Bab 6. Sunrise Back

2036 Words
Zack mengembuskan napas dari mulutnya, cukup keras. Ia merasa lega karena sudah beberapa jam setelah peristiwa mengerikan yang biasanya hanya disaksikan di film-film bergenre horor thriller, si pelaku utama yaitu makhluk bersisik mirip kadal tidak terlihat lagi. Sepertinya mereka benar-benar kembali ke pesawat mereka. Itu sangat bagus, lebih baik lagi kalau makhluk-makhluk itu tidak kembali lagi agar mereka tidak ketakutan dan merasa diteror seperti sekarang. Apalagi mendengar apa yang dikatakan Roger beberapa saat tadi, mereka terkurung. Sungguh, ia sangat tidak suka dengan kata itu. Terkurung bukanlah kata yang bagus, malah terdengar sedikit mengerikan di telinganya. Sekali lagi Zack mengintip keluar. Mata birunya melebar. Awalnya hanya melebar biasa, lama-kelamaan melebar dengan sempurna. Zack cepat-cepat menutup mulutnya yang hendak berteriak. Ia khawatir kalau-kalau para kadal itu akan kembali mendengar keributan. Zack membuka mulut, mengatur napas dari sana. Terus mengulangi beberapa detik sebelum menghampiri Jonah yang duduk di sofa dengan mata terkantuk-kantuk. Senapan masih berada di tangan pria paruh baya itu. Jonah masih tetap siaga. Berbeda dengan Russel dan Roger yang memilih untuk tidur. Russel bahkan sudah tidur beberapa jam sebelum Roger. Zack bingung bagaimana kedua orang itu yang bisa dengan mudahnya terlelap, sementara dirinya tidak dapat memejamkan mata sedikit pun. Zack menggeleng pelan melihat kedua pria berbeda usia itu memporak-porandakan tempat tidurnya. "Jonah!" Zack menepuk bahu pria itu pelan. Tak ingin mengejutkan Jonah yang ia yakin sangat mengantuk juga, tapi ditahannya. "Ah, Zack, maafkan aku." Jonah tergagap, mendongak menatap Zack yang berdiri di sampingnya. "Kurasa aku tertidur sambil duduk." Zack tersenyum maklum. "Tidak apa-apa," ucapnya menggeleng. "Aku hanya ingin mengajakmu melihat keluar. Ayo, bangunlah! Lihatlah keluar jendela!" ajaknya penuh semangat. "Ada apa, Zack?" tanya Jonah dengan alis mengernyit, bingung. "Adakah sesuatu yang aneh?" Zack mengangkat bahu. "Entahlah," jawabnya ambigu. "Tapi menurutku ini bukan suatu keanehan melainkan hal yang menggembirakan." Karena penasaran dengan kata-kata Zack yang mengandung misteri, Jonah bangkit perlahan. Sungguh tubuhnya terasa sakit, duduk di sofa lebih dari dua jam bukanlah sesuatu yang disarankan untuk pria berumur sepertinya. Jonah menyusul Zack yang sudah terlebih dahulu berdiri di dekat jendela yang masih tertutup gorden tebal. "Apa hal menggembirakan yang kau katakan tadi, Zack?" tanya Jonah setelah berada di dekat pria muda itu. Zack tersenyum lebar, berpindah tempat ke sisi tubuh Jonah yang lain. Mendorong Jonah untuk maju menggantikan posisinya tadi. Semua itu dilakukannya tanpa suara sedikit pun, mereka seolah berada di silent movie. Kemudian Zack meminta Jonah untuk membuka sedikit gorden, mengintip keadaan di luar sana, masih dengan tanpa bersuara. Jonah melakukan apa yang diminta Zack. Namun, sebelum mengintip ia menatap Zack sekali lagi meminta kepastian. Jonah membuang napas melalui mulut melihat Zack mengangguk. Senyum masih menghiasi wajah tampannya yang tampak berseri. Sekali lagi Jonah membuang napasnya, kali ini dari hidung dan lebih pekan sebelum melakukan yang diminta oleh Zack. Mata tua Jonah yang masih awas terbelalak lebar. Benarkah apa yang dilihatnya ini? Ia tidak salah melihat, bukan? Matanya tidak bermasalah, kan? Benarkah kalau bumi berangsur terlihat terang? Matahari sudah terbit lagi, sinar matahari kembali menyinari bumi. Mereka sudah tidak lagi berada di dalam kegelapan. Jonah yang ingin memekik