Bab. 11. Pembacaan Surat Wasiat.

1420 Words
Setelah sarapan mereka akhirnya meninggalkan hotel karena sopir keluarga Bastian sudah menunggu. Keduanya akan ke rumah kedua orang tua Bastian. Rinjani sesekali tersenyum kala mengingat semua kenangan saat bersama lelaki yang dia cinta. "Kamu mau tinggal di rumah mertua atau lebih baik kita pisah rumah?" tanya Bastian saat di perjalanan puang ke rumah. Rinjani menoleh, "Aku akan ikut kemana pun engkau pergi." "Kalau begitu, kita pisah rumah dari orang tuaku saja ya? Aku ingin kita hidup mandiri, agar tidak selalu merepotkan mereka," ucap Bastian. Rinjani mengangguk, "Sebagai istri, aku akan mengikuti kemana suamiku pergi!" Bastian tersenyum, merangkul bahu istrinya dengan tatapan sulit diartikan. Setelah melakukan perjalanan sekitar dua puluh menit, keduanya sampai di rumah megah milik orang tua Bastian. Di mana Usman Prayoga dan Widia Larasati juga tinggal di sana. Makanya, Bastian sudah mengatur rencana, agar Rinjani mau ikut kemanapun dia pergi. Kalau satu rumah dengan para orang tua, akan sangat susah untuk melakukan rencananya. Untungnya, Rinjani mau diajak tinggal terpisah. Hal itu membuat Bastian merasa senang. Dia akan lebih leluasa tinggal sendiri, dibandingkan tinggal bersama keluarga yang lain. Pasangan baru itu mendapat sambutan yang meriah dari keluarga besar Bastian. Bahkan orang tua Rinjani pun ada di sana berkumpul diantara keluarga Usman Prayogo. "Selamat datang, dan selamat bergabung di rumah Nak!" Fira memeluk Rinjani dengan senyum tulus. Setelah beberapa detik, Rinjani bergantian menyapa semua anggota keluarga, begitupun Bastian yang ikut larut dalam meriahnya suasana rumah megah berlantai tiga itu. "Ayo duduk!" Widia Larasati memberi perintah kepada semua keluarga agar duduk dan berbincang. Usman Prayoga sebagai Kakek Bastian mulai bicara serius mengenai ahli waris perusahaan yang akan diberikan kepada cucunya. "Selamat datang Rinjani. Kamu sekarang bukan lagi sahabat, teman, atau orang lain bagi kami. Kamu sudah menjadi bagian keluarga juga istri sah cucuku." "Seperti yang aku janjikan, hari ini juga pengacara akan datang membawa dokumen untuk kamu tandatangani Bas! Nanti syarat apa saja kamu baca juga pahami sendiri. "Aku tidak mau pernikahan kalian dibuat permainan. Mau bagaimanapun masa lalumu, kakek harap kamu mulai serius dengan pilihan hidup yang sudah kau jalani sekarang." Semua tak ada yang berani menyela, Bastian pun hanya menganggguk sebagai jawaban karena dia tak mau semua rencananya gagal. Entah bagaimana nanti, yang jelas kekuasaan itu harus di tangan dulu. Tak lama, pengacara datang, lelaki paruh baya yang mendapat mandat dari Usman Prayogo itu mulai dipersilakan duduk. Kemudian dia mengeluarkan dokumen lalu diberikan kepada Usman. "Tuan Usman, ini dokumen yang Anda inginkan. Silakan cek dulu! Kalau ada yang tidak sesuai nanti akan saya rubah," ucap Pak pengacara. Usman memasang kaca mata sebelum dia mengambil alih dokumen dari tangan pengacara. Beberapa detik berlalu, kakek Bastian selesai membaca dan memberikan anggukan kepada pengacaranya. "Ini bacakan di hadapan semua orang. Aku segaja mengumpulkan keluarga, agar saat aku tiada nanti tidak ada yang namanya saling iri, dengki mengenai bagian harta." "Aku hanya