***
Seperti janjiku, malamnya aku melanjutkan obrolan dengan mama lagi. Aku yang menelponnya. Kami banyak bertukar cerita. Tetapi tak sekalipun mama menyebut nama Badu. Mulutku sudah gatal untuk bertanya namun selalu ku urungkan. Sampai obrolan itu usai, aku berhasil menahan diri untuk tak sedikitpun mengungkit tentang Badu Admaja.
Keesokan harinya, aku kembali dengan rutinitasku yang baru. Menyibukan diri dengan berbagai macam sketsa hingga tercipta lukisan yang mengagumkan.
Sehari menjadi dua hari. Ku akui sejak aku menerima tawaran yang Rain dan Sam berikan dan menyelesaikan lukisan itu, aku semakin mampu membuat lukisanku bernyawa.
Aku tidak percaya semenyenangkan ini menciptakan lukisan yang memiliki nilai seni. Jika dulu aku selalu puas dengan wajah-wajah Badu di atas kanvasku, kini aku mampu mengembangkan bakatku dengan melukis hal lainnya.
Betapa aku bersyukur saat ini. Perlahan, aku bisa mengisi waktuku dengan sesuatu yang jauh lebih bermanfaat dari hanya sekedar menguntit ke mana Badu pergi. Semakin menyenangkan ketika aku melukis dengan hati yang mulai lapang. Tak hanya memikirkan dia lagi dan lagi. Terlebih ketika ada Galen dan Raina di sisiku.
Hari ini aku sedang mempersiapkan peralatan melukis saat Rain tiba-tiba saja meneriakan namaku. "Zera!" begitu katanya.
"Ada apa, Rain?" tanyaku penasaran melihat raut wajahnya yang tampak ceria.
"Klien suka lukisan kamu!" ujarnya kesenangan. Aku sampai membola mendengarnya. "Serius?" masih merasa tak percaya, aku bertanya pada Rain. "Kamu nggak bohong, kan?" kemudian yang ku dapati selanjutnya adalah anggukan kepala Raina.
Seketika ruangan yang tadinya senyap dipenuhi tawa bahagia kami berdua. "Demi apa Rain?" aku tertawa sambil bertanya. Raina mengangguk mantap, "Ini serius, Zera. Lukisan kamu dipuji-puji sama klien saat Sam mengantarnya," ucap Raina terlihat begitu antusias.
"Percayalah, hidupmu akan benar-benar berubah setelah ini. Bisa saja dalam waktu dekat kamu jadi terkenal," Rain terkekeh.
Syukurlah, aku bahagia bukan karena ada kemungkinan akan terkenal. Tetapi aku bersyukur bahwa hasil lukisanku mampu memuaskan klien sedemikian rupa. Itu berarti perlahan tapi pasti, lukisanku mulai memiliki nilai seni.
"Aku mau kabarin Galen," ucapku semangat. Rain mengerlingkan matanya, "Cieeee," godanya. Entah sejak kapan Rain menyadari perasaan Galen untukku. Tetapi aku tidak berhak bahagia atas itu. Kenapa? Karena hatiku masih saja mencintai Badu.
Aku belum bisa melupakannya. Tetapi itu wajar, mengingat baru sebulan aku di tempat ini. Aku masih membutuhkan waktu untuk benar-benar melupakannya.
Baiklah, tinggalkan dulu perihal Badu. Aku harus memberi kabar pada Galen tentang berita yang menurutku sangat baik ini. Tetapi baru saja aku ingin mendial nomornya, si Galen sudah ada di sini.
"Halo gadis-gadis, apa yang kalian lakukan di sini?" suara tanyanya terdengar di telingaku dan juga Rain.
"Nah ini orangnya," bibir Rain terlihat mencebik.
Aku terkekeh. Dalam sekejap Galen sudah berada tepat di depanku. "Ada apa?" tanyanya penasaran.
Aku dan Rain saling melirik. "Zera dapat pujian yang luar biasa dari klien kami!" teriak Rain yang menurutku sangat berlebihan. Tetapi aku bahagia memiliki sahabat sepertinya.