segera menutup mulutnya begitu melihat isyarat dari Zack. "Jangan berisik!" pinta Zack lirih nyaris berbisik. "Aku khawatir kadal-kadal itu kembali mendengar keributan." Jonah mengangguk paham, perlahan membuka mulutnya dan berteriak tanpa suara. Gorden yang menutupi jendela-jendela di kamar Zack sangat tebal, sedikit sulit sinar matahari menembusnya sehingga mereka tidak akan tahu kalau bumi mereka sudah kembali benderang kalau tidak membuka gorden. Sayangnya hal itu tidak mungkin dilakukan. Ketakutan akan kembalinya kadal-kadal raksasa itu membuat mereka harus selalu waspada. Namun, Zack justru membuka gorden jendela kamarnya yang lain, yang tidak menghadap ke jalan raya. Membukanya lebar-lebar agar sinar matahari pagi dapat masuk. Ia ingin kamarnya mendapatkan penerangan dari sumber panas utama di galaksi. "Tidak apa-apa kau membukanya?" tanya Jonah sedikit khawatir. Pertanyaan itu tidak terlalu keras bahkan lebih menyerupai gumam, tetapi Zack masih dapat mendengarnya. Jangan ragukan indra pendengaran seorang jurnalis, mereka dituntut untuk memiliki pendengaran yang tajam. Mantan jurnalis, ralat Zack dalam hati. Mengingat itu, Zack selalu mengerang kesal. Menyesali dirinya yang pengangguran sampai sekarang. Zack berdecak tanpa suara, kepalanya menggeleng pelan beberapa kali sebelum melangkah menghampiri Jonah. Tangannya terangkat menyibak sedikit gorden jendela depan. Kamarnya juga memerlukan sinar matahari secara langsung. Sudah terlalu lama mereka dalam kegelapan, kuman-kuman pasti sudah banyak bersarang. Zack hanya membukanya sedikit, yang penting sinar matahari dapat masuk. "Tidak apa-apa, Jonah. Aku hanya membuka sedikit, asal sinar matahari pagi ini dapat masuk saja itu sudah cukup," sahut Zack. "Aku ingin menghilangkan kuman-kuman yang terkurung selama satu minggu ini di kamarku," sambungnya. Zack terkekeh setelah berkata seperti itu. Kata kuman sedikit terdengar lucu di telinganya. Apalagi dengan adanya Roger dan Russel di atas tempat tidurnya, dua kuman yang sangat besar. Jonah mengangguk, mengernyit saat melihat dua orang yang masih meringkuk di dalam selimut di atas tempat tidur Zack. "Bagaimana dengan mereka?" tanya Jonah. "Perlukah kita membangunkan mereka berdua? Sepertinya mereka masih saja pulas." Zack tertawa pelan. "Kurasa kita biarkan saja, mereka masih tertekan dengan kejadian tadi malam." Sebenarnya bukan hanya Roger dan Russel saja yang merasa tertekan dan syok, dirinya sendiri juga seperti itu. Hanya saja Zack merasa tidak perlu ditunjukkan, mereka semua sama merasakan. Siapa yang tidak syok melihat rumah-rumah tetangga mereka hancur kemudian kemunculan makhluk-makhluk menyeramkan yang diyakini beberapa orang dari mereka sebagai makhluk dari planet lain alias alien. Sebenarnya Zack tidak ingin memercayainya, tapi ia terpaksa. Makhluk-makhluk itu datang bersama pesawat luar angkasa mereka. Ditambah mereka memakan Clyde! Astaga! Zack tidak menyangka kalau akhirnya ia memercayai tentang adanya kehidupan lain selain kehidupan di bumi. Sungguh sangat miris. Padahal dulu ia merupakan salah seorang yang anti dengan film-film ataupun cerita fiksi ilmiah. Tidak ada yang benar menurutnya. Namun, itu dulu, sekarang ia dipaksa untuk percaya dengan keberadaan mereka. S*alan! Zack masih beberapa kali lagi menyumpah di dalam hati sebelum mengajak Jonah untuk turun ke dapur. Mereka perlu segelas kopi untuk menghangatkan tubuh mereka yang rasanya sudah mulai membeku. "Ayo, kita turun Jonah. Segelas kopi pagi ini kurasa tidak buruk." Zack memberi tekanan pada kata pagi ini, yang membuat Jonah tertawa. Pria itu mengangguk, melangkah mengikuti