punya dua anak satu laki dan lainnya wanita. Masing-masing sudah aku berikan modal untuk membangun perusahaan. Bahkan cucuku pun semua akan mendapat hasil yang sama." Usman menatap satu per satu ke arah anggota keluarga. Bahkan ketiga cucunya pun ada di sana. Pengacara itu mulai membacakan apa saja yang menjadi wasiat atau keputusan dari Usman Prayoga. Pengacara mulai membacakan isi dari surat wasiat Usman. Bahwa Bastian Darel Pratama akan mendapatkan kuasa penuh menjadi CEO perusahaan yang dulu dipimpin Kakeknya. Bahkan, Bastian juga masih mendapatkan beberapa aset lain seperti pulau, restoran dan hotel. Sedangkan cucu dari anak perempuan Usman akan mendapatkan bagian lain, seperti hotel, beberapa toko dan restoran. Namun mereka tidak punya hak dalam perusahaan yang kini dipimpin Bastian. Kakek Bastian juga menuliskan kalau Rinjani mendapat bagian saham sebesar 20% dan dua butik yang belum lama dibuka oleh lelaki yang rambutnya sudah putih semua itu. Semua terbengong dengan ekspresi yang berbeda. Meski ada rasa tak puas dengan keputusan Usman, namun mereka tak ada yang berani bicara langsung kepada lelaki tua itu. Karena apa yang diucapkan Usman, sudah menjadi keputusan final yang tak bisa diganggu gugat. "Silakan bicara dan berdebat di sini! Aku yakin kalian merasa tak puas dengan semua keputusanku bukan?" Usman menatap dengan tatapan serius. David menghembuskan nafas panjang, dia merasa tak enak kepada adiknya. Sehingga lelaki itu mulai bertaya kepada ayahnya. "Ayah, apakah semua ini sudah ayah pikirkan dengan matang?" Usman menatap aneh kepada putra sulungnya. "Kenapa, David?" "Aku rasa Meli hanya mendapatkan sedikit bagian saja, Yah?" tanya David. "Sedikit dari mana? Dua hotel itu sudah terlihat setiap bulannya menghasilkan berapa. Lagi pula sebelum aku membagi hartaku, kalian semua sudah bisa membeli ini dan itu." "Aku tidak ingin kalian saling iri ya? Apapun yang menjadi keputusanku sudah final. Aku sudah cukup memberi waktu untuk anak lelaki Meli, agar dia belajar banyak hal mengenai bisnis. Nyatanya apa? Dia tidak becus mengelola saru restoran." "Dia hanya menghamburkan uang bersenang-bersenang tanpa melihat masa depan. Jadi, kalau aku memilih Bastian, dia sudah melewati banyak hal untuk aku pantaskan sebagai pewaris perusahaan." Usman Prayoga mejelaskan semua hal yang menjadi ketakutan Papanya Bastian. Nyatanya Meli pun hanya diam tak berkutik karena semua yang diucapkan Ayahnya adalah kebenaran. "Meli ...?" Usman memanggil nama anak perempuannya. Wanita itu mengangkat pandangannya, "Iya, Ayah?" "Apa yang aku katakan apakah ada yang salah?" tanya Usman dengan tatapan mengintimidasi. "Tidak, Yah. Aku mengakui kalau putraku bersalah. Aku dan suamiku juga sudah tahu kalau Bastian lebih layak untuk memimpin peruahaan. Kami tidak akan iri atau dengki, karena kami juga sudah punya perusahaan sendiri yang sudah berjalan sangat baik," jawab Meli. Suami Meli pun mengangguk sebagai tanda kebenaran atas ucapan istrinya. "Semua yang Ayah berikan sudah cukup untuk kami bertahan hidup, Yah!" Suami Meli ikut menyuarakan pendapatnya. Rinjani yang masih ragu dengan pendengarannya, lantas ikut bersuara. Karena bagaimanapun, sebagai keluarga baru, dia juga harus tahu kebenaran yang tertulis di surat wasiat