Semilir berembus sejuk malam itu. Gemintang bertaburan pada gelapnya langit di atas sana, akan tetapi di balik kelam itu ada sebuah keindahan yang tersaji. Tatanan galaksi Bima Sakti tampak sangat elok berkedip-kedip tertib seakan menyapa dunia di bawahnya. Segelas Wine terletak rapi di atas meja. Dengan setia menemani, Abizard menikmati hamparan bahari yang tersaji.
Segalanya seakan menjadi penghibur lara hati yang terpahat akan sebuah nama. Manik mata dengan warna cokelat muda, terbuka dengan sayu menatap kosong pada dunia. Kerinduan yang bermuara pada lubuk hati yang paling dalam. Seakan menjadikan sang empunya jiwa mati rasa bertahun-tahun lamanya, nestapa yang tak mampu terucap.
Menjadikan raga itu perlahan rapuh. Segala memori kebersamaan dengan sang kekasih tercinta. Kini hanya menjadi lembaran kisah lampau yang tersimpan rapi, tak terusik. Kepingan-kepingan bayangan, dari masa yang telah usai. Terkadang seakan kembali menghampiri. Sudah sangat lama, Abizard menantikan kembalinya sang cinta pertama. Namun, apalah daya semua tak akan mungkin terjadi! Semua harapnya hanya akan menjadi mimpi penghantar tidur saja.
“Entah sampai kapan, aku harus bersabar menunggumu, Sayang.”
Sesosok wanita cantik. Wanita itu mengenakan gaun hitam dengan bagian depan yang terbuka, sehingga terlihat menggoda. Dengan roman wajah lara ia memperhatikan, Abizard. Dari balik tirai jendela yang berhadapan langsung dengan kolam renang. Di mana Abizard tengah duduk di sana.
“Apa yang membuatmu begitu mencintainya? Tidak bisakah aku menggantikan namanya dalam hatimu?” gumamnya lagi.
Sejurus kemudian, ia berjalan berlenggak-lenggok menuju ke arah kolam renang. Ia semakin mendekati, Abizard yang masih terdiam duduk di sebuah ayunan pinggir kolam. Dari paras wajahnya wanita tersebut sangat 'lah cantik. Dengan tubuh tinggi semampai dan juga rambut hitam berkilau tergerai panjang menutupi bagian punggungnya yang indah.
Dengan anggun, ia duduk di sebelah Abizard. Secara spontan Abizard langsung meliriknya dengan dingin. Sorot mata itu seolah-olah tidak menginginkan kehadiran sang wanita. Meski ia juga tampak menyadari akan hal tersebut, akan tetapi dengan lembut ia tersenyum pada sang suami tercinta. Ia seakan tidak ingin menyerah secepat itu.
Bahkan sebagai seorang istri yang sangat mencintai suaminya. Ia tidak pernah mengeluh sedikit pun, meski sang suami tak pernah menganggap kehadirannya. Sebuah pemandangan yang sudah biasa dalam rumah mereka. Jika, Abizard selalu mengacuhkan dan tak pernah melihatnya ada di sana. Bahkan dengan segala ketabahannya. Sang wanita selalu menerima meski dia belum pernah disentuh sekali pun. Meskipun lima tahun sudah pernikahan mereka berjalan.
“Apa kamu tidak kedinginan? Sejak tadi aku perhatikan, sudah lama duduk di sini, Sayang,” ujarnya dengan nada yang lembut.
Abizard sama sekali tidak menggubris perhatian yang diberikan sang istri. Bahkan, sepertinya dia seakan tidak melihat ada orang di sampingnya. Dengan enteng, Abizard kembali meraih gelas di atas meja. Lalu menenggak minuman itu.
“Abi, bolehkah aku menemani kamu di sini?” tanya wanita itu masih mencoba membuka pembicaraan.
Ia sama sekali tidak mengubah nada bicaranya. Sebagai seorang istri ia tetap santun dalam berbicara kepada sang suami. Kali ini, Abizard langsung menoleh. Sayangnya, manik mata itu menatap dengan tajam. Seolah ada kebencian yang tersimpan di hatinya. Abizard, tidak mengucapkan satu patah kata pun.
“Abi, apa kamu mau ak―” seketika kalimat yang diucapkannya terhenti.
Tak kala, Abizard memotong pembicaraan sang istri dengan nada yang tinggi.
“JANGAN! COBA-COBA KAU DEKATI AKU!”
