Chapter 4

1320 Words
Pada akhirnya mereka tetap pergi ke mall. Setelah Romi berhasil menenangkan tangisan Lexie. Romi bermain permainan dance, Lexie bermain tangkap boneka dan Samantha bermain tembak sasaran. Sementara mereka bermain, empat orang suruhan Lexus diam-diam mengawasi. Memastikan Romi tidak macam-macam tentu saja, sungguh alasan konyol untuk hitungan bodyguard profesional. Hanya Samantha yang menyadari keberadaan mereka, sementara kedua remaja laki-laki lainnya tengah berada di dunia mereka sendiri. Mereka berjalan berdampingan, menghampiri Samantha yang berada di area berbeda. "Makan yuk, Kak Sam!" seru Romi, berteriak dengan semangatnya hingga melebihi kerasnya kebisingan area bermain itu. Samantha mengangguk, meninggalkan senapan mainannya dan berjalan mengikuti mereka sambil memainkan ponsel-nya. Menghubungi Lexus, memastikan laki-laki berlabel Master-nya itu dalam keadaan baik-baik saja. Walaupun Lexie sudah tenang, tapi ia belum. Bersikap santai sambil bermain bukan berarti tidak merasa khawatir. Nyatanya sedari tadi, pikiran Samantha sibuk memikirkan Lexus yang masih belum mengaktifkan ponsel-nya. Satu-satunya solusi mengenai keberadaan Lexus, hanya ada pada ponsel Lexie dan tidak mungkin baginya untuk meminta Lexie memeriksa. Takutnya tindakan tersebut hanya akan membuat si uke kembali menangis ketakutan. Langkahnya terhenti, menabrak punggung Romi yang mendadak berhenti berjalan. "Kenapa berhenti?" tanya Samantha seraya menyimpan ponsel-nya kembali. "Lu sih, bengong aja dari tadi. Gue tanya mau makan apa?" balas Romi. "Iya, dari tadi kami berbicara dengan Kak Sam, malah dibaikan," disambung oleh Lexie dengan kompaknya. "Maaf, ada yang sedang kupikirkan. Aku ikut saja, kalian mau makan apa?" Samantha tersenyum tipis, menyembunyikan perasaannya dengan rapi. "Shabu-shabu!!" seru mereka kompakan, kemudian saling tatap dan berakhir menundukkan wajah malu-malu. Lucu sekali, pikir Samantha. Merasa heran kenapa Lexus tidak bisa melihat kepolosan Romi yang amat tulus. Sambil tertawa, Samantha mengambil tangan mereka berdua. Membawa mereka seperti membawa dua orang anak TK, memasuki sebuah restoran yang menyediakan shabu-shabu. "Baiklah. Setelah ini kita mau ke mana?" tanya Samantha, setelah mereka selesai memesan, sambil menunggu makanan mereka di antarkan. "Bioskop." "Pulang." Sekali lagi mereka menjawab dengan serempak, tapi kali ini jawaban yang berbeda. Seperti sebuah ritual, wajah keduanya kembali bersemu merah. "Pulang aja!" "Kita ke bioskop saja." Untuk ke sekian kalinya, mereka meralat serempak, mengulang ritual malu-malu kucing itu. Sungguh pemandangan yang manis bagi Samantha. Ia tertawa sambil bertanya kembali. "Jadi pulang atau ke bioskop?" "Pulang!" jawab Romi, lebih cepat dari Lexie kali ini. Sengaja memilih pulang karena ia bisa melihat kecemasan dari bola mata cokelat menghipnotis milik Lexie. "Tapi bukannya Romi mau nonton?" Lexie bingung. Ia mendongakkan kepala, menatap Romi dalam-dalam. Tatapan maut! Kyuung~ Lagi-lagi Romi terpesona. "Aku mendadak gak mau nonton lagi," jawabnya gugup. Lexie yang sadar akan niat Romi tersenyum, merasa bahagia. Sampai-sampai