“Mama, kenapa?” tanya Emilia terlihat kebingungan.
“Ah, tidak apa-apa, Sayang. Mama hanya sedang teringat hal yang sangat lucu,” dusta Almahyra.
“Ma, aku ingin bertemu Papa. Andai saja, kita bertemu Papa pada saat liburan nanti.”
Seketika Almahyra terdiam mendengar ucapan sang anak. Tampaknya ia takut. Untuk memberikan janji yang sebenarnya, ia sendiri tidak tahu. Bisa atau tidaknya menepati janji itu sendiri.
Almahyra selalu memiliki rasa yang terletak di hati yang paling tersembunyi. Rasa itu selalu dijaganya. Bahkan, dia tidak sedikit pun membiarkan satu bayangan lain pun untuk menggantikan sosok yang paling berarti baginya. Almahyra hidup dalam penantian dan kesendirian. Dia memilih setia meski ia sendiri pun tak tahu sampai kapan harus ia jalani semua ini.
Beberapa kali ia berhadapan dengan masa sulit yang begitu menyakitkan. Namun, dengan tegar ia melewatinya dan mempertahankan pandangannya. Baginya ia akan tetap hidup meski tak bersama dengan pria. Ia tangguh dalam menghadapi segala aral yang melintang. Bahkan ketika dulu ia tidak mendapatkan tempat meski di rumahnya sendiri. Dengan tabah ia terus mencoba memohon ampunan dari sang ibu.
“Ma ....” panggil Emilia ketika melihat sosok yang selalu mencintainya tengah melamun.
“Ah, ‘iya. Ada apa, Sayang?” sahut Almahyra, seketika tersadar dari angannya yang melayang jauh.
“Apa mungkin Papa akan menemui kita. Di sana?” tanya Emilia menundukkan pandangannya.
Tampaknya ia takut sang ibu akan marah padanya, Almahyra terperanjat sejenak mendengar kalimat yang diucapkan oleh putrinya. Namun, ia tersenyum dan langsung menghampiri sang anak. Ia berlutut di hadapan, Emilia lalu mengangkat wajahnya dengan lembut. Sepasang manik mata nan indah itu saling pandang.
Almahyra memeluk sang putri dengan hangat. Ia memberikannya rasa nyaman terlebih dahulu, sebelum ia menjawab pertanyaan yang sebenarnya ia juga bingung, harus berkata apa pada bocah itu, usianya yang masih terlalu kecil untuk mengerti tentang hubungan orang dewasa yang rumit terlalu memusingkan.
“Nak. Emilia, sayang enggak sama, Papa?” tanya Almahyra dengan melepaskan dekapannya.
“Sayang, Ma. Tapi, Emil rindu ... Emil juga ingin bermain sama, Papa kayak teman-teman yang lain.”
“Nanti, Emil pasti akan main bersama Papa.”
“Yang benar, Ma? Kapan Papa akan kembali?”
“Semoga secepatnya, ya, Sayang.”
“Yang benar, Ma?”
“Iya, Sayang. Tapi, Emil harus sabar dan janji harus tetap menjadi anak yang baik.”
“Iya, Ma. Ini Emil janji akan menjadi anak terbaik sedunia.”
“Bagus! Itu baru anaknya, Mama.”
Begitu jujur kata yang terangkai menjadi sebuah kalimat, dan terlontar dari bidadari kecil. Mampu meluluh lantakkan benteng pertahanan hati, Almahyra. Akibatnya ia yang seolah tak ingin memikirkan hal tersebut, kini malah seakan dipaksa untuk memikirkan hal demikian.
Bukan sekali, dua kali dia berhadapan dengan kondisi ini. Sudah acap kali ia hampir menyerah ketika mendapatkan serangan secara langsung dari sang buah hati. Namun, ia selalu kembali tersadar bahwa akan tiba waktunya nanti untuk ia mengatakan yang sebenarnya.
Saat ini, bukanlah waktu yang tepat. Baginya untuk mengurai semua lara yang selama ini ia bekukan. Bukannya ia tak memikirkan batin sang belahan jiwa yang terus merindu. Sesungguhnya ia juga tidak menginginkan kekasihnya berakhir mengenaskan di tangan orang yang paling kejam. Dan Almahyra sangat mengenal sosok mengerikan itu.