Wajah cantik yang tadinya bersemangat, seketika berubah layu dan menciut mendengar penolakan dari sang pria tercinta. Sedih, kecewa, terluka, seakan membaur menjadi sebuah perpaduan rasa yang sempurna. Namun, entah apa yang membuatnya tetap berusaha terlihat tegar dan kuat.
Meskipun jelas sekali terlihat di matanya ada kesedihan yang mendalam. Setelah mengucapkan sepotong kalimat yang menyayat tersebut, Abizard langsung bangkit dari tempat duduknya. Dia berjalan menjauh dari sang istri yang terlihat merana berbalut rasa kecewa. Ada amarah yang tersirat dalam sanubari yang sedang memilih untuk diam. Hati dipenuhi dengan gejolak, ingin membenci ia yang telah tega menghancurkan harap.
Namun, apa mungkin atma itu sanggup untuk menghardik sang junjungan. Rasanya hal itu tak mungkin terjadi, tiada daya ia untuk menolak. Serta membunuh cinta yang telah tumbuh dalam harap yang teramat besar. Sehingga dapat mengalahkan segala kebencian terhadap perlakuan sang raja cinta. Bukan hitungan hari saja, ia telah menelan pahitnya diacuhkan. Namun, lima tahun sudah.
“Abi, andai kamu tahu. Aku bahkan sanggup dimadu dengannya, asalkan kamu mau menggangguku sebagai istrimu.”
“Aku hanya ingin kau hargai sebagai seorang istri. Hanya itu, benar-benar hanya itu saja, Abi.”
Seketika linangan air mata yang tadinya tertahan. Kini benar telah tumpah, seakan sudah tak kuasa menahan bendungan yang melampaui batas. Hilang sudah kesabaran yang dimilikinya. Serasa sesak napas menahan beratnya beban yang ia rasakan. Namun kini ia terlihat, memaksa kakinya berlari menjauh dari tempat tersebut.
Seketika ia sudah menerobos pintu kamar. Dan langsung menjatuhkan diri di atas tempat tidur yang terlihat suram. Di sana ia menumpahkan semua dukanya. Menangis tersedu-sedu. Dengan wajah yang terbenam pada bantal empuk yang selalu menjadi saksi bisu kisahnya. Ditambah dengan tiadanya sosok sang suami yang diharapkan.
“Maafkan aku, Ayda. Sampai kapan pun, aku tidak akan mengubah perasaanku.” Abizard berdiri di hadapan sebuah potret pernikahan.
Di dalam sana ia dan sang istri tampak mengenakan pakaian adat pengantin. Wajah cantik istrinya terlihat tersenyum lebar. Sedangkan dia hanya tertunduk sayu. Abizard berjalan mendekat pada sebuah kursi baca yang ada di dalam ruangan penuh buku tersebut, tepat di hadapannya tergantung sebuah potret pernikahan berukuran besar.
Matanya tertuju pada gambar yang ada di sana. Dia mana, Haifa Ayda sang istri tampak tersenyum bahagia dalam pelukannya. Sedangkan, Abizard terlihat jelas sangat membenci di mana momen itu tergambar. Dengan kaki yang dinaikkan pada atas sofa empuk. Ia mengeluarkan seutas kalung yang selalu dikenakannya, dari balik pakaian yang membungkus tubuhnya saat itu.
“Masihkah ia teringat akan benda ini?”
Matanya lekat memandangi kalung dengan liontin sebatang besi yang bertuliskan nama seseorang. Almahyra. Begitulah nama yang terukir jelas pada liontin kalung tersebut, benda yang saat ini digenggamnya erat. Raut wajah yang tadinya datar, kini langsung berubah menjadi sebuah ekspresi rasa rindu yang sudah lama dipendam sendiri olehnya.
Perlahan air matanya mengalir, perlahan ia mencium liontin kalung tersebut dengan berderai air mata. Sunyinya suasana malam, dengan remangnya pencahayaan ruangan. Semakin membuat, Abizard larut dalam kerinduannya pada wanita yang bernama Almahyra.
“Kamu di mana, Alma! Mengapa kamu begitu tega meninggalkan aku dengan semua cinta ini?” ujarnya lirih, “apa kamu tidak pernah merasakan hal yang sama, dengan apa yang tengah kurasakan. Sehingga kamu menghilang bagai ditelan bumi.”
“Andai aku dapat memutar waktu, sedetik pun aku tidak akan pernah meninggalkan kamu.”
“Aku menyesal telah menuruti saran darimu untuk kembali menemui ibuku.”
