"Apa? Istri Tuan Wira?" Sari dan Sulastri saling bertatapan kaget.
Wajah Mia spontan memerah mendengar ucapan Tristan. Mia sangat malu, apalagi kedua wanita di seberang konter itu memandanginya seolah tak percaya. Memang sih, agak tak wajar jika ia menjadi istri dari tuan rumah ini, pikir Mia dalam hati.
"Jadi ... Mia ... ini ...." Sulastri terbata-bata saat menunjuk Mia.
Tristan mengangguk pelan. "Benar. Dia nyonya rumah. Sebaiknya Bibi panggil yang bener sama Mami. Nanti kena tegur Papa."
Mia ingin lenyap sekarang juga! Ia menjadi nyonya rumah? Tidak! Ia selalu bermimpi menjadi orang kaya, tetapi tidak seperti ini. Mia langsung cemberut. Kenapa Tuhan menjawab doanya dengan cara seperti ini?
"Maaf, Nyonya," kata Sari lebih dulu. Ia tak mau dianggap tidak sopan pada istri tuannya. Namun, ia masih merasa agak ini pelik. "Kapan Nyonya menikah dengan Tuan Wira?"
Mia hanya mengerjap, ia agak malu membahasnya. Ia juga tidak terbiasa dipanggil nyonya seperti ini. Melihat Mia yang agak canggung, Tristan pun paham. "Kenapa bikin mi instan?"
"Oh iya, maaf, aku makan dulu deh. Keburu dingin," kata Mia.
"Biar saya bawakan," ujar Sulastri seraya mengambil alih piring Mia dari atas meja konter.
Mia agak terkesiap karena perlakuan Sulastri padanya. Apalagi saat Sari tiba-tiba membungkuk sedikit. "Nyonya mau minum apa? Biar saya ambilkan."
"Ehm, air aja," jawab Mia. Sari melebarkan kedua matanya. Menuntut agar ia diberi sebuah titah yang lebih signifikan. "Teh anget bisa?"
"Tentu saja, Nyonya," tukas Sari. "Tunggu sebentar, Nyonya duduk saja. Nanti saya bawakan."
"Oke." Mia menatap Sari yang buru-buru membuka lemari penyimpanan lalu membuatkan apa yang ia inginkan.
Mia membuang napas panjang. Ia dengan gugup menatap Tristan. "Duduk aja, Mi."
Mia mengangguk. Bersama Tristan akhirnya ia duduk berdua di meja makan. Mia mengaduk mi gorengnya yang hampir dingin. Tadinya ia ingin menikmati mi goreng itu sendirian sambil menonton film atau drama, tetapi ada Tristan di sini, bahkan ada dua asisten rumah tangga yang tampak penasaran dengannya.
"Maaf ya, Nyonya," ujar Sulastri. "Harusnya saya siapin sarapan untuk Nyonya. Ini mah udah kesiangan. Kami baru sampai satu jam yang lalu. Maaf."
Mia mengangguk tak enak. Ia tak terbiasa dilayani dan dihormati seperti ini. "Nggak papa, Bi. Saya emang lagi pengen mi goreng aja kok. Saya juga kesiangan."
Kedua mata Tristan membola mendengar Mia mengucapkan kata kesiangan. Apakah malam pertama Mia dan ayahnya sangat panjang?
"Ini teh angetnya, Nyonya. Silakan diminum." Sari meletakkan gelas di depan piring Mia. "Nyonya kapan sampai di sini. Kami berdua cuti seminggu jadi nggak tahu kalau Tuan Wira udah nikah."
Mia baru saja hendak menyuapkan sesendok mi goreng. Namun, ia menurunkannya lagi lalu menoleh pada Sari dan Sulastri yang berdiri tak jauh dari kursinya. "Baru kemarin, Bi. Baru banget."
Kedua orang itu membulatkan bibir mereka dengan canggung lalu kembali saling tatap. Melihat hal itu Mia hanya bisa nyengir kaku.
"Jadi, gimana ceritanya kamu akhirnya nikah sama papa aku? Mau cerita nggak?" tanya Tristan.
Mia menoleh, ia ingin sekali berkata bahwa pernikahan ini hanyalah kecelakaan, tetapi ia ingat pesan dari Wira yang tak mau putranya terluka. Memangnya segitu bahagia kah Tristan karana ayahnya menikah lagi?
"Ehm, aku tinggal di deket rumah lama Om Wira," kata Mia mengikuti apa yang sudah dikatakan oleh Wira sebelumnya.
"Oh, terus?" tanya Tristan lagi.
"Ya udah. Om Wira udah kenal sama tetangga-tetangga aku di perumahan," kata Mia. Ia ingin menyendok lagi, tetapi Tristan masih mengamatinya dengan penasaran. Sungguh sarapan yang tidak nyaman!
"Wah, jadi orang tua Nyonya rumahnya eket dengan rumah lama? Sebelah mana? Apa saya kenal juga ya?" tanya Sulastri yang sudah bekerja lebih lama dari Sari. Ia sudah bekerja sebelum Wira menikah dengan Indah dan pindah ke rumah ini.
"Iya, Bi. Rumah papa aku nggak begitu jauh dari rumah kosong Om Wira. Kami pendatang sih, Bi. Baru 8 tahunan," jawab Mia dengan nada jengkel. Kenangan di rumah itu seketika terbayang. "Pokoknya gitu deh. Aku makan dulu boleh?"
