Malam ini, Regan mengajak Renata untuk keluar, dia merasa perlu memberitahukan Renata tentang rencananya, karena tak mungkin dia membohongi gadis polos itu.
Renata memakai baju yang dibelikan oleh ibu Regan, baju yang sangat cocok untuk tubuhnya yang mini. Seharian ini dia belajar menggunakan heels dirumah, tentu ibu Regan dengan senang hati mengajarinya, bahkan beliau juga mengajari Renata table manner, cara memegang garpu dan sendok.
Nantinya Renata akan diajari oleh pelatih khusus agar penampilannya kian elegan sebagai istri dari CEO muda yang cukup terkenal.
Mengendarai mobil sportnya, Regan didampingi Renata menelusuri jalanan di malam hari yang masih tampak ramai. Langit sangat cerah malam ini sehingga Renata merasa sangat lega bisa berjalan malam menikmati pemandangan kota di malam hari.
“Kalau kamu yang pergi, nggak dikawal ya, Kak?” tanya Renata karena Regan mengendarai mobil sendiri dan tak tampak pria bersegaram hitam-hitam seperti pengawal sang ibu.
“Kata siapa? Coba kamu lihat mobil di belakang yang berwarna hitam?” tunjuk Regan melalui kaca diatas kepalanya, Renata melihat kaca itu lalu memutuskan menoleh ke belakang, ada satu mobil yang memang tampak mengikutinya.
“Mobil itu? Kenapa?” tanya Renata dengan tak mengalihkan dari mobil yang membuntuti mobil Regan.
“Ya itu pengawal kita, nggak mungkin keluar tanpa pengawalan mereka, hanya saja aku minta mereka untuk jaga jarak, lagi pula aku menguasai bela diri kok,” ujar Regan sambil memfokuskan pandangan ke jalanan.
“Oh gitu, enak ya kemana-mana dikawal, terasa aman.”
“Nanti kamu akan merasakan sendiri rasanya dikawal, seolah tak punya privasi kecuali di kamar tidur,” kekeh Regan. Renata melirik Regan yang tersenyum manis, wajahnya berkali lipat lebih tampan, dan pakaian santai dia di malam ini membuat Renata merasa lebih dekat dengannya.
Saat Regan mengenakan pakaian kerjanya, Renata seolah melihat diri Regan yang lain, yang seolah sangat jauh jarak diantara mereka.
Regan menghentikan mobilnya tepat di depan lobi sebuah restoran mewah, setelahnya petugas Vallet yang memarkirkan mobilnya, bahkan petugas itu membuka kan pintu untuk Regan dan Renata.
Regan menghela Renata masuk ke dalam restoran tersebut, menyebutkan namanya yang telah memesan tempat sebelumnya.
Seorang pelayan wanita mengantarkan mereka menuju tempat yang sudah dipesan Regan, berada di sisi kolam yang dihiasi air mancur di tengahnya. Hiasan pohon yang indah juga lampu yang membuat restoran bergaya klasik itu semakin indah.
Regan memesan menu makan malam untuk mereka berdua, lengkap dengan minuman dan juga dessertnya.
Sesekali berbincang dengan Renata, menanyakan kehidupan Renata sebelum bertemu dengannya. Namun Renata tampak tidak nyaman membahasnya, karena itu dia mengalihkan pembicaraan ke hal lain.
“Kamu bawa ijazah terakhir?”
“Untuk apa?” tanya Renata yang kini menyeruput minumannya, lupa akan table manner yang diajari sang calon ibu mertua, karena dia jelas memajukan kepalanya untuk mendekat ke sedotan dan menyeruput minuman dari sedotan itu tanpa memegang gelasnya sama sekali.
“Katanya mau kuliah?” selidik Regan.
“Oiya, bawa sih, tapi belum tahu mau kuliah dimana?” Renata melepas sedotan itu dan duduk bersandar, menunggu makan malamnya yang belum juga diantar ke meja mereka padahal perutnya sudah terasa lapar.
“Nanti aku cariin kampus yang bagus,” ucap Regan.
“Nggak perlu bagus-bagus, yang penting nyaman untuk cewek dari kampung kayak aku,” ucap Renata.
“Yang sederhana aja kampusnya?”
“Yah seperti itu.”
“Ren,” panggil Regan, memutar sedotan di gelas dan menatap mata Renata yang sudah siap memperhatikan setiap ucapan yang keluar dari mulut Regan.
“Aku mau ngomong sesuatu tapi kamu jangan kaget ya?”