itu. "Kakek, apakah aku beleh bertanya?" Pertanyaan Rinjani membuat semua mata tertuju pada wanita cantik itu. Usman yang msndapatkan pertanyaan akhirnya mengangguk. "Bicaralah, Nak! Ada apa?" "Aku hanya tak mengerti, kenapa namaku tercantum di surat wasiat itu?" tanya Rinjani menatap takut ke arah kakek suaminya. "Iya, aku baru memasukkannya beberapa hari yang lalu. Aku tahu kamu enggak butuh semua ini bukan? Selain kamu sudah sukses dengan karir yang kamu punya. Kamu juga secara otomtis pewaris utama perusahaan orang tuamu." "Tapi karena kamu menjadi istri Bastian, kamu tentu berhak atas apa yang aku punya. Kelak, kalau kamu melahirkan pewaris laki-laki, semua juga akan dimiliki oleh putramu," jawab Usman dengan nada bicara santai namun serius. "Tapi, Kek? Apakah aku mampu mengurus semua itu? Sedangkan aku juga punya butik sendiri?" tanya Rinjani kepada lelaki tua yang punya wibawa tinggi itu. "Aku yakin kamu bisa, Jani! Kamu wanita pekerja keras. Kamu mampu untuk mengurus semuanya, jangan khawatir, akan ada orang keprcayaanku yang akan membantumu," jawab Usman Prayoga. 'Kenapa Kakek terlalu percaya kepada Rinjani? Aku saja masih ragu dengan semua kepolosan wajahnya. Bagaimanapun, dia penyebab Alesya meninggal!' Bastian merasa aneh dengan keputusan kakeknya. Tepat saat makan siang tiba, semua obrolan terhenti. Rumah megah itu ramai dengan anggota keluarga yang jarang bertemu. * "Kamu bisa memakai separuh lemariku. Kamu bisa kan mengaturnya sendiri?" Rinjani yang menatap ke sekeliling kamar suaminya langsung menoleh saat mendapat mandat dari Bastian. "Iya. Aku akan menatanya sekarang. Tapi, Bas? Bukankah kamu bilang tidak mau menetap di sini?" tanya Rinjani dengan tatapan ragu ke arah lelaki tampan yang sudah menjadi suaminya. "Iya, hanya sementara saja, sampai kita pulang honeymoon," jawab Bastian. "Aku akan ke ruang kerja Ayah dulu ya! Kamu istirahat saja!" pamit Bastian kepada Rinjani. Wanita itu hanya mengangguk sambil menatap siluet suaminya yang hilang dibalik pintu kamarnya. Pandangan Rinjani kembali terarah ke seluruh sudut kamar Bastian. Tak ada satu pun gambar Alesya yang tertinggal. Sepertinya, lelaki tampan itu sudah mengubah segalanya, sebelum pernikahan tiba. Senyum tipis terukir di bibir Rinjani. Sedikit lega karena Bastian memberikan ruang baru untuknya. "Aku masih akan terus menganggapmu sebagai sahabat, Alesya. Tapi aku juga tidak rela jika, Bastian terus larut dalam kenangan bersamamu. Karena sejak kemarin, aku yang akan selalu menemani sepanjang sisa umurnya." "Bukan aku egois, tetapi aku hanya tidak ingin rasaku dibagi lagi. Aku sudah cukup sabar menanti saat ini tiba. Dan aku akan menjaga cinta ini sampai aku tutup usia. Kamu hanya akan menjadi kenangan meski kata orang sulit dilupakan. Sedangkan aku masa depannya, meski dia belum mencintaiku, aku akan berusaha bersabar hingga rasa itu datang." Rinjani masih takut kalau Bastian hanya memanfaatkannya saja. Karena lelaki itu mulai bersikap aneh meski tak terlihat dengan jelas. Hanya saja, sebagai wanita, ada rasa yang tak bisa dijelaskan mengenai pikiran negatif tentang Bastian. "Semoga apa yang aku pikirkan salah, Bas!" Rinjani hanya bisa bergumam sendiri mengenai keraguan hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD