Meskipun Dian berkata seperti itu, tetap saja dirinya merasa keberatan kalau anak dan menantunya tinggal di luar tanpa sepengelihatan dirinya. Lagi pula apa salahnya jika ia hanya menginginkan cucu dari anaknya sendiri?
Tapi berbeda dengan Bhiya, apapun alasannya keputusannya tetap bulat, karena mentalnya lebih penting dari apapun, lagipula jika sudah di rumahny sendiri, Bhiya tidak perlu merasa khawatir kalau mertuanya itu akan mengomel atau bagaimana, karena ia sudah berada di rumahnya sendiri.
Lagipula suaminya juga sudah setuju, jadi apa lagi yang ia pikirkan?
“Bhiya makanlah,” titah Marvel yang melihat istrinya kurang nafsu makan.
“Iya mas, makasih,” jawab Bhiya sambil memaksakan senyumannya pada Marvel.
Mau tidak mau Bhiya harus makan agar tidak terlihat badmood. Seenak apapun rasa makanan yang ia makan, tetap saja semua terasa hambar ketika mertuanya selalu membahas kehamilan.
Lagipula siapa si orang yang tidak mau hamil? Jika saja Bhiya bisa berbicara dengan Tuhan secara langsung, mungkin ia sudah memintanya dari dulu.
“Memangnya kamu mau pindah ke mana?” tanya Veni sambil menikmati makanannya.
“Tidak jauh dari sini kok, jadi kalau ada apa-apa masih bisa mampir kemari,” jawab Bhiya yang lagi-lagi memakasakan senyumannya agar tidak terlihat badmood.
“Apa maksudnya dengan kalau ada apa-apa?” ucap Dian menyindir.
“Tidak bu maksud Bhiya ....” belum sempat Bhiya berbicara namun suaminya sudah memengang tangannya duluan.
“Maksud Bhiya kalau mama butuh bantuan atau apapun itu, jadi Bhiya mudah untuk datang kemari karena kita ngambil rumahnya gak jauh-jauh kok,” jelas Marvel.
Dian langsung menghela napas karena kesal. Marvel tau hal ini akan terjadi, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan permintaan istrinya, terlebih lagi pekerjannnya masih banyak sekali, jadi ia tidak mau membiarkan Bhiya merasa tertekan di rumahnya.
Setelah selesai makan, Dian langsung pergi begitu saja, dirinya masih merasa kesal dengan keputusan anak dan menantunya itu.
Seperti biasa, Veni dan Bhiya langsung merapihkan tempat makant tersebut, sementara Marvel dan Mario masih berdiam di kursi meja makan. Sepertinya ada hal penting yang harus dibicarakan.
“Kamu yakin mau pindah dari sini? Kasian lo mama nanti kesepian,” ucap Mario.
“Itu udah kemauan Bhiya, lagipula benar kata Bhiya, jika kita terus ada di sini, kita gak akan bisa mandiri nantinya,” jelas Marvel lagi.
“Mandiri itu bukan berarti kamu harus hidup sendiri,” ucap Mario.
“Sudahlah, kamu tidak perlu memikirkan masalahku dengan Bhiya, mau bagaimanapun kita sama-sama memiliki privasi yang gak bisa dibuka begitu saja di depan orang lain termasuk keluarga,” timpal Marvel lagi.
Di dapur semua perempuan kecuali Dian langsung bersih-bersih dan merapihkan semua piring dan gelas kotor yang tadi mereak pakai.
“Mbak yakin mau pindah, memangnya kenapa kalau tinggal di sini?” tanya Veni sambil menaruh piring-piring yang sudah dilap kering olehnya.
“Iya Veni, maafin mbak ya, tapi keputusan mbak sudah bulat,” ucap Bhiya sambil memegang tangan Veni.
“Tapi kenapa? Apa karena mama minta cucu terus dari mbak?” tanya Veni yang langsung membuat Bhiya terdiam sambil menundukkan kepalanya.
Jika saja bukan karena hal tersebut, Bhiya pasti masih kuat untuk menahan semua ucapan mama mertuanya. Tapi masalah kehamilan, hal tersebut bukanlah hal yang bisa dijadikan begitu saja. Dan lagi mungkin saja kondisi Veni lebih baik dibandingkan kondisi Bhiya saat ini.
Setelah selesai mencuci piring, Marvel langsung meminta Bhiya untuk bersiap-siap, karena meskipun Marvel menggambil cuti hari ini, dirinya tetap saja tidak bisa meninggalkan sepenuhnya.