“Emil bosan, Ma. Selalu dikatakan anak haram! Kata mereka, Emil terlahir tanpa Papa dan Emil juga membawa kesialan untuk mereka,” ujar bocahnya dengan nada yang lirih dan mata yang berkaca.
Bagaikan tersambar petir di tengah hari. Almahyra seakan ditampar tepat di wajahnya oleh perkataan sang anak. Mulutnya terkunci. Hanya dekapan rasa bersalah yang mampu ia berikan kepada, sang buah hati yang kini tampak bersedih. Almahyra sudah tak mampu menahan lagi bendungan air matanya.
“Siapa yang berani mengatakan kalimat tidak bermoral seperti itu kepada anak mama. Coba tunjukkan pada Mama orangnya, akan Mama ajari dia dalam berucap,” sahut Almahyra menahan amarah yang terpendam.
“Mereka teman-teman, Emil di sekolah. Dan Emil tidak punya teman. Tidak ada yang mau berteman dengan Emil, Ma,” rengek kan bocah lucu itu adalah kehancuran bagi Almahyra.
“Emil tidak harus mendengarkan semua kata teman-teman, Emil. Dan juga terkadang manusia akan lebih damai ketika ia sendiri. Terkadang, teman itu bukanlah hal yang paling penting. Ketika kamu sudah dewasa anakku.”
“Tapi, mereka semua bisa berteman. Kenapa, tidak denganku?”
“Itu tandanya, Emil memiliki sebuah hal yang tidak mereka miliki. Kamu punya hati yang tulus dan juga kekuatan mental yang baik anakku. Dan itu jarang dimiliki manusia jaman modern.”
“Emilia, pernah terluka ketika sendiri?”
“Tidak, Ma”
“Tapi, Emil selalu disakiti ketika ingin berteman?”
“Iya, Ma.”
“Itu tandanya Emil adalah anak yang sempurna. Mereka membencimu, karena mereka tahu kamu itu sangat indah. Kamu cantik, pintar, kuat, berbakat, cerdas, rajin, sopan, dan yang paling penting kamu hormat pada orang yang lebih tua.”
“Berarti, Emil anak yang spesial, ya, Ma?”
“Tentu saja!”
Emilia langsung memeluk Almahyra dengan tersenyum bangga. Almahyra berhasil membangun rasa percaya diri sang anak. Kini tumpah sudah dengan begitu deras, bagaikan air bah yang akan menghancurkan segala yang menghalangi jalannya. Ketika kesunyian berselimut duka itu kian mencekam. Dari pintu depan terdengar suara ketukkan diiringi lantunan salam dari seorang pria.
Tok! Tok!
“Assalamualaikum,” ucap suara itu, seketika membuat Emilia langsung menghapus air matanya.
“Walaikumsallam, Nak Herman,” sambut sang ibu.
“Apa Emilia ada di rumah, Bu?”
“Ada, silah ‘kan duduk dulu. Biar ibu panggilkan dia.”
“Emil! Sini, Sayang, ini ada siapa yang datang.”
Dengan riang ia berlari meninggalkan sang ibu, yang masih berdiam diri di tempatnya semula. Emilia langsung menghambur dalam dekapan sang pria. Dengan tawa yang tulus. Ia tampak sangat merindukan kedatangan orang tersebut, yang tampak sudah lama tidak berkunjung.
“Paman Herman!!” pekik Emilia dari kamarnya.
“Apa kabar Peri Cantik, Paman?” kata Herman yang langsung menggendongnya.
“Kabar, Emil baik-baik saja, Paman. Akan tetapi dalam Minggu ini kami akan pergi berlibur!”
“Berlibur? Ke mana? Kenapa Paman tidak diajak?”
“Enggak tahu. Tapi akan pergi ke tempat yang indah dan menyenangkan, kata Mama,” sahut Emilia menunjukkan sebenarnya dia masih sangat kecil dan kepolosan.
Akan tetapi, mengapa terkadang ia bersikap terlalu dewasa. Padahal sebenarnya dia selalu identik dengan ciri khas anak-anak. Sang Nenek yang sudah berada di sana hanya tersenyum mendengar pernyataan, cucunya. Tidak lama Almahyra juga keluar dari kamar untuk menghampiri mereka yang sudah duduk di kursi ruang tamu.
Sangat jelas tergambar garis muka bahagia, di wajah Herman. Ketika sang wanita pujaan menemuinya. Almahyra duduk di samping, ibunya yang menyambut pria itu dengan senyuman hangat. Tatapan mata, Herman seakan tidak bisa teralih dari sosok wanita cantik di hadapannya. Emilia yang masih anak-anak pun mampu menyadari kuatnya rasa yang dipendam, Herman untuk bidadari surganya itu.