Abizard terus meratapi semua kesalahannya. Hingga tanpa ia sadari, ia tertidur hingga pagi di dalam ruangan baca. Setelah tersadar di pagi harinya, Abizard dengan perlahan duduk dan menarik nafas dengan berat. Ia tampak memegangi kepala. Kemudian, dengan cepat ia langsung menuju kamarnya untuk bersiap-siap pergi ke kantor.
Sesampainya Abizard di dalam kamar. Ayda tampak lega. Melihat Abizard kembali ke kamar dengan baik-baik saja tanpa hal yang melukai. Dengan perlahan, Ayda mencoba mendekati sang suami. Ia juga selalu bersikap lemah lembut pada, Abizard yang selalu menatapnya dingin.
Sebagai seorang istri yang baik. Tentu saja Haifa bermaksud menyambut Abizard. Wanita itu sama sekali tidak menunjukkan rasa benci, atau hanya sekedar rasa kesal. Kepada pria yang sudah menyakiti perasaannya. Dengan tetap berlaku baik, setidaknya dia sudah menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.
Sering kali, Haifa Ayda harus menahan sakitnya mendapat penolakan dari sang suami. Bagi pasangan lain mungkin menjalani biduk rumah tangga setelah resmi menikah. Akan menjadi sebuah kekuatan tersendiri dalam hubungan mereka. Namun semua itu tidak berlaku untuk Ayda. Di mana dia tidak pernah menerima perlakuan yang menyenangkan dari sosok sang suami.
“Kamu semalam tidur di mana?” tanya Ayda dengan nada terdengar lembut, dan sangat santun.
“Kamu tidak perlu tahu! Bukan urusan kamu juga,” jawab Abizard dingin.
“Aku hanya khawatir dengan kamu, Abi.”
“Khawatir? Aku tidak pernah butuh rasa simpati dari wanita sepertimu! Dan juga keluargamu!”
“Abi, sampai kapan kamu akan terus menghukum aku begini?”
“Sampai aku puas! Dan semua rasa sakit ini terbalaskan!”
Ayda tampak menundukkan pandangannya, ketika Abizard sang suami mengatakan hal yang membuatnya kembali terpaku. Tampaknya Abizard tidak merasa bersalah sedikit pun. Sekali pun sudah melakukan hardikan, bahkan cacian pada istrinya sendiri. Sesaat kemudian, Ayda menengadah dan menatap penuh luka pada sang suami.
“Apa aku tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki segalanya?” tanya Ayda lirih.
Di sela bungkamnya sang suami, ia kembali berkata, “apa aku tidak punya sedikit pun ruang di hatimu? Atau hanya sekedar celah saja, agar aku bisa sedikit berpegangan pada hatimu.”
“Kamu minta ruang di hatiku? Sedangkan dulu, kau bersama keluargamu. Dengan tega memaksaku membumi hanguskan apa yang kausebut hati, saat ini!” seru Abizard dengan wajah merah padam.
Tampaknya, rasa benci yang teramat sangat dalam diri pria dengan rambut ikal itu belum bisa terobati. Kisah lalu di antara keduanya. Akhirnya menciptakan penderitaan tersendiri untuk, Ayda. Meskipun pada akhirnya ia berhasil memiliki raga sang pria pujaan. Namun tidak dengan hati dan kasih sayangnya.
Ayda masih termenung setelah mendengar kalimat yang diucapkan Abizard. Perlahan air matanya mengalir tak terbendung lagi. Dengan terduduk di tepi tempat tidur, Ayda terisak meratapi nasibnya. Setelah kurang lebih lima menit, Ayda meratapi perkataan sang suami yang saat ini sudah membersihkan diri di kamar mandi.
Kini ia bangkit lalu menghapus air matanya. Dengan cekatan ia menyiapkan segala keperluan sang suami tercinta. Setelah semuanya selesai, Ayda bergegas menggunakan kamar mandi di bagian luar kamar mereka. Setelah ia berbenah diri, keduanya kembali bertemu di meja makan.
“Apa boleh aku berangkat bersamamu hari ini, Bi?” tanya Ayda, “kebetulan aku juga ada keperluan di kantor kamu.”
“Untuk apa kamu ke kantorku? Bukannya kamu akan ada pertemuan di luar kota!” sahut Abizard dengan nada datar.
“Ada berkas yang harus aku ambil di sana. Bersamaan dengan itu, aku ingin melihatmu. Sebelum aku melakukan perjalanan besok.”
“Sayangnya, hari ini aku sudah ada jadwal untuk melakukan perjalanan bisnis ke sebuah kota berkembang, di perbatasan.”
“Perbatasan? Apa kamu masih ingin mencari informasi, tentangnya?”