Zack sambil masih menenteng senapan. Zack pun demikian, membawa serta senapannya. Mereka belum tahu apakah para makhluk itu masih berkeliaran di luar sana atau sudah tidak lagi. Tidak ada yang berani keluar rumah untuk sekedar memastikan, mereka terlalu takut. Perkara kehilangan nyawa adalah hal yang sangat menakutkan, tidak ada seorang pun yang menginginkannya. Semua orang pasti ingin hidup lebih lama. Kalau tidak, tidak akan ada yang namanya makanan sehat dan olahraga. Keadaan dapur lebih terang daripada kamar, gorden di tempat ini tidak terlalu tebal malah cenderung tipis. Sinar matahari yang semakin terang membuat Zack mematikan lampu di dapurnya. Sebelum membuka gorden, Zack mengintip keluar terlebih dahulu. Ia ingin tahu, apakah ada tetangga lain yang juga membuka semua gorden jendela dapur seperti dirinya. Namun, sepertinya tidak ada, kemungkinan besar para tetangganya tidak atau setidaknya belum mengetahui sinar matahari yang sudah kembali lagi. Zack tidak peduli, ia tidak hanya gorden tetapi jendelanya juga sekalian. Sekarang dapur itu terang-benderang oleh sinar matahari. Rasanya hangat. Seandainya tidak ada kadal-kadal itu di luar sana, ia pasti sudah keluar rumah untuk berjemur. Tidak peduli dengan statusnya yang seorang pengangguran, yang penting ia tampan dan sexy. Kedua sudut bibir Zack terangkat tidak kentara, menertawakan dirinya yang masih saja narsis di keadaan genting seperti sekarang. Zack memberikan segelas kopi pada Jonah yang sejak tadi hanya duduk mengamati interior dapurnya. Tidak ada yang spesial di sini, desain dapurnya minimalis. Salah seorang temannya yang bekerja sebagai desain interior memilihkan desain ini untuknya. "Kopimu, Jonah!" ucap Zack sambil meletakkan gelas kopi untuk Jonah di depan pria itu. Zack duduk tepat di depan Jonah, menyesap kopinya sendiri. "Terima kasih, Zack," jawab Jonah. Mulai menyeruput minuman berwarna hitam pekat itu yang masih mengepulkan asap. Ia terbiasa meminum kopinya di saat masih panas. "Kopi buatanmu enak, kau pandai membuatnya," puji Jonah. "Kau hanya terlalu memuji." Zack tertawa kecil. "Efek hidup sendiri membuatku harus terbiasa membuat semuanya seorang diri." "Kau benar!" Jonah mengangguk mengiakan. Ia juga hidup sendiri sejak keluarganya pergi untuk selamanya. Awalnya memang ia kesusahan, lama-kelamaan terbiasa. "Lalu, apakah kita akan tetap mengurung diri di sini atau keluar rumah menikmati sinar matahari?" Pertanyaan Jonah membuat Zack menoleh ke arah sampingnya, di mana pintu dapur berada. Opsi kedua tawaran Jonah terdengar sangat menggiurkan, tapi memiliki resiko yang sangat luar biasa besar. Zack mengerutkan kening berpikir. Ia juga menginginkan berada di luar rumah. Ia ingin berjemur dan mencokelatkan kulitnya yang tampak pucat. Todak apa ia pengangguran, yang penting tetap tampan dan sexy. Namun, semua kesexyan itu akan menghilang kalau ia sudah tidak bernyawa. Zack menggeleng, ia tidak menginginkannya. Ia masih ingin hidup, ia belum menikah. Jangankan menikah, dekat dengan seorang perempuan saja ia tidak. Perempuan tidak menyukai seorang jurnalis, mereka lebih menyukai para pengusaha kaya yang lebih menjamin kehidupan glamor mereka. Zack mengangkat bahu menjawab pertanyaan Jonah. Mereka masih belum mengetahui keamanan di luar sana. Tidak ada yang berani keluar untuk mengeceknya. Bahkan untuk mengetahui apakah pesawat raksasa itu masih berada di wilayah mereka atau tidak juga tidak ada yang berani. Mereka lebih memilih mendekam di dalam rumah daripada harus keluar dan kehilangan nyawa seperti Clyde. Astaga! Mengingat Clyde kembali membuat Zack bergidik ngeri. Sungguh