"Lo udah dijemput. Gue mau pulang dulu," ujar Tristan.
"Eh, tunggu! Gue belum selesai ngomong," kata Mia lemah. Namun, Tristan sudah menjauh darinya. Sedangkan Suci sudah berdiri di sebelahnya. "Mama kok tumben jemput aku sih?" tanya Mia dengan wajah cemberut. "Aku bisa pulang sendiri."
"Kamu ini ngeyel! Siapa yang nyuruh kamu ikut-ikutan kayak gini? Kamu nggak dengerin pesen Mama!" hardik Suci seraya menatap pakaian seragam abu-abu putih Mia yang kini telah berwarna-warni tak keruan. "Udah, ayo pulang!"
"Iya, tapi nggak usah pakai otot ngomongnya," kata Mia seraya masuk ke mobil ibunya. Ia masih cemberut karena gagal menyatakan perasaannya pada Tristan. Ia juga diomeli oleh Suci begitu mereka bertemu. Ia sangat malu dilihat oleh teman-temannya.
"Bisa nggak sih kamu itu dengerin Mama?" Suci yang baru saja masuk mobil kembali memarahi mia. Sebuah cubitan kecil mendarat di lengan atas Mia hingga gadis itu meringis. "Bukannya Mama udah bilang itu seragam balik dalam keadaan bersih, kenapa ikut-ikutan teman kamu?"
Mia mendengkus saat mendengar omelan dari Suci. Dengan kesal ia mengusap lengannya yang memanas. Ia hanya bisa mengumpat dalam hati karena tak ingin ibu tirinya lebih marah lagi.
"Kenapa diem? Kalau Mama nggak jemput, pasti kamu ikutan pawai di jalan kan? Mau bikin gaduh di jalan mentang-mentang udah lulus SMA!"
"Nggak, Ma. Aku udah mau pulang kok tadi, cuma mau ngobrol bentar sama temen aku," kata Mia menyangkal. Padahal dalam hati ia memang berencana untuk ikut teman-teman berkendara bebas dengan motor. Ia ingin merayakan kelulusannya hari ini. Namun, jelas itu semua gagal karena ia justru sudah dijemput oleh Suci.
"Mama tahu kamu punya niat kayak gitu, makanya Mama sengaja jemput." Suci melirik wajah Mia lalu menggeleng dengan jengkel. "Itu muka bisa nggak dibersihkan dikit?" Suci mengambil tisu basah dari laci dashboard dan meletakkannya di pangkuan Mia. "Jangan belepotan. Bersihin sekarang juga! Pakai bedak dikit biar seger."
"Kita kan cuma mau pulang, ngapain dandan lagi," gerutu Mia.
"Paling nggak kamu pulang dalam keadaan sedikit rapi, Mia," kata Suci masih dengan nada jengkel.
"Oke!" Mia menarik beberapa lembar tisu lalu mengusapkan mereka ke wajahnya. Mia menatap cermin. Ia berusaha keras membersihkan warna cat semprot di wajahnya. Sesekali ia melirik Suci karena tak mau kena omelan lagi.
"Nah, gitu kan cantik," kata Suci setelah Mia hampir menghabiskan perjalanan pulang mereka dengan mengusap wajah dan memoleskan bedak. "Pakai lipstik juga."
"Nggak ada. Adanya lip gloss."
"Iya, itu aja. Daripada pucet," kata Suci seraya merapikan rambut Mia. "Ini disisir juga."
"Mama kenapa sih?" tanya Mia yang risih dengan aksi ibunya.
"Nggak papa," jawab Suci. Ia bernapas lega ketika melihat Mia sudah jauh lebih rapi ketimbang sebelumnya. "Kamu udah ditunggu sama Wira di rumah. Wira akan menikahi kamu siang ini juga."
"Apa?" tanya Mia kaget. Ia membelalak dengan mulut terbuka sempurna.
"Nggak usah kaget begitu. Bukannya kalian udah menandai surat kesepakatan di depan Pak Sultan. Kamu udah lulus dan ... yah, kalian harus menikah atau gosip tentang hari itu semakin menjamur," kata Suci menjelaskan.
"Tapi, Ma! Aku nggak mau nikah! Sekarang? Aku mau kabur aja," kata Mia seraya membuka pintu mobil. Namun, sialnya pintu itu telah dikunci oleh Suci. "Mama, plis. Jangan gini dong aku nggak mau nikah sama Om Wira!"
"Terus kamu mau apa? Bikin Mama sama Papa malu? Ini juga karena kelakuan kamu sendiri. Sekarang masuk, temui calon suami kamu dan kita langsungkan akadnya!" perintah Suci.
"Tapi ... gimana bisa Mama nikahin aku sama Om Wira?" tanya Mia dengan wajah basah. Bedaknya yang baru saja ia poleskan ke wajah langsung luntur. "Kenapa Mama tega? Apa karena aku cuma anak tiri Mama makanya Mama mau nikahin aku sama Om Wira? Coba aja kalau ini Selvi! Apa Mama mau nikahin Selvi sama Om Wira?"
"Mia!" hardik Suci keras. "Kamu lupa, udah 10 tahun lebih Mama ngerawat kamu. Kamu sendiri yang minta Mama buat nikah sama Papa kamu sendiri dulu. Bertahun-tahun yang lalu! Kenapa kamu masih nggak yakin sama kasih sayang Mama ke kamu?"
Mia terisak pelan. Ia masih menangis tersedu-sedu saat mengusap wajahnya. "Maaf, Ma."
"Jangan nangis," ujar Suci. "Percuma kamu pakai bedak kalau kayak gitu! Sekarang kita turun. Calon suami kamu pasti udah siap di dalem. Makanya cepet, kamu perlu dandan dikit nanti biar kelihatan lebih pantes."
Mia terisak semakin keras saat dari luar mobil, Suci membuka pintu untuknya. Ia tak mau didandani, ia tak mau ganti baju, ia hanya mau kabur. Namun, kedua kakinya justru lemas. Apalagi di dalam semua orang sudah menunggu. 'Apa-apaan ini?' Batin Mia menjerit.
Kedua mata Mia menatap sengit Wira yang kali ini berpakaian sangat rapi. Jika saja Wira berusia 10 tahun lebih muda daripada sekarang, mungkin saja Mia sudah terpesona. Wira terlihat begitu menawan dalam setelan jas. Namun, Mia sudah sangat jengkel dengan kejadian di rumah kosong itu. Ditambah, ia harus menikah seperti ini.
"Ayo masuk, jangan bengong di sini, kamu harus dandan dulu," kata Suci lagi.
"Aku nggak mau dandan," ujar Mia. Ia menepis tangan ibunya lalu mendekati Wira dan duduk di sebelahnya. "Kayak gini aja. Aku mau nikah kayak gini!"
"Mia," tegur Rehan. "Bagaimana bisa kamu menikah pakai seragam?"
"Bisa aja. Nggak ada ketentuan harus pakai kebaya, 'kan?" tanya Mia pada penghulu di seberang meja. Mia menatap sinis Wira, berharap Wira ikut-ikutan jengkel dengan ulahnya lalu menunda atau mungkin membatalkan niatnya menikahi gadis tengil seperti dirinya.
"Ya, nggak, Mbak," jawab sang penghulu. "Tapi ...."
"Biarin aja. Biar cepet selesai," potong Wira.
Mia sontak melotot. Ia berharap Wira akan menolaknya. Namun, Wira justru ingin mempercepat semuanya? Mia menatap ayahnya yang memberi anggukan, lalu ibunya yang terlihat masih kecewa. Tak jauh dari mereka duduk Selvi, adiknya yang masih TK. Mia mencebik, tak mengira hari ini ia akan menjadi seorang istri dari Wira.
Acara pun berlangsung dengan cepat karena Mia sudah ngotot tak mau didandani dulu. Mia bersumpah dalam hati, ia tak akan menerima pernikahan ini. Ia akan bertingkah menyebalkan di depan Wira agar ia bisa segera berpisah dengan pria yang tak ia cintai tersebut.
Mia menunduk dalam-dalam ketika semua orang menyerukan kata sah keras-keras. Ia agak kaget, berdebar dan ingin menangis lagi, tetapi ia juga ikut berdoa ketika semua orang membaca doa untuk pernikahannya dengan Wira.
Acara dilanjutkan dengan penyematan cincin pernikahan. Mia sangat gugup ketika Wira mengambil tangan kanannya lalu memasangkan sebuah cincin di sana. Mia mengerjap ketika kedua netra Wira terpaku padanya.
"Gantian," kata Wira membuat Mia terkesiap. Wira bisa melihat betapa gemetarnya gadis itu ketika mengambil satu cincin dan memasangnya di jari Wira.
Karena sudah kepalang malu dan gugup setengah mati, Mia mengalihkan tatapan pada ayahnya yang tampak terharu hingga ingin menangis. Di sebelah Rehan, Suci memberi kode pada Mia untuk mencium punggung tangan Wira. Mia menahan dengkusannya keluar, tetapi ia tetap melakukan apa yang diinginkan oleh ibunya. Dengan khidmat, ia mencium tangan Wira.
Mia tak sadar ketika tiba-tiba Wira juga memberinya kecupan singkat di kening. Entah apa yang dipikirkan pria yang kini sudah resmi menjadi suaminya tersebut, yang jelas, ia sangat kesal sekaligus malu. Namun, ia hanya bisa pasrah ketika ia juga harus berfoto dengan ayah dan ibunya bersama dengan Wira juga adiknya, Selvi.
"Selamat, Sayang. Sekarang kamu sudah menikah," kata Rehan dengan penuh kasih. Dengan lembut, ia mengusap rambut panjang Mia. "Mulai sekarang, kamu harus dengerin dan nurut sama suami kamu. Mengerti?"
"Papa," gumam Mia sedih.
"Papa kamu benar," lanjut Suci pada Mia. Ia menepuk bahu Mia dua kali. "Kamu harus bisa menghormati suami kamu. Jangan bertingkah seperti anak kecil lagi. Kamu seorang istri mulai hari ini."
Mia mencebik, ia ingin membenci Suci seandainya bisa. Karena tak ingin bertengkar dengan Suci di depan ayahnya, maka Mia mengangguk saja.
"Wira," kata Rehan pada menantunya yang menyimak sejak tadi. "Kamu jaga putri saya dengan baik ya. Mulai hari ini, Mia akan tinggal bersama dengan kamu."
"Apa?" tanya Mia membelalak. Ia menatap Wira seolah minta penjelasan. Namun, apa yang ia harapkan? Ia memang istri Wira sekarang. Dan tentu saja Wira berhak membawanya pulang. Mia menatap Suci, berharap ... Mia tak tahu lagi apa yang ia harapkan karena sepertinya semua orang tak ingin ia ada di rumah ini lagi.
"Ya, Mia harus ikut saya setelah bersiap-siap," kata Wira.
Kepala Mia semakin berputar keras. Mia sangat takut jika harus tinggal bersama pria asing yang baru dua kali ia temui itu.