Pupil mata Galen membesar. "Wah," katanya yang diikuti tepukan tangan. "Sudah ku duga. Kamu benar-benar hebat, Alea," pujinya. Aku tersipu, ku layangkan kata terima kasih padanya. Tetapi itu tidak cukup bagi Galen karena lelaki itu memintaku untuk masuk ke dalam pelukannya.
"Aku juga punya kabar baik untuk kalian," ucap Galen kemudian, setelah ia melapas pelukannya.
"Apa?" tanya Rain.
Galen mengeluarkan dua lembar kertas dari saku celananya.
"Undangan?" tanya Rain yang dalam sekejap menarik paksa lembaran itu dari tangan Galen. Membuatnya berdecak sebal. "Awas sobek!" ujarnya.
Rain mengabaikan. Perempuan itu membuka kertas undangan itu dengan cepat. "Astaga! Ini dari master?" tanya Raina. Anggukan kepala Galen membuatnya meloncat bahagia. "Akhirnya bisa ketemu lagi sama Master," ucapnya penuh syukur.
Aku yang tahu siapa master yang mereka sebut ikut mengembangkan senyumku. Master ini adalah guru Rain dan Galen selama mereka berada di sini. Namun keduanya tidak bisa bertemu lagi dengan master sejak setahun yang lalu. Entah apa yang menjadi alasan master menghilang begitu saja dari perannya dalam dunia lukis ini.
"Apa aku boleh ikut?" tanyaku menghentikan kegiatan Rain yang sedang kesenangan.
Galen menoleh dengan cepat. "Tentu saja cantik, kita pergi berdua karena Raina akan pergi bersama Samuel," kerlingan mata Galen dibalas delikan oleh Raina.
"Apa-apaan itu?" sebal si nona hujan.
Aku hanya terkekeh menertawakan kedua sahabat baruku. Ah menyenangkan sekali berada di tengah-tengah mereka. Aku bisa menjadi diriku sendiri di tempat ini.
"Ngomong-ngomong undangan apa itu?" tanyaku yang belum jelas mengenai undangan itu.
"Apa lagi kalau bukan pameran lukisan. Master memang penuh kejutan," terang Galen.
Aku mengangguk. "Kapan?" tanyaku lagi.
"Tiga hari lagi," kini Raina yang baru saja menjawab.
"Kalau gitu kita harus beli baju baru!" ujarnya kemudian.
Lagi-lagi aku hanya mengangguk saja. Membayangkan belanja bersama Raina sepertinya menyenangkan.
"Aku juga punya kabar bagus yang lainnya," ucap Galen menghentikan lamunanku tentang betapa menyenangkannya pergi bersama Rain nantinya. Lelaki itu terlihat bergantian memandang kami berdua. "Apa?" tanyaku.
Galen hanya diam sambil menahan senyumnya.
Sementara Raina terpekik senang. "Astaga! Jangan bilang kita juga bisa melakukan pameran?" tanyanya.
Anggukan kepala Galen menjawab rasa penasaranku. Aku menutup mulutku tak percaya. Demi apa kami bisa melakukan pameran yang waktu itu Galen tawarkan padaku.
"Enam bulan lagi?" tanyaku dengan rasa penasaran yang semakin tinggi. Galen lagi-lagi mengangguk. "Astaga!" pekikku kesenangan. Tanpa sadar aku berlari menerjang Galen. Masuk ke dalam dekapannya yang hangat. Lelaki itu tertawa dengan bahagia. Dia membalas dekapanku dengan erat.
"Hmm aku jadi penonton yang nggak dibayar," cibir Raina sambil bersedekap melihat aku dan Galen berpelukan.
Secepat kilat aku melepas pelukan itu. Sedikit salah tingkah, apa lagi ketika Galen mengacak rambutku dengan gemas.
"Yuhuuu belum resmi pacaran aja udah mesra. Apa lagi kalau sudah resmi," lagi-lagi Raina menyindir kami berdua. Entah kenapa pipiku semakin memerah saja.