"Boleh, boleh! Maaf, Nyonya," kata Sulastri tak enak. Ia saling sikut dengan Sari yang masih sangat penasaran bagaimana bisa tuannya menikah dengan gadis semuda Mia. Bahkan Mia lebih cocok jika menjadi pacar Tristan.
"Lo nggak makan, Tan?" tanya Mia ketika dua asisten rumah tangga itu berlalu ke dapur.
"Nggak, gue ... ehm, aku udah makan di rumah Yoga, Mi."
Mia mencebik. Ia selalu ingin punya momen bicara berdua dengan Tristan ketika bersekolah dulu. Namun, rasanya dulu sangat sulit karena Tristan adalah murid populer sedangkan ia hanya murid yang biasa-biasa saja. Kini, ia memiliki banyak kesempatan untuk bicara berdua saja dengan Tristan, tetapi kenapa harus dalam situasi seperti ini?
"Bisa nggak lo ngomongnya biasa aja sama gue? Kita kan temenan. Satu angkatan pula. Cuma beda kelas doang," gerutu Mia dengan mulut penuh.
"Nggak bisa. Gimanapun, kamu kan ibu tiri aku," kata Tristan geli. "Aku nggak mau kena omel Papa. Kamu tahu sendiri dari semalam aku udah kena tegur Papa. Kalau ngomong biasa mulu ntar jadi kebiasaan. Aku juga belum terbiasa ngomong gini sama kamu, Mi. Tapi lama-lama pasti bisa kok."
Mia semakin cemberut. "Lo seneng ya bokap lo nikah lagi?"
"Ehm, ya seneng. Dari dulu aku udah nyuruh Papa buat nikah lagi. Akhirnya! Kaget sih aku liat kamu bisa nikah sama Papa. Makanya aku tanya-tanya sama kamu gimana kamu bisa nikah sama Papa. Aku penasaran kamu kok bisa meluluhkan hati beku papa aku," kata Tristan sambil tersenyum miring.
Tristan bukannya tak tahu bahwa Wira masih sangat mencintai ibunya. Foto-foto ibunya tidak pernah diturunkan dari gantungan dinding. Bahkan di kamar Wira, masih banyak foto ibunya. Wira juga selalu datang ke makam ibunya setiap memiliki kesempatan. Tentu saja ia sangat kaget ketika Wira membawa seorang istri ke rumah.
"Kamu serius udah nikah sama Papa aku, 'kan? Ini bukan pura-pura?" tanya Tristan tiba-tiba. Kedua matanya terpaku pada cincin di jari manis Mia. Itu agak membuktikan, tetapi ia tergelitik untuk melihat sesuatu yang lebih meyakinkan.
"Kenapa? Lo nggak percaya?" tanya Mia terkesiap.
"Ya, masalahnya aku nggak ngira kamu bisa nikah sama papa aku. Kamu beneran nikah KUA, 'kan? Bukan nikah kontrak-kontrak kayak di film?" tanya Tristan penuh tanya.
"Gue nikah di rumah gue. Kemarin abis lulusan itu. Lo inget, gue dijemput Mama kemarin kan. Nah, itu pulang-pulang gue nikahan sama papa lo," ujar Mia dengan nada santai.
Kedua mata Tristan membola. Ia menatap Mia yang masih menikmati sarapan terlambatnya. Jadi seperti itu? "Kamu terpaksa nikah sama papa aku?"
"Menurut lo?"
Kini Tristan tak bisa berkata-kata. Ia semakin tak tahu bagaimana kisah Mia dengan ayahnya dimulai. Kalau Mia dinikahkan secara paksa, itu artinya tak ada cinta di antara mereka. Namun, bagaimana jika ayahnya justru mencintai Mia? Akankah Mia bisa membalas cinta ayahnya? Ah, ini memusingkan. Ia hanya tak ingin ayahnya terluka karena wanita.
"Aku harap kamu bisa mencintai papa aku. Papa aku baik banget. Kamu nggak bakal nyesel jadi istri papa aku," kata Tristan sungguh-sungguh.
Mia mencebik. Untung saja ia sudah kenyang, jadi ia tak ingin marah-marah pada Tristan yang tak tahu apa-apa. "Kayaknya gitu, enak juga punya suami tajir kayak bokap lo. Belum apa-apa, gue udah jadi Nyonya di rumah ini. Gue nggak pernah diperlakukan kayak gini di rumah." Mia menyesap teh hangatnya dengan penuh kepuasan. "Nyonya Mia! Sekarang gue beneran jadi seorang nyonya, 'kan?"
"Tentu aja," jawab Tristan ragu-ragu. Ia yang tak tahu latar belakang Mia hanya bisa menduga, Mia mungkin berasal dari keluarga biasa saja. "Tapi, kalau kamu sampai menyakiti hati papa aku atau kamu berusaha memanfaatkan kebaikan Papa, aku bakal kasih kamu perhitungan, Mi. Ingat itu, paham?"
Mia merasakan tatapan serius Tristan padanya. Mungkin, menjadi Nyonya Mia tidak seberuntung yang ia bayangkan barusan. Masih ada banyak tantangan jika ia mau menikmati pernikahan dan statusnya.
Ah, Mia tak tahu, menjadi nyonya rumah ini adalah mimpi buruk bagi Indah, ibu kandung Tristan sekaligus istri pertama Wira. Dan Mia, agaknya tidak memiliki persiapan untuk menghadapi mimpi buruk itu.