***
Seharian aku memaksakan diri terutama hati agar tidak menghubungi ataupun memaksa ketemu Badu. Aku berhasil. Pagi-pagi ke kantor, siangnya makan sendirian, dan sore ini ku paksakan kakiku langsung menuju rumah.
"Kamu pulang??" Mama terkejut saat aku sudah menampakan batang hidungku pada jam seperti ini. Tentu saja, mengingat kebiasaanku adalah pulang telat. Kalau tidak merecoki si Badu, aku ke studio rahasia.
"Kenapa sih Ma, kok kayak nggak suka?" kesalku ke Mama.
Wanita yang paling ku cintai itu terkekeh. "Niat banget ya lupain dia?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Udah ah aku mau mandi dulu. Habis itu mau langsung lanjut obrolin masalah kemarin," ucapku. Mama rupanya langsung paham maksudku. Mama mengangguk tapi kemudian dia berkata, "obrolin itu nanti aja, setelah yang satu ini." Aku bingung apa maksud Mama. Aku mengedikan bahu sambil terus berjalan menuju kamarku.
Tapi kemudian betapa aku tercekat melihat dia ada di sana. Aku membalikkan tubuhku, "ngapain dia di sini, Ma?" tanyaku tanpa suara.
Mama mengedikan bahunya. "Mana Mama tau!" jawabnya. Bahuku merosot. Kalau begini ceritanya gagal sudah usahaku seharian ini. Mau tak mau aku pun kembali membalikan tubuhku. Kakiku melangkah mendekatinya. "Badu? Kamu ngapain di sini?" tanyaku dengan keterkejutan yang tak bisa ku tutupi.
Ya, yang baru saja ku lihat di ruang tamu itu adalah Badu Admaja, lelaki yang seharian ini mati-matian ku singkirkan dalam hidupku. Tapi dengan kurang ajarnya sosok itu malah sedang berada di ruang tamu rumahku.
Oke, ini memang tidak aneh, Badu terbiasa berada di rumah ini kalau saja hubungan kami baik-baik saja. Ini menyenangkan kalau saja kemarin orang ini tidak berkata kasar padaku. Tapi situasi sekarang berbeda.
Bagiku, Badu bukan lagi prioritas. Aku benar-benar ingin melupakan semua tentangnya. Kalau bisa secepatnya.
Badu menolehkan kepalanya setelah mendengar pertanyaanku. "Kamu seharian ini kok nggak ada nyari aku?"
Pertanyaan macam apa itu? Aku memutar bola mataku di depan matanya. Bodoh amat kalau dia berpikir kesopananku telah hilang.
"Aku sibuk!" jawabku sekenanya.
Badu berdecak, "Sesibuk apapun itu, kamu nggak pernah absen ngajak aku makan siang, atau setidaknya ngingatin untuk makan siang." Ucap si Badu seenaknya.
Badu dan sikapnya. Badu yang selalu membuatku bingung dan susah move on.
Kadang aku bertanya-tanya kenapa Badu begitu plin plan? Kurang jelas apa lagi, kemarin dia yang memintaku untuk tak ikut campur masalah hubungannya dengan si Ana. Lelaki itu juga yang memintaku menjauh secara tidak langsung karena masih mencintainya. Kini di saat aku berusaha untuk melupakan, dia datang dan mencariku.
"Aku capek banget Badu, mending kamu pulang." Ucapku.
Dia mendesis. "Kamu ngsuir aku?" tanyanya.
Boleh nggak sih aku teriak ke dia dan bilang IYA? Biar tahu rasa. Alih-alih berteriak, diriku cuma bisa mengedikan bahu ke arahnya.
Badu berdecak sekali lagi. "Nggak mau!" ujarnya. Aku mendengkus. "Ma, tolong bilang ke tante Kina, jemput anak bungsunya di rumah kita. Zera mau istirahat." Teriakku.
Di dalam, terdengar suara Mama tergelak, menertawakan tingkahku yang kekanakan. Aku mendelikan mata. Meski terdengar kekanakan, tapi aku serius mengatakannya.
"Tante tolong bilang sama anaknya ini, nggak sopan ngusir sahabat dari orok yang menganggap rumah ini adalah rumahnya juga." Badu ikut berteriak ikut meminta pada mama.
Aku jadi bertanya-tanya kenapa Badu seolah sengaja datang ke sini untuk menggangguku. "Dudu, tolong dong kamu pulang sekarang. Aku capek banget." Aku menghela napas lirih. Bukannya pulang, si Badu malah senyum-senyum sendiri.
"Gitu dong! Dari tadi kek manggil aku Dudu. Kan akunya tahu kalau kamu udah nggak marah lagi," alah manis sekali ucapan si Badu. Lupa kali ya kalau kemarin dia secara tidak langsung mengusirku dari hidupnya? Ingin sekali aku menepuk mulutku sendiri, kenapa mudah sekali mulut ini menyebut nama panggilan sayang itu?