Galen juga seperti salah tingkah. Ia terlihat mengelus lehernya beberapa kali. "Kalian berdua harus menciptakan karya seni yang menarik. Aku nggak mau tahu!" ujarnya mengalihkan pembicaraan.
Raina ingin mengatakan sesuatu namun Galen mendelikan matanya. "Ettt diam kamu, Nona Hujan," katanya.
"Iya iya Mr. G," balas Raina yang juga memanggil Galen dengan inisialnya. Ck. Aku jadi tertawa melihat keduanya.
"Pokoknya tugas kalian hanya menciptakan lukisan yang memiliki nilai seni yang tinggi, ahh jangan lupa ciptakan lukisan yang bernyawa. Urusan lain-lain aku yang akan mengurusnya," ucap Galen.
"Serius?" tanya Rain.
"Tentu." jawab Galen dengan pasti. Lagi-lagi Rain berteriak senang. "Aku janji ciptain karya seni yang menggugah rasa siapa saja yang melihatnya," ucap perempuan itu dengan sungguh-sungguh.
Galen menjentikan jarinya. "Aku nggak pernah ragu tentang janjimu, Raina. Dan kamu Alea, aku tunggu karya terbaikmu," ucapnya. Aku mengangguk mantap. Semakin sibuk dengan tanggung jawab sebesar ini, semakin aku melupakan Badu Admaja. Ya, semoga saja. Meskipun namanya masih saja terlibat pada setiap apapun yang aku lakukan.
"Sekarang izinkan kami berburu gaun yang indah dulu, tuan G," ucap Raina yang langsung diangguki oleh Galen.
"Tapi gimana sama rencanaku yang mau melukis?" aku menunjuj kanvas dan beberapa cat yang sudah ku siapkan untuk melukis pagi ini.
Raina melambaikan tangannya. "Refreshing dulu cantik. Lagi pula kamu belum pernah jalan-jalan sejak sampai di sini," ucapnya tak ingin dibantah. Alhasil aku hanya bisa mengangguk saja. Benar kata Rain, aku memang belum pernah pergi ke mana-mana. Rasanya ini akan menjadi momen yang tepat untuk bersenang-senang.
"Ayo berangkat!" ujarku.
Kami benar-benar bersenang-senang. Setiap toko atau butik kami datangi tanpa lelah. Aku baru tahu Raina adalah ratunya belanja. Perempuan itu tidak merasa lelah meski kami sudah mendatangi banyak toko pakaian.
Aku juga tak ingin kalah. Sekalipun aku tidak mengeluh dengan kegiatan kami ini. Sampai akhirnya kami mendapatkan gaun yang kami inginkan.
"Cantik, Ze. Ambil yang ini juga," ucap Raina memberi komentar pada beberapa potong gaun yang aku pilih. Demi apa aku juga suka gaun-gaun ini. Tak terlalu terbuka namun tetap bisa membuat dirimu mempesona. Ini memang jauh berbeda dengan selera Anastasya Ruby. Ohh astaga! Sempat-sempatnya aku mengingat perempuan itu lagi.
Dengan segera aku menatap Raina. "Serius?" tanyaku. Ternyata selera kami tak jauh berbeda. Aku juga selalu memberinya saran saat dia mengambil beberapa potong gaun yang dia suka.
Raina mengangguk, "Iya, ambil aja," katanya.
"Punya kamu juga cantik, Rain. Apa lagi yang merah. Cocok sama kamu," ucapku mengingat kulit Rain yang putih bersih.
"Iya, aku suka semuanya," balas Rain sambil memeluk gaun yang dia pilih.
Setelah itu kami pergi ke kasir untuk membayar. Raina sempat ingin membayar belanjaanku namun dengan tegas aku menolaknya. Mana mungkin aku membiarkan Rain membayar seluruh belanjaanku yang cukup banyak ini.
"Udah nggak apa-apa. Ini bukan punyaku, ini milik Galen," kikiknya.
Mataku membola. Sejak kapan Galen memberikan kartu itu pada Raina. Tetapi bukan berarti aku akan menerima tawaran Rain. "Nggak usah Rain. Aku bayar sendiri aja," ucapku tak ingin dibantah.