Bhiya langsung bersiap-siap untuk melihat rumah yang mau mereka tinggali. Betapa senangnya Bhiya karena akhrinya keinginannya untuk memiliki rumah sendiri kini telah terlaksana.
“Yu ...” ucap Bhiya yang sudah siap. Semangatnya benar-benar sangat berbeda sekali dari biasanya.
Marvel sendiri sebenarnya masih merasa ragu apakah ia benar-benar akan pindah dari rumah mamanya itu? Tapi karena melihat Bhiya yang bersemangat, jadi Marvel memutuskan untuk melihat keadaan rumahnya terlebih dahulu.
“Kita hanya melihat rumah saja, kan?” tanya Marvel.
Lagi-lagi Marvel menanyakan hal tersebut, Bhiya yang tadinya bersemangat, kembali menjadi tidak bersemagat lagi karena ucapan Marvel.
“Iya,” jawab Bhiya sambil masuk ke dalam mobil.
Sudahlah yang terpenting aku bisa pindah dari sini, sisanya nanti biar aku yang ngurus! Batin Bhiya yang berusaha menguatkan dirinya.
Di jalan Marvel tidak berkata apapun, dirinya hanya fokus pada jalanan yang ia lalui.
Memang tidak memutuhkan waktu lama untuk sampai di rumah yang akan mereka beli ini. Secepatnya Marvel langsung meminta seseorang untuk membukakan pintu rumah tersebut agar dapat dilihat dengan jelas.
Sang kontraktor rumah tersebut langsung menjelaskan keadaan rumah yang nantinya akan di beli oleh Marvel.
Yang namanya suatu hal pasti ada plus dan juga ada minusnya. Begitupula dengan rumah ini yang akan di beli Marvel, kontraktor tersebut menjelaskan kalau di rumahnya tersebut tidaklah kedap suara, karena rumah tersebut tipe rumah yang terbuka agar cahaya matahari bisa masuk ke dalamnya.
Setelah dijelaskan semuanya, akhirnya Marvel mendiskusikan kembali bersama Bhiya, apakah dirinya benar-benar mau menerima kondisi rumah yang seperti sekarang ini.
“Bagaimana, kamu suka atau mau cari yang lain lagi?” tanya marvel.
Sebenarnya kedap suara adalah salah satu unsur penting yang harus ada di rumah, karena takutnya Bhiya menganggu orang-orang disekitar Bhiya nantinya.
“Kita ambil saja,” jawab Bhiya.
Kalau harus mencari di tempat lain, pasti itu akan membutuhkan waktu lagi untuk mencarinya, lagipula Bhiya masih bisa melakukan aktivitas tanpa mengeluarkan suara yang keras.
“Baiklah kalau seperti itu,” ucap Marvel.
Karena Bhiya sudah mau, Marvel langsung membeli rumah tersebut dengan cara cash tanpa cicilan. Siapa yang tidak mau uang sebanyak itu, kontraktor tersebut langsung mengurus surat-surat kepemilikan rumah.
Keduanya akhirnya di bawa ke kantor pemasaran untuk mengurus semua surat-suratnya. Selagi menunggu, Bhiya terus saja menanatap kesekeliling, rumah-rumah di daerah yang ia pilih memang sangat resik sekali, tak satupun Bhiya menemukan sampah yang berceceran, selain itu ada sebuah sungai kecil yang airnya terbilang jernih.
Sementara itu Marvel sedaritadi terus memeriksa handphonenya, itulah dirinya, meskipun cuti tapi ia tetap mementingkan pekerjaannya.
“Mas, liat deh ... di depan sana orang itu punya aquarium, nanti kita juga beli ya,” ucap Bhiya yang lagi-lagi tidak ditanggapi oleh Marvel yang sibuk memeriksa handphonenya.
“Mas,” ucap Bhiya sambil menutupi layar handphone suaminya itu. “Kamu ini lagi cuti loh, kenapa si gak bisa sebentar aja lepas dari handphonenya dan menikmati suasana di luar,” ucap Bhiya.
“Ini penting Bhiya,” jawab Marvel.
Bhiya langsung menghela napas kesal. “Iya begitulah kamu mas,” ucap Bhiya lagi dengan nada kesal.
Mendengar perkataan Bhiya, Marvel langsung menegurnya dengan cara mengedipkan matanya. Bhiya yang mengerti hal tersebut langsung diam dan memilih untuk melihat ikan-ikan yang ada di kolam luar kantor pemasaran.