"Terserah! Kamu mau apa ke sini?" tanyaku berusaha acuh padanya.
Badu menatapku dengan intens. Entah kenpa dia melakukan itu.
"Hanya rindu." Jawabnya.
Oh my God! What do you say, Badu Admaja?? I am speechless. Untuk seseorang yang memiliki cinta sebesar ini, ku pikir siapapun akan terdiam mendengar jawaban semanis itu. Sendainya Badu mengatakan itu disertai ketulusan, barangkali dengan cepat aku meraih tubuhnya untuk ku peluk. Sayang, rindunya hanya sebatas di mulut saja.
Badu menarik napasnya dalam sebelum mengeluarkannya secara perlahan. Dia terlihat tidak suka dengan keterdiamanku. "Aku bilang hanya rindu. Puas?" tanyanya sambil mengulang ucapanya sendiri.
Aku masih berusaha mencerna ucapannya itu saat Badu kembali berucap, "kamu sih nggak ada kabar seharian ini. Makanya jangan coba-coba ngilangin kebiasaan yang selama ini kamu lakukan."
"Pokoknya sekarang kamu mandi, habis itu kamu harus ikut aku." Katanya.
"Ke mana sih?" tanyaku yang sudah bisa menguasai diri sendiri.
"Makan malam."
"Tapi... "
"Nggak ada tapi-tapian ya. Kamu harus tanggung jawab karena seharian ini aku nungguin kamu sampai lupa makan."
Ucapan Badu membuat kedua mataku membola. "Oke!" secepat kilat aku meninggalkan Badu untuk ke kamar, bersiap-siap untuk menemani si Badu makan. Tidak masalah gagal move on hari ini asalkan Badu tidak kelaparan.
Aku terkekeh, menertawakan semua kata yang pernah terucap untuk meninggalkan Badu. Alih-alih kesuksesan yang ku dapat, justru aku harus rela kembali pada quotes lamaku.
Cinta itu bisa melihatnya tertawa, bahagia bersama meski tak harus memilikinya karena dia sudah ada yang punya.
Aku tahu, aku segila itu. Badu benar-benar segalanya bagiku. Sudahlah, akan ku turutui inginnya karena dia datang ke sini tanpa terduga.
Setelah siap, aku pamit pada Mama. Sambil senyum-senyum, Mama datang menghampiri kami di ruang tamu. Mama mengedipkan matanya. Aku berdecak. Mamaku selalu saja seperti itu. Diam-diam pasti dirinya sedang mengejekku. "Aku pergi ya, Ma. Assalamu'alaikum," ucapku. Badu juga melakukan hal yang sama. "Wa'alaikumsalam," Mama membalas salam kami.
Detik berganti menit. Aku dan Badu sampai di restoran paforit kami. "Mau makan apa?" tanyaku pada Badu.
"Kayak biasa aja," jawabnya. Maka ku pesan makanan sesuai keinginannya.
Sepanjang mununggu makanan datang tak ada satupun bahan obrolan yang bisa kami berdua obrolkan. Entah kenapa aku merasa canggung. Apa lagi Badu menatapku dengan tatapan entah apa. Aku gagal paham pada sikapnya.
"Terimakasih," ucapku pada pelayan yang sudah menghidangkan makanan. "Ayo makan!" ujarku pada Badu.
Aku makan dengan lahap karena memang diriku belum makan malam. Pun, Badu melakukan hal yang sama. Sepertinya dia tidak berbohong soal dirinya yang belum makan seharian ini. Aku jadi tertegun. Kenapa Badu menunggu kabar dariku? Kenapa Badu terkesan mencariku?
Ah, entahlah. Persetan pada semua itu, bagiku perasaanku untuk Badu sudah cukup. Aku sudah berada di tahap merelakan. Jadi, aku tidak ingin mengejar Badu lagi. Meskipun malam ini aku dan Badu makan malam bersama tapi niatku untuk melupakannya masih ada.
Usai makan malam yang terkesan berbeda itu, Badu mengantar aku pulang. "Besok aku jemput, kita makan siang bersama." Ucapnya setelah mobil berhenti tepat di depan rumahku.
Aku menatapnya, bertanya dalam diam kenapa harus makan siang bersama? Namun sampai mobil Badu menghilang dari pandanganku, pertanyaan itu tidak pernah mendapatkan jawaban. Pun, aku juga tidak mengiyakan permintaan Badu. Tapi aku tahu dia pasti datang untuk menjemputku esok hari. Karena saat mengatakan itu, dia terlihat serius dengan tatapan mata yang tak lagi bisa k*****a.
.
.
Bersambung.