Rain menghela napasnya dengan pasrah. "Ternyata benar kata Galen. Kamu nggak akan mau dibayarin," ucapnya.
Usai dengan urusan itu, kami memilih untuk singgah di salah satu restoran sebentar. Kali ini aku tak enak hati menolak traktiran Rain yang menggunakan credit card milik Galen. Akhirnya makananku dibayar oleh kartu itu.
Tiga hari kemudian, kami mendatangi undangan itu. Benar apa yang Galen katakan, Rain menggandeng Sam bersamanya. Mereka tampak serasi pada hari ini. Rain mengenakan gaun merah, sementara Samuel dengan setelan hitamnya.
"Cantik," aku mengernyitkan dahi mendengar pujian itu. Sejak tadi aku memang memuji penampilan Raina tetapi tak sekalipun aku mengungkapkannya. Lagi pula itu bukan suara milikku.
"Kamu cantik," pujian itu lagi-lagi terdengar. Dengan perlahan aku menolehkan kepalaku. Ku dapati Galen tengah menatap lekat ke dalam mataku. Mendadak aku salah tingkah. "Siapa?" tanyaku sedikit penasaran.
Senyum ciri khas seorang Galen terlihat jelas menghiasi wajah tampannya. "Alea Kazera," jawabnya.
Mendadak jantungku berdebar. Entah kenapa pipiku lagi-lagi memerah hanya karena pujian itu. Dengan cepat aku memalingkan wajah agar Galen tak menyadari perubahan pada mukaku. "Bisa aja," balasku padanya.
"Serius, kamu benar-benar cantik. Gaun hijau toska ini terlihat indah saat kamu kenakan. Wajahmu dengan make up yang sederhana menambah kecantikanmu, Alea," terang Galen. Tiba-tiba aku mengingat Badu Admaja. Lelaki lebih menyukai penampilanku yang menyerupai Ana dengan lipstik merah menyala. Tapi Galen, dia puas hanya dengan make simple seperti ini.
"Semua ini menonjolkan sikapmu yang sebenarnya, Alea,"
Galen benar, ini adalah diriku yang sesungguhnya. Tak ada lisptik merah menyala. Ini hanya diriku yang apa adanya. "Terima kasih," ucapku tulus.
Pameran hari itu sungguh bisa memberikan banyak inspirasi. Tak hanya Galen dan Raina yang bisa berjumpa dengan guru mereka. Pun, aku dan Sam mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Master. Senang sekali ketika mendengar nasihatnya agar kami tak berhenti berkarya. Ternyata Galen juga pernah menceritakan tentang diriku pada gurunya itu.
Aku merasa tersanjung ketika ia memuji semangatku yang ingin terus belajar menjadi pelukis yang lukisannya memiliki nilai seni yang tinggi. Bahkan lelaki yang sudah berumur itu tak segan memintaku untuk belajar dengannya. Betapa aku senang Mendengar itu.
"Kamu tahu lukisan apa itu?" pertanyaan Master di terjemahkan oleh Rain karena sang master menggunakan bahasa italia.
"Woman," ucapku dalam bahasa inggris. Aku berharap master mengerti bahwa aku hanya bisa berkomunikasi dengannya dalam bahasa inggris saja. Sehingga Rain tak perlu repot-repot membantuku mengartikan setiap kata yang dia ucap.
Master mengangguk. Ia kembali menggunakan bahasa inggris seperti saat dirinya memberiku pujian. "Iya, dia adalah sosok yang sampai saat ini masih ku rindukan. Aku ingin melupakannya karena takut terluka. Tetapi aku tidak bisa," ternagnya sambil menatap salah satu lukisannya.
"Ketika aku melakukan itu, semua lukisanku tak bernyawa," ungkapannya membuatku terdiam. Kenapa kisah itu persis seperti yang diriku alami. "Kamu tahu kenapa?" tanyanya.