“Iya, ada apa?” tanya Renata sambil memajukan tubuhnya memasang posisi siap sedia, bahkan wajahnya sedikit tegang membuat Regan tertawa.
“Santai aja,” ucap Regan, tersenyum lebar menatap calon istrinya yang berusia sepuluh tahun dibawahnya.
“Oke, ada apa? Jangan buat aku penasaran deh, Kak,” rutuk Renata. Tak berapa lama dua orang pelayan membawakan mereka makan malam sehingga Regan meminta Renata untuk mendengar penuturannya sambil menikmati makan malam.
Renata tampak kesulitan memotong steak yang terhidang di piring itu, hingga Regan yang memang memesan dua menu yang sama, memotong kecil-kecil steik di piringnya dan menukar pirinya dengan piring Renata agar wanita itu lebih mudah memakannya. Renata pun langsung memakan hidangan itu tanpa mengucap terima kasih sama sekali atas perlakuan Regan kepadanya.
“Sebentar lagi kan kita nikah,” ujar Regan menggantung kalimatnya.
“Terus?”
“Ada satu hal yang perlu kamu tahu, aku sudah punya kekasih, kami berpacaran sudah lebih dari dua belas tahun, dan aku juga akan menikahi dia,” ucap Regan sambil menyuap steaknya. Renata tampak membeku, dengan mulut penuh makanan berbahan daging itu hingga Regan mengedikkan dagunya agar Renata menelan makanannya terlebih dahulu.
Dengan susah payah, Renata menelan makananya dan meminum air mineral yang tersaji untuk mendorong daging itu.
“Maksudnya? Kak Regan mau nikah sama siapa jadinya? Apa kita nikah pura-pura gitu?” tanya Renata.
“Nggak lah, kita nikah beneran kok, hanya saja setelah menikahi kamu, aku juga akan menikahi kekasih aku, Safiza namanya.”
“Kak Regan mau poligami?”
“Hmm, begitulah. Tapi kurasa ini yang terbaik untuk kita berdua. Aku tahu kamu juga sebenarnya tidak setuju akan pernikahan ini, karena itu aku rasa kita tak akan mungkin bisa menjalani kewajiban kita sebagai suami istri seutuhnya, terlebih kita tak saling mengenal. Karena itu, aku akan turuti seluruh keinginan kamu, kamu bebas melakukan apa saja, hanya saja status kamu itu istri aku. Aku nggak akan meminta kamu melayani aku sebagai seroang istri terutama untuk hal-hal yang sensitif, tapi mungkin kamu yang akan paling sering aku ajak menghadiri acara resmi.”
Renata mencoba mencerna ucapan Regan, dia memang sejujurnya merasa belum siap untuk menjadi seorang istri seutuhnya, bahkan dia belum pernah berpacaran sebelumnya. Rasa sukanya pada pria hanya sebatas cinta monyet di sekolah dan dia merasa belum ada pria yang membuat jantungnya berdebar sampai kini.
“Apa aku boleh punya pacar?”
“Nggak!” jawab Regan cepat sambil menatap tajam pada Renata.
“Kenapa?” tanya Renata sambil kembali menyuap makanannya.
“Aku nggak mau punya anak hasil kamu sama pria lain!” ujar Regan membuat Renata menyemburkan makanannya, hingga baju Regan terkena makanan dari mulut Renata. Regan hanya mendengus dan membersihkan bajunya dengan lap khusus yang ada di pangkuannya.
“Memangnya kalau pacaran sudah pasti bikin anak?” rungut Renata, dengan wajah cemberutnya tanpa meminta maaf pada Regan yang sedang membersihkan bajunya dari makanan yang disemburkan Renata kepadanya. Dasar anak kecil! Rungut Regan namun tak sampai hati mengucapkan itu, dia perlu mengambil hati Renata untuk memuluskan rencananya.
Meskipun tanpa persetujuan Renata pun dia tetap akan melakukan segala cara untuk menikahi Safiza.
“Ya siapa yang tahu? Namanya sama-sama suka pasti ada rasa ingin melakukan yang aneh-aneh,” ujar Regan. Hilang selera makannya dan memilih meminta pelayan membawakan hidangan penutup untuknya.
“Aku aja belum pernah pacaran, mana ngerti yang sepeti itu?”
“Ya karena kamu belum pernah pacaran, jangan coba-coba pacaran. Kalau hanya berteman tidak apa-apa, lagipula mana ada cowok yang mau pacaran sama istri orang?” decih Regan. Renata hanya mengangkat kedua bahunya acuh.
“Terus kapan aku mau dikenalin ke Safiza?” tanya Renata.