“Memangnya kalian mau ke mana?” tanya Herman memulai percakapan.
“Pulau Bulan,” sahut Almahyra singkat.
“Ada acara ‘kok enggak mengajak aku?”
“Halah. Untuk apa juga ajak kamu! Yang ada bikin fitnah baru untuk aku.”
“Sadis banget 'sih kamu kalau sudah ngomong.”
“Bodo amat! Mau apa kamu ke sini!”
Melihat Emilia yang saja berpangku pada Herman. Almahyra langsung meminta sang putri turun. Almahyra memang sangat menjaga sang buah hati dari berbagai hal. Almahyra juga tidak memberikan izin pada Emilia untuk terlalu akrab dengan pria yang mendekatinya.
Ia melakukan itu semua agar Emilia tidak terlanjur sayang pada orang itu. Dia tak ingin dicap memberikan harapan palsu pada semua orang. Karena nyatanya dia tak mampu menerima mereka semua. Oleh karena itulah, Almahyra memilih menghindari mereka.
“Siapa saja yang pergi? Apa ini acara dari kantormu?” kembali Herman mencoba mencari informasi.
“Aku hanya sedang beruntung karena mendapatkan tiket secara gratis untuk pergi ke sana bersama mereka berdua,” Almahyra memberikan kode agar, Emilia kembali dalam dekapannya.
“Jadi, kamu dapat gift?”
“Begitulah.”
Almahyra seakan tidak pernah menanggapi apa yang sebenarnya ia tahu. Bahkan sudah beberapa kali, Herman menyatakan perasaannya dan keseriusannya. Namun, dengan tegas Almahyra mengatakan bahwa dia tidak bisa memberikan harapan palsu kepada seseorang yang nantinya tidak akan diterimanya.
Seteguh itulah, Almahyra mempertahankan hati dan cintanya. Sedikit pun ia tak memberikan ruang bagi hati lain walau hanya sekedar singgah. Ia selalu mematahkan semua hati yang ingin berusaha tumbuh dalam sanubarinya. Bahkan, sang ibu suka memintanya untuk melupakan pria yang sudah memberikan penderitaan kejam padanya.
Namun, dengan lembut ia membantah tuduhan sang ibu dengan berkata, “dia tidak pernah memberikan penderitaan padaku, Bu. Akulah yang sudah membawanya pada jurang yang dalam.”
Siapa yang akan mampu meyakinkan hatinya untuk kembali membuka lembaran baru? Hanya waktu saja yang mampu menjawabnya. Bahkan sang ibu yang selalu memintanya untuk membuka hati saja, tidak dihiraukannya. Karena Alamhyra hanya ingin lelakinya kembali padanya.
“Emilia. Bolehkah, Nenek berbicara sebentar kepada Mamamu?” tanya sang nenek kepada Emilia yang duduk dengan manja di atas pangkuan ibunya.
“Boleh, Nek. Kalau begitu aku akan pergi ke kamar sendiri,” ujarnya dengan tersenyum hangat.
Dengan perlahan ia turun dari pangkuan sang ibu. Kemudian dia meninggalkan ruangan tamu. Di mana―dan neneknya masih duduk di kursi yang sama. Sebagai seorang anak balita tentu saja, Emilia tergolong dalam kategori anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Ia akan dengan cepat memahami apa yang sebenarnya terjadi.
“Ada apa, Bu?” tanya Almahyra dengan tatapan mata yang sayu melirik, sang ibu.
“Herman, itu anak yang baik. Bahkan, dia rela melakukan apa pun untuk kamu dan anakmu,” kata sang ibu dengan nada yang lembut, “sampai kapan kamu akan menahan perihnya luka itu sendiri?”
“Ibu, aku tidak pernah merasa terluka. Aku sangat menikmati kehidupanku saat ini,” dengan senyuman hangat Almahyra memeluk ibunya yang tampak khawatir.
“Alma, mau sampai kapan kamu―” kalimat sang ibu terhenti seketika, Almahyra mengangkat wajahnya dan menatap dalam manik mata wanita tua yang ada di sampingnya. Dia melemparkan senyuman hangat penuh rasa kasih.
“Sampai, Tuhan kembalikan ia padaku, Bu.”