"Itu karena hanya dia satu-satunya yang aku inginkan," jantung berdetak. Kisah itu begitu menyentilku. Tiba-tiba saja pertanyaan Raina tentang apa atau siapa yang paling ku inginkan kembali terulang dalam benakku. Saat itu aku tak mampu menjawabnya.
"Apapun yang kamu inginkan, yang menginspirasimu, tuangkan semua itu sebebas-bebasnya. Jangan ditahan jika kamu ingin berhasil," begitu nasihat sang master pdaku. Meskipun sempat terdiam dan memikirkan semua perkataannya tetapi aku tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih hingga sang master pergi dari hadapan kami.
Aku merasa semakin memiliki alasan untuk bangkit dan terus berkarya. Sekarang aku merasa sudah berani menyebutkan apa yang paling ku inginkan di dunia ini. Aku merasa mampu kembali melukisnya tanpa takut terluka lagi. Tak ada yang salah dari inspirasi asal aku bisa membatasi diri untuk tidak terjatuh pada sesaknya tak memiliki.
Ku pikir aku sanggup menggoreskan kuasku untuknya lagi.
"Apa yang buat kamu tersenyum kayak gitu, Alea?" pertanyaan Galen menyadarkanku dari lamunan tentang hari ini. Kami sedang berada di dalam perjalanan menuju tempat tinggal kami.
Aku menoleh padanya, namun aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku hanya mengedikan bahuku saja sambil tersenyum. Rasanya satu beban tiba-tiba saja terangkat dari pundakku setelah datang ke pameran ini.
***
Di atas kanvas putih yang saat ini sudah dipenuhi beberapa warna terlihat dua orang yang saling berhadapan. Melempar senyum dan bertatapan layaknya dua insan yang sedang di mabuk cinta. Ironisnya ada satu orang lagi yang menatap mereka dengan perasaan sedih tak terkira. Itu pasti aku.
Meskipun merasa puas terhadap apa yang telah aku ciptakan namun aku tak bisa mengahalu senyum pedih ini. Lama aku menatap lukisan itu sampai tidak menyadari Galen sudah berada di sebelahku.
"Indah," suaranya yang mengintrupsiku.
Aku terkejut. "Sejak kapan kamu di sini??" tanyaku.
Galen tersenyum, "sejak tadi." Jawabnya. "Kamu sibuk melamun, Alea." Katanya.
Galen benar. Aku terlalu sibuk melamun.
"Tapi aku punya firasat kalau lukisan ini akan jadi hal terbaik untuk kamu di pameran nanti."
Pameran nanti. Aku mengulang ucapan Galen. Iya, yang Galen maksud adalah pameran lukisan yang akan kami adakan beberapa bulan lagi. Sesuai dengan apa yang pernah lelaki itu katakan padaku dan Raina.
Sudah lebih dari dua minggu yang lalu sejak terakhir kali kami menghadiri pameran sang master. Sejak saat itu pula kuasku menari di atas kanvas tanpa batas. Salah satu karya yang baru saja ku selesaikan beberapa menit yang lalu adalah lukisan yang menampakan tiga orang ini.
"Sayangnya bukan lukisan ini yang mau ku pamerkan nanti." balasku.
Galen menatapku dengan penuh tanda tanya. "Kenapa?" dahinya tampak berkerut.
Aku hanya menggeleng. Lukisan yang satu ini hanya akan menjadi pengingat bagiku bahwa aku sungguh berhasil dengan tekatku untuk perlahan melupakannya. Untuk menyembuhkan perasaanku tanpa harus menghapus semua ingatanku tentangnya. "Aku mau bikin sesuatu yang lebih menarik aja dari ini. Kamu tahu apa makna lukisan ini, kan?" ku berikan pertanyaan untuk Galen.
"Patah hati." jawaban yang tepat. Galen tak pernah salah menilai, matanya terlalu jeli hanya untuk sekedar mengetahui makna tersembunyi dari lukisan ini.
"Tepat sekali. Lukisan ini menggambarkan seseorang yang patah hati." Balasku. "Lihat! Bukan dua orang yang saling berhadapan ini bintang utamanya, tapi seseorang yang sedang menatap mereka dengan pedih." Lanjutku.
Sekali lagi Galen menatapku. "Sekarang aku paham alasanmu menerima tawaranku, Lea. Kamu sedang patah hati dan menyerah." Ucapan Galen menyentakku.
Dia benar. Aku menyerah. "Kamu benar Galen. Aku sedang mengalami itu." Sungguh aku menyunggingkan senyum saat mengatakan itu. Tapi aku menyerah untuk mencintainya, bukan menyerah melanjutkan hidupku dan menemui orang-orang baru yang mungkin saja bisa ku cintai lebih hebat lagi.
"Apa yang harus aku lakukan supaya kamu nggak sedih lagi, hemmm?" tanyanya.
Aku terharu. "Kamu nggak perlu lakuin apa-apa. Cukup kasih aku lukisan terbaikmu di pameran nanti biar kita bisa bersaing. Yah, meskipun nggak mungkin seorang Alea Kazera menyaingi sang master seperti kamu," aku terkekeh. Galen pun sama.
Aku terkejut saat Galen menatapku dengan serius. Dia meraih tanganku. Helaan napasnya terdengar berat. "Lea, kamu tahu kan soal perasaanku selama ini? Itu masih berlaku sampai sekarang."
"Aku tahu ini bukan waktu yang tepat. Tapi aku mau kamu tahu kalau aku masih nunggu kamu. Paham?" jantungku berdetak saat Galen mengatakan itu. Aku ingat dulu Galen pernah memintaku untuk jadi istrinya saja. Dia bahkan tidak memintaku menjadi pacar tapi langsung ingin memperistri diriku. Itu terjadi beberapa tahun yang lalu ketika kami masih belajar bersama. Tetapi tetap saja aku masih mengingatnya dan bertanya-tanya apa yang harus ku lakukan sekarang???
Perhatian dan kerja kerasnya untuk membuatku tersenyum kadang membuatku tergoda untuk menerimanya tapi aku tidak mau menjadikan Galen sebagai pelampiasan. Dia berhak mendapatkan yang terbaik. Aku masih mencintai Badu dan itu belum bisa ditawar. Setidaknya untuk saat ini. Meskipun ku akui perasaanku sudah membaik secara perlahan namun tetap saja tak mudah bagiku untuk mencintai lelaki lain dalam sekejap.
Aku melepas genggamannya karena aku benar-benar masih membutuhkan waktu untuk benar-benar sembuh. "Maaf kita temenan aja kayak sekarang ya Galen. Aku nggak mau jadiin kamu sebagai pelampiasan." balasanku mungkin saja membuatnya kecewa tetapi tidak ada yang bisa ku katakan selain itu.
Ku perhatiakan seluruh wajah Galen. Napasku terdengar lega saat tak kudapati kekecewaan itu di sana. Setidaknya begitulah yang dirinya tunjukan padaku. Galen mengusap kepalaku dan sedikit mengacak rambutku. "Masih ada harapan." katanya sambil terkekeh.
"Berhubung kita akan sering habisin waktu bersama, maka ada kemungkinan kamu bisa jatuh cinta sama aku," jelasnya. Aku tersenyum tulus mendengar itu. Tak ku sangka Galen memiliki hati yang lapang. Dia yang terbaik. Ku tatap matanya tanpa berkedip. Sungguh, tak ada apapun yang keluar dalam mulutku, namun hatiku mendoakan apa yang dirinya katakan.
Setelah itu aku terkekeh. "Bisa jadi." ucapku. Galen dengan semangat mengaminkannya.
Seperti itulah kisah kami dimulai. Mungkin aku akan benar-benar melupakan Badu dan menerima cinta Galen suatu hari nanti. Ku harap Tuhan membukakan pintu hatiku untuk lelaki sebaik ini.
Dan Badu, suatu hari nanti saat kita bertemu lagi, aku sudah bisa dengan percaya diri membawa Galen, mengatakan padamu bahwa aku mencintainya dan berhasil melupakanmu. Ya, semoga saja.
.
.
.
Bersambung...