mereka tidak menyadari pesanan yang telah bertata rapi di atas meja. Tak ada yang mulai makan, mereka malah saling lirik malu-malu, melontarkan pujian saling berbalas tanpa berani bersentuhan seujung kuku pun. Samantha hanya geleng-geleng kepala melihat interaksi amat lambat itu, sambil memasukkan berbagai potongan daging dan sayur ke dalam pot yang airnya telah mendidih. Ia merasa seperti mengasuh anak-anak, daripada mengawasi sepasang remaja yang sedang berpacaran. Walau ia masih tidak yakin apakan sepasang pria gay di hadapannya ini, benar-benar telah berpacaran atau belum. "Kalian pacaran?" tanya Samantha, menarik kembali mereka ke alam nyata. "Eh?" saut Lexie. Kemudian laki-laki manis itu melirik ke sebelahnya, menunggu jawaban Romi. Sedangkan Romi mengerjap, memainkan segelas soda miliknya dengan kikuk. "Maunya gue sih pacaran, tapi kayaknya Abang belum izinkan deh. Tesnya emang biasa gitu ya? Lama gitu baru diizinkan?" Tes? Ya ampun ... rupanya Romi mengira sikap penuh aura busuk yang Lexus tebarkan itu, hanyalah sebuah bentuk tes sebelum ia berpacaran dengan Lexie. Sungguh pemikiran yang positif. Padahal nyatanya Lexus tidak berniat mengetes. Berusaha untuk mengenal pun tidak sudi. "Tes? Lexus tidak sedang mengetesmu, Romi," balas Samantha. Wanita cantik itu mengernyit menatap penuh tanya ke pemuda di hadapannya, sementara tangannya masih bergerak otomatis menyajikan makan yang telah matang ke piring adik kesayangan. Romi bingung lagi. Kepala bergerak ke kiri dan kanan secara teratur. "Masa? Gue yakin kok kalau sebenarnya Abang itu hanya cemasin Lexie aja, gak rela Lexie pacaran dengan cowok sembarangan. Makanya Bang Lexus suka marah-marah kayak ayah galak. Tenang aja, Kak Sam! Gue sabar kok menunggu pintu hati Abang mengeluarkan surat izin berpacaran buat kita. Ehehe." Samantha terperangah, kehilangan kata-kata menghadapi wajah cengengesan riang Romi. Ia mengerti, menyerah untuk menyadarkan Romi. Membiarkan Romi saja yang akan menyadarkan Lexus nantinya. Lagi pula anak itu sebenarnya tidak bodoh-bodoh amat. Lain lagi dengan Lexie yang sudah menangis haru mendengar pernyataan Romi. Padahal dianya sendiri tidak berpikir sepositif itu terhadap abangnya sendiri. Bukannya ia curigaan, hanya saja memang kenyataannya Lexus seperti itu. Posesif melebihi taraf seorang suami pencemburu. *** Setibanya di rumah utama, Lexie langsung berlari menghampiri Mikael. Meninggalkan Romi bersama dengan Samantha di depan pintu. "Daddy, Abang sudah pulang?" tanya Lexie. Mikael membalas dengan siulan yang dibuat-buat. "Um, entah. Daddy gak tahu! Mending kita bikin kue bareng-bareng aja yuk!" Berusaha mengalihkan pembicaraan, tapi sikap mencurigakan itu membuat Lexie semakin cemas. Sekali lagi ia bertanya, "Daddy jangan bohong! Daddy itu paling payah kalau disuruh berbohong. Memangnya Abang ke mana? Vivi juga tidak kelihatan sama sekali." Atau lebih tepatnya mendesak Mikael. Terkadang ada saatnya, Lexie bisa bersikap tegas. Terlebih ketika orang-orang di sekitarnya bersikap mencurigakan. Mikael semakin gugup, matanya bergerak ke sana kemari mencari pengalih perhatian. Ia pun tersenyum lebar saat menemukan