ia ingin muntah, tetapi ditahannya meski perutnya terasa sakit, dan sekarang ia mengingatnya lagi. Tidak ada satu pun yang tertinggal dari tubuh Clyde, semuanya sudah habis dimakan kadal-kadal dari luar angkasa itu. Bahkan tulang Clyde pun mereka makan. Hanya ceceran darah saja yang terlihat masih tersisa jalanan. Ceceran darah itu sebagian ada yang masih basah, sebagian lagi sudah mengering. Seperti di film horor saja. Tidak ada yang berani keluar untuk menyiramnya. "Seandainya tidak ada kadal-kadal raksasa itu, aku pasti memilih opsi kedua," sahut Zack sambil menggeleng. Ia berusaha membuang ingatan tentang Clyde. "Seminggu tidak terkena matahari kulitku semakin pucat. Aku perlu berjemur." Jonah mengangguk, menyetujui perkataan Zack. Pria muda itu benar, mereka perlu berjemur. Bukan hanya kulit Zack saja yang tampak pucat, kulitnya juga. Pucat dan berkerut. "Aku setuju denganmu." Jonah mengangguk lagi sambil meletakkan cangkir kopinya kembali ke atas meja. Ia baru menghabiskannya. "Kita perlu berjemur." "Yeah, tentu saja." Zack tertawa pelan. "Lalu bagaimana sekarang, apakah kau masih tidak percaya dengan kehidupan lain di luar angkasa?" Pertanyaan Jonah menghentikan tawa Zack. Dulu ia memang tidak percaya, bumi yang gelap gulita hanya dianggapnya sebagai fenomena alam saja. Namun, siapa yang siapa menyangka ternyata pesawat-pesawat asing itu yang menghalangi sinar matahari untuk sampai ke bumi. Benar begitu, bukan? Seandainya iya, berarti bangsa kadal itu mempunyai teknologi yang lebih maju dari penduduk bumi. Mereka bisa menahan sinar matahari sementara tidak ada satu pun makhluk yang bisa tahan terhadap sinarnya. Bukan hanya makhluk, tetapi juga benda-benda yang lain. Setiap benda yang mendekati matahari pasti akan terbakar. Apa mungkin kadal-kadal itu berasal dari matahari sehingga mereka bisa menutupi sinarnya tanpa harus terbakar? "Aku terpaksa," sahut Zack lirih. Jujur saja, ia malu. Ia yang tidak percaya dengan makhluk asing harus melihat penampakan mereka secara langsung, di depan matanya sendiri ia melihat mereka keluar dari pesawatnya yang sangat besar. Omong-omong soal pesawat itu, masihkah pesawatnya berada di tempatnya tadi malam mendarat? Adakah yang berani memeriksa? Sepertinya tidak ada, keadaan di luar meski terang benderang seperti kota mati. Jonah tertawa. "Aku tidak menyalahkanmu, Nak. Wajar kalau kau tidak percaya dengan keberadaan mereka. Kalian para anak muda memikirkan semuanya berdasarkan logika dan realita yang tersaji di depan mata. Sementara itu belum ada bukti yang akurat untuk membenarkan keberadaan makhluk-makhluk itu." "Sekarang ada buktinya," sahut Zack, "Kalau pesawat itu masih ada di sana, berarti aku tidak sedang bermimpi." Tawa Jonah kembali menghiasi dapur Zack. Tawa yang tidak keras. Bagaimanapun mereka masih waspada, siapa tahu kadal-kadal itu kembali berkeliaran mencari mangsa. "Apa kau ingin memeriksanya?" tanya Jonah setelah tawanya reda. Zack mengangkat bahu. "Entahlah," sahutnya. "Kurasa aku akan melakukannya, seandainya ada yang menemaniku. Aku tidak mau mengambil resiko mati sendirian." Jonah mengacungkan kedua ibu jarinya pada Zack. "Kau memang pemberani, Anak Muda. Rasa penasaranmu itu bisa membawamu pada sebuah petualangan ...." "Jangan lupa, aku dulu seorang wartawan!" piring Zack tersenyum miris. "Tepatnya sebelum aku dipecat tanpa pesangon." Zack mendengkus kesal. "Aku selalu penasaran pada semua hal, Jonah. Terutama pada pesawat itu." Zack menunjuk arah di mana benda raksasa itu berada. "Kurasa ... aku akan keluar sekarang untuk memeriksanya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD