek yang dibelikan oleh Wira untuknya. Tentu saja itu membuat penampilannya sedikit berbeda dari biasanya.
"Bisa aja lo," ujar Mia tak enak. "Gue mau ke ATM dulu bentar. Mau liat uang gue ada berapa."
"Oke. Gue juga mau ambil, bareng aja," ujar Cindy.
"Sip!"
Dengan dirangkul oleh Cindy, Mia pun masuk ke dalam ruang ATM. Ia menatap Cindy yang sering menemaninya membeli sesuatu. Cindy juga yang menjadi partner COD-an kaos thrift kemarin. Jadi dalang dari pertemuan dirinya dengan Wira sesungguh adalah Cindy.
"Lo duluan, Mi. Gue belakangan aja," ujar Cindy.
"Siap." Mia memasukkan kartu atm-nya lalu menekan pin. Kedua matanya membeliak saat melihat nominal saldonya yang tak wajar.
"Wah! Banyak banget duit lo," ujar Cindy yang juga kaget. Biasanya Mia hanya akan memiliki saldo tak lebih dari satu juta. Namun, kini saldonya sudah hampir tiga puluh juta. "Duit dari mana lo?"
"Ini ...." Mia berpikir keras, ia tak mungkin mengatakan bahwa ia mendapatkan uang ini dari Wira, suaminya. "Ini duit jatah kuliah gue. Tapi gue mau ambil buat beli ponsel juga. Kan emang butuh."
"Wah keren. Udah prepare banget bokap lo. Padahal lo bilang mau kerja sambilan juga. Ternyata udah banyak aja tabungan pendidikan lo," komentar Cindy. Ia memeluk lengan Mia dengan riang. "Jadi lo mau ambil duit berapa? Beli ponsel kayak punya gue aja nih, lima jutaan. Masih sisa banyak duit lo."
"Ngawur lo, sayang banget lima juta buat beli ponsel," ujar Mia bingung. Ia tak mengira akan mendapatkan uang sebanyak ini dari Wira. Ia juga punya baju yang bagus-bagus dan bisa makan enak tanpa susah-susah memasak. Namun, rasanya aneh jika ia membelanjakan uang itu dengan bebas.
"Udah buruan, ambil duitnya," kata Cindy.
"Eh, iya. Gue traktir lo nanti," kata Mia.
"Asyik! Kita makan pizza ya, Mi!"
"Siap." Mia menekan nominal uang dua setengah juta, sepertinya cukup untuk ia membeli HP baru dan mentraktir Cindy. Dengan gugup ia memasukkan dua puluh lima lembar uang ratusan ribu itu ke dalam dompetnya.
"Cin, gue ke toilet dulu ya," pamit Mia.
"Oke, gue masih ada urusan transfer dan top up. Lo ke toilet aja. Gue agak lama kok."
Mia mengangguk. Ia segera berlari ke toilet, tetapi tidak ingin buang air. Ia justru segera menelepon Wira. Ia ingin mengonfirmasi jumlah uang yang ada di rekeningnya. Setelah menunggu beberapa menit panggilannya pun tersambung.
"Halo, Mia?" Wira menyapa di seberang.
"Ehm, iya, Om."
"Ada apa? Ada masalah di rumah? Bukannya kamu sedang belanja?" tanya Wira penasaran.
"Iya, Om. Tapi aku barusan ambil uang. Kok banyak banget ya," ujar Mia bingung. "Itu buat apa?"
"Ya buat kamu jajan," kata Wira di seberang.
"Itu banyak banget. Aku nggak butuh sebanyak itu, Om. Itu buat biaya kuliah aku ya?" tanya Mia.
"Nggak. Uang pendidikan kamu udah ada, tenang aja. Kamu bebas mau pakai buat apa uang di rekening kamu. Nanti tiap bulan aku transfer. Kalau kurang bilang aja," ujar Wira.
"Kenapa?" tanya Mia geregetan.
"Mia, kamu itu istri aku. Aku wajib ngasih kamu nafkah. Jadi nggak usah sungkan," kata Wira. "Ehm, udah ya. Aku masih ada kerjaan."
"Oke deh. Aku jalan dulu, Om," kata Mia.
"Ya, hati-hati."
Mia menatap layar ponselnya dengan perasaan aneh. Ia mendapatkan uang cuma-cuma dari Wira, suaminya. Ini adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mia tak tahu, apakah ini suatu keberuntungan atau sebaliknya. Mia agak takut, jika suatu hari ia justru akan kehilangan lebih banyak setelah semua kenikmatan ini.