“Kak Safiza! Dia seusia dengan aku,” ucap Regan.
“Oke, kak Safiza,” ujar Renata sambil memutar bola matanya jengah.
“Sebentar lagi dia kesini,” ucap Regan sambil memperhatikan jam mahal yang melingkar di tangannya.
Renata kembali menghabiskan makannya, lalu setelah makanannya habis, dia melanjutkan makan hidangan penutup.
Tak berapa lama, datanglah seorang wanita bertubuh tinggi yang tampak sangat elegant dan cantik, wajahnya terlihat ramah, pakaiannya sederhana dan make up natural yang membuatnya terlihat sangat dewasa. Menghampiri mereka sambil tersenyum ke arah Renata.
Renata yang sedang menikmati puding pun mengangkat wajahnya dan memperhatikan wanita dewasa yang baru masuk itu, Renata dapat melihat mata wanita itu yang memerah seperti habis menangis? Atau mungkin terkena debu? Entahlah Renata tak mau bertanya, karena dia lebih memilih menikmati puding lembut yang sangat enak di mulutnya itu.
“Ren, ini Safiza,” kenal Regan. Renata meletakkan sendoknya dan menyalami Safiza dengan tetap duduk di kursinya.
“Hai, aku Safiza,” ucap Safiza sambil menjabat tangan Renata.
“Renata, oh kakak yang mau jadi istrinya kak Regan juga?” tutur Renata polos, membuat Regan hanya memberikan tatapan permohonan maaf pada Safiza yang seolah tersenyum maklum.
“Duduk sini, kamu sudah makan? Mau dipesankan sesuatu?” tanya Regan, menarik kursi untuk Safiza yang duduk di sampingnya, menghadap Renata yang kembali melanjutkan makan pudingnya.
“Aku sudah makan tadi di kantor,” jawab Safiza.
“Aku pesenin es cream untuk kamu ya,” usul Regan.
“Aku juga mau, Kak,” potong Renata.
“Kamu belum kenyang?” tanya Regan, memandang Renata dengan pandangan aneh, karena wanita itu sudah menghabiskan steak, lalu puding dan kini meminta es krim. Renata hanya menggeleng dan memegang perutnya.
“Masih muat kok, lagipula makanan disini enak-enak,” ujar Renata sambil menjilat bibirnya membuat Regan mendengus.
“Nanti kamu bisa makan disini sepuas kamu, kapanpun kamu mau. Jangan pesan es krim sekarang, nanti pecah perut kamu,” ujar Regan membuat Safiza mengulumkan senyum hangatnya.
“Ish nggak apa-apa, sekarang coba es krim nanti kalau nggak enak kan nggak pesen lagi pas kesini,” mohon Renata dengan pandangan puppy eyes miliknya. Regan hanya menghembuskan napas kasar dan memesan dua es krim.
“Kamu kapan resign?” tanya Regan pada Safiza.
“Aku sudah ajuin surat resign tapi kan tetap nunggu satu bulan dari sekarang, baru boleh benar-benar berhenti.” Safiza menunduk dan memilih melihat tas di pangkuannya sambil memainkan jemarinya, hingga Regan menyentuh jemari Renata dan menggenggamnya sembari tersenyum seolah menguatkan wanita itu.
“Nanti setelah menikah kita tinggal dimana?” tanya Renata, karena dia tiba-tiba merasa seperti obat nyamuk disana.
“Aku sudah ada rumah untuk kita tempati bertiga,” jawab Regan.
“Nanti aku punya kamar sendiri?” pertanyaan konyol yang keluar dari mulut Renata membuat Safiza tersenyum lebar, lucu pikir Safiza.
“Iya lah memangnya kamu mau tidur bertiga sama aku dan Safiza?” ledek Regan membuat Renata bergidik.
“Nggak deh, makasih!” cebiknya.
“Kamu tinggal di lantai dua nanti, ada kamar khusus kamu, dan kamu bisa menata seluruh barang di lantai dua, apapun yang kamu mau akan tersedia nanti,” ucap Regan.
“Asik,” ujar Renata sambil tertawa, membayangkan nanti dirumahnya dia akan membeli banyak buku n****+ dan komik, barang-barang yang dia inginkan. Hingga seorang pelayan membawakan dua gelas es cream dengan hiasan stroberri di atasnya.
Renata pun segera melahap es krim itu, mengabaikan percakapan antara Regan dan Safiza, karena dia lebih tertarik dengan es yang lumer di mulutnya itu. Dia akan meminta Regan membelikannya untuk persediaan dirumah nanti.
***