seorang pemuda berwajah kebingungan. Tanpa menunggu lagi, Mikael langsung menghampiri Romi, menyapa dengan riangnya. Berharap agar Lexie melupakan pertanyaannya tadi. "Eh ada tamu. Siapa namanya, Dek?" tanya Mikael ramah. Romi mendadak kikuk. "Romi, Om. Temannya Lexie." Hilang nyali di depan camer. "Hm ... yakin cuma teman? Lexie gak pernah bawa teman cowok ke rumah lho!" Ditambah lagi dengan godaan Mikael, Romi semakin gugup sampai-sampai melarikan diri ke balik punggung Lexie. "Maunya sih jadi pacar. Kalau Om bolehin," sambungnya lagi dengan wajah merona. Diikuti oleh Lexie yang juga merona, menundukkan kepala dengan imutnya. Mikael langsung lega, terbebas dari pertanyaan interogasi mengenai letak keberadaan Lexus dan Vivi. "Boleh kok! Boleh, duh Romi lucu deh! Jadi senang lihat anak polos begini. Saking absurdnya anak-anak di rumah ini. Ugh. Baper, kan jadinya," balas Mikael agak terharu. Terbawa perasaan, akibat membesarkan anak-anak tidak normal. Ya, kecuali princess kecilnya sih, soalnya ia sangat yakin kalau Vivi itu normal. "Lexie tidak absrud kok, Daddy! Kalau Abang sih memang agak aneh," bantah Lexie, agak ngambek mendengar penuturan pria berstatus paman yang dia panggil dengan sebutan Daddy itu. Mikael membalas dengan memutar matanya malas. "Hm ... jadi, hobi bikin cokelat beracun bentuk imut itu gak absrud?" Keceplosan membongkar rahasia terdalam Lexie yang bahkan tidak diketahui oleh Lexus. Mata besar Lexie semakin membesar, terkejut kalau kegiatan diam-diam itu ketahuan. Dipelototinya Mikael dalam-dalam, membuat pria imut alay itu menjerit keceplosan rahasia Lexie yang lainnya. "Tadi itu Daddy salah bicara! Pokoknya Daddy gak tahu soal hobi kamu yang itu, juga gak tahu soal kamu yang suka otak-atik laptop semua orang di rumah ini. Yang tahu cuma Vian, ayah kamu tuh suka kepo! Selidiki kalian semua. Pokoknya Daddy gak tahu apa-apa! Udah ah, Daddy ke salon dulu. Dadah!" Kemudian melarikan diri, seolah-olah tidak mengumbar rahasia Lexie dan suaminya di depan mereka. Hening. Setelah 5 menit .... "Hiks ... Lexie tidak punya maksud buruk kok, membuat cokelat itu cuma buat iseng." Lexie langsung menangis, menatap memohon pada Romi dan Samantha yang shock mendengar ocehan si uke alay yang telah lenyap itu. "Gak apa-apa!! Biar beracun asalkan buatan Lexie, aku mau makan kok!!" seru Romi, setelah kesadarannya kembali. Berusaha membujuk laki-laki manis yang ia taksir. Agak seram juga memang, tapi kalau sudah cinta mau diapakan lagi, pikir Romi. "Nanti Lexie masakan bekal buat Romi, tapi tidak beracun kok. Janji ya, Romi mau makan?" Lexie menggeleng, berucap sambil mengusap air matanya. "Iya!! Iya!! Janji!" Romi cengar-cengir dengan polosnya, berlanjut dengan mengulurkan jari kelingkingnya untuk janji itu. Mereka kemudian tertawa bersama, lalu malu-malu anak kucing lagi. Saling melirik-lirik manja, berasa dunia milik berdua. Sementara Samantha telah menghilang dari sana, pergi mencari keberadaan Lexus. Berpura-pura tidak mendengar kata-kata Mikael sama sekali. Lexie tetap seorang uke lemah tidak berdaya yang harus tetap ia jaga.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD