12. Dijodohin

1745 Words
“Mbak, ayo!” rengek Chica tidak sabar ketika mereka bertiga sudah bergelung cantik di kamar Mia. “Ayo apa?” sahut Mia berlagak tidak paham. “Mulai ceritanya,” jawab Chica. “Iya, Mbak. Kita udah siap dengerin nih,” dukung Tita. “Kalian tuh ya, bener-bener deh.” Mia menggeleng lelah. “Mbak udah janji loh,” tuntut Chica. “Iya cerewet!” omel Mia jengkel. Namun, akhirnya ia bercerita juga. . "Mama? Kok, ada di sini?" Terkejut tetapi senang rasa hati Mia ketika kembali ke apartemen dan menemukan ibunya di sana. Remaja rantau mana yang tidak bahagia saat melihat ibunya yang tinggal berjauhan tiba-tiba datang tanpa diminta? "Pakai nanya! Ini kan apartemen Mama juga!" Mariana yang tengah mengolah sesuatu di pantry berlagak tersinggung dengan reaksi Mia. Mia terkekeh geli kemudian menghambur memeluk ibunya dari belakang. "Maksud Mia, kenapa udah di sini aja? Kan belum jadwalnya Mama dateng. Nggak kasih kabar apa-apa juga." Semenjak tujuh bulan yang lalu, Mia memang hidup berjauhan dengan orang tuanya. Ia menyusul kakaknya untuk bersekolah di Jakarta, sementara ayah ibunya tetap di Ciwidey mengurus peternakan sapi mereka. Biasanya setiap dua minggu sekali, Mariana dan Radian akan datang menjenguk Mia dan Martin. Demi mendapat pendidikan yang baik, Radian dan Mariana rela melepaskan kedua anak mereka yang masih remaja untuk hidup mandiri.  "Mama habis ketemuan sama sahabat lama Mama." "Oh …." Mia mengangguk kecil sambil masih tetap memeluk Mariana. Mariana menepuk tangan Mia yang masih melingkari pinggangnya. "Mama punya kabar spesial buat kamu." Mendengar kata spesial membuat Mia bersemangat. Terbayang sudah hadiah istimewa yang akan diterimanya. Cepat-cepat ia melepaskan tangannya kemudian melompat ke hadapan Mariana.  "Uang bulanan Mia ditambah?" tanya gadis itu penuh harap. "Bukan!" Mariana tergelak. "Hape baru?" tebaknya lagi. "Ck! Bukan!" "Oh! Mobil?!” seru Mia makin bersemangat. Ia mulai mengguncang-guncang bahu ibunya. “Mia udah mau 17 kan bulan depan! Bener mobil, ya?" Mariana melotot sebal. "Ngawur kamu, ah!" "Terus apa, dong?" keluh Mia penasaran. "Ini ada kaitannya sama ulang tahun kamu sih," ujar Mariana dengan senyum misterius. Mia melebarkan matanya. Menanti dengan tidak sabar kata-kata Mariana selanjutnya. "Berhubung kamu sebentar lagi 17 tahun ..., udah waktunya kamu ketemu sama calon kamu." Mariana mengakhiri perkataannya dengan senyum teramat manis, ditambah usapan lembut di pipi Mia. "Calon? Calon apa, Ma?" tanya Mia kebingungan. "Calon apa ya bilangnya ...,” gumam Mariana bingung juga. “Kalau dibilang calon suami masih kejauhan, tapi ya memang nantinya akan jadi suami kamu sih." "HAH?!" jerit Mia histeris yang refleks mundur menjauh. "Mama sehat?" "Ck! Malah nanya sehat apa nggak!" omel Mariana sebal.  "Ya, Mama nggak kira-kira!” protes Mia emosi. “Anak kecil gini disuruh kawin! Nanti Mia ngadu ke komnas anak, lho! 17 taun aja belum, udah mau disuruh kawin." "Denger dulu, denger dulu!” seru Mariana untuk menenangkan kepanikan Mia. “Baru ketemuan dulu, nikahnya masih lama." "Tetep nggak mau, Ma!” Mia menggeleng kuat-kuat. “Mia nggak mau dijodoh-jodohin! Ogah!" "Mia, kok begitu?" Mariana mulai melancarkan jurus rayuan manis andalannya. Tapi kali ini Mia sama sekali tidak tergugah. Ia merasa harus berdiri teguh membela hak asasinya sebagai gadis yang bebas memilih jodoh sendiri. Tunggu! Pacaran saja Mia belum pernah, apa pula ini membahas masalah jodoh. "Mama yang kenapa gitu? Tega-teganya jual anak sendiri," sahut Mia dongkol. "Hush! Bukan dijual!” cepat-cepat Mariana mengoreksi ucapan putrinya. “Kamu jangan sembarangan ambil kesimpulan sendiri, dong!" "Ya, terus?!" cecar Mia tidak mau kalah. “Ini tuh sama aja sama perdagangan manusia, Ma!”  Halah! Padahal tahu apa Mia soal human trafficking? Setiap ada pelajaran Ilmu Sosial saja dengkur halusnya selalu terdengar di kelas. "Kamu tahu Tante Kinanti, kan?” Mariana mencoba menyabarkan diri menghadapi putrinya yang keras kepala. Persis seperti dirinya sendiri. “Mama sama Kinan itu dulu pernah janji, mau menikahkan anak-anak kami. Nah, sekarang kamu udah gede. Jadi udah saatnya perjodohan itu dijalankan." "Ma, pokoknya Mia nggak mau!” teriak Mia kesal. “Sampe kapan juga Mia nggak mau dijodohin, Ma! Amit-amit pokoknya!" "Mia, please dong, Sayang!” bujuk Mariana dengan tatapan memelas. “Mama udah janji sama Kinan. Anaknya Kinan juga nggak keberatan loh sama perjodohan ini." Bukannya luluh dengan tatapan Mariana, Mia malah semakin sengit mendengar kalimat terakhir ibunya."Ya, dia nggak keberatan gara-gara dia emang parah plus nggak laku kali, Ma! Makanya mau-mau aja dijodohin. Mia kan masih laku." "Hush! Mulut kamu ini!" tegur Mariana terkejut. Ia tahu putrinya ini memang ketus tiada dua, tapi terkadang Mariana masih sering dibuat terheran-heran dengan kata-kata Mia yang tajam menusuk. "Mama sih! Bisa-bisanya punya ide yang nggak mutu gitu!" jerit Mia sedongkol-dongkolnya. Sebelum Mariana sempat melontarkan kalimat balasan untuk putrinya, pintu apartemen terbuka dan muncullah Radian bersama Martin. Kedua lelaki itu terheran-heran melihat aura panas di antara ibu dan anak. "Loh, ini kenapa perempuan-perempuan cantik kita malah tengkar? Ada apa?" tanya Radian dengan suara sabarnya yang mampu menenangkan semua orang, tetapi di waktu lain bisa meningkatkan emosi juga. "Iya, ih!” Martin menjengit. “Dek, lo kenapa deh Mama baru dateng udah diajak ribut aja?" Demi menjalankan peran sebagai kakak yang bijak, Martin langsung berlagak menegur Mia. Ia tidak mau dianggap lalai dan gagal mengawasi serta membimbing Mia selama di Jakarta. Kalau sampai Martin dianggap tidak becus, banyak fasilitas kemudahan yang akan dirampas darinya. "Mama, nih! Nggak kira-kira! Masa aku mau dijodohin sama anak temennya!" Nada bicara Mia masih juga belum turun sedikit pun. "Hah?!” seru Martin spontan. “Dijodohin?" "Kan! Kaget, kan?!" sambut Mia puas. Kakaknya yang menyebalkan ini saja terkejut mendengar adik satu-satunya akan dijodohkan. "Mama ngapain mau jodohin Mia?” tanya Martin tidak habis pikir. “Jelek-jelek gini masih lumayan laku kok dia. Mama tenang aja." "MAS!" raung Mia galak. "Martin …," tegur Radian diiringi tatapan teduhnya. Perlahan Radian mendekati sang istri. "Ma, kenapa tiba-tiba punya rencana menjodohkan Mia?" "Bukan tiba-tiba, Pa. Mama udah sering cerita sama Papa," sahut Mariana dengan tingkah sedikit manja, seolah meminta pembelaan dari sang suami. "Oh, ya? Kapan, ya?"  "PAPA!" seru Mariana kesal. Buyar sudah sikap sok manisnya. "Mama kan udah sering cerita! Mama mau jodohin Mia sama anaknya Kinan." "Oh …, Kinan." Radian mengangguk-angguk kecil. "Inget, kan?" desak Mariana. Detik itu juga Mia dan Martin saling bertukar pandang. Mereka yakin sekali kalau Radian tidak ingat apa-apa. Terlihat jelas dari mata ayahnya yang kosong. Perlahan Radian menyeringai. "Kinan yang mana ya?" Tepat seperti tebakan kedua anaknya, Radian tidak ingat! "PAPA!" jerit Mariana keki. "Tuh, kan!” Mia bersorak kesenangan. “Papa aja nggak tau rencana Mama." "PAPA!" jerit Mariana semakin histeris. "Oh, iya! Papa ingat sekarang." Itulah jurus andalan Radian. Mengalah saja dan berpura-pura tahu, berpura-pura paham, atau berpura-pura setuju. "Tapi memangnya rencana itu serius?" "Ya, serius dong!" Melihat ayahnya mulai condong membela ibunya, Mia kembali menebar racun. "Pa, Mia nggak mau." "Tenang dulu.” Radian tersenyum sabar. “Papa juga tidak rela putri Papa diambil cepat-cepat." "Pa! Mama juga nggak suruh Mia nikah sekarang!” protes Mariana. “Baru ketemuan dulu aja. Kenalan dulu, penjajakan dulu." "Oh, baru ketemu dulu!” sahut Radian seolah merasa sangat lega. Padahal sejujurnya ia masih kebingungan dengan duduk persoalan yang tengah terjadi. “Tidak masalah kalau begitu. Ikuti saja, Mia." "PAPA!” Kini giliran Mia yang menjerit tidak terima. Hilanglah pembelanya. Lenyaplah harapannya. "Kamu kan belum tahu seperti apa orangnya. Namanya aja kamu belum tahu, udah langsung nolak," gerutu Mariana. Ia berusaha menyudutkan putrinya agar Radian tidak mengganti arah dukungan. Melihat tidak ada peluang mendapatkan pembelaan, Mia terpaksa menggunakan jurus andalan. Ia mengentakkan kaki kuat-kuat lalu berteriak marah. "Mia nggak mau tau, nggak mau liat, nggak mau denger!" Setelah itu Mia berlari menuju kamar dan membanting pintu kuat-kuat. Gadis itu terus mengurung diri di kamarnya dan melancarkan aksi mogok makan. *** Sudah dua hari berlalu sejak terjadinya pertengkaran di antara Mia dan ibunya, namun sampai saat ini belum terlihat tanda-tanda jika keduanya akan berbaikan. Martin yang cukup sayang pada adiknya, prihatin juga melihat Mia merajuk sampai mogok makan selama dua hari. Gadis itu hanya bersedia meminum s**u yang Radian buatkan, selebihnya Mia menolak. Apalagi masakan spesial buatan Mariana. Meski begitu menggugah selera, Mia tetap teguh. Martin duduk di tempat tidur Mia dan menjawil pipi adiknya. "Dek, lo masih mogok makan?" Mia yang sedang berbaring miring membelakangi Martin, menoleh ke belakang sambil mendelik tajam. "Lo nggak laper? Mau gue seludupin makanan nggak?" bisik Martin. "Nggak usah!" tolak Mia ketus. Martin meringis melihat betapa galak adiknya ini. "Lo masih ngambek sama Mama?" Mia mendengkus sinis, sesinis tatapan matanya. "Kira-kira?" "Masih," jawab Martin cepat dan yakin. "Udah tau ngapain nanya!" sentak Mia. "Galaknya, Dek!" keluh Martin sambil memegangi dadanya, berpura-pura terkejut dan sedih. Tapi sesaat kemudian, wajah jailnya kembali muncul. "Kalo lo gini terus, mungkin bener ide Mama buat jodohin lo. Gue takut lo nggak bakal laku, Dek. Galak lo parah." "MAS! Diem, deh!" jerit Mia. Tiba-tiba saja sikap Martin berubah serius. Ia meletakkan tangannya di kepala Mia kemudian menepuknya lembut. "Dek, gue juga nggak setuju lo dijodohin, tapi jangan musuhin Mama juga. Kasian Mama, besok mau pulang tapi lo masih gini. Nanti kepikiran terus di rumah." "Terus gue mesti gimana dong, Mas?" tanya Mia sedih. Mendengar ibunya akan kembali ke Ciwidey, sejujurnya Mia sedih. Akibat pertengkaran mereka, Mia tidak sempat bermanja-manja dengan Mariana kali ini. "Lo diem-diem aja. Nggak usah protes, tapi nggak usah lo iyain juga. Pelan-pelan kita cari cara supaya Mama berubah pikiran," ujar Martin dengan wajah yang masih serius. "Lo serius, Mas?” tanya Mia penuh curiga. “Lo bukan lagi ngibulin gue, kan?" "Lo curigaan banget sih sama gue?" balas Martin sebal. "Lo sih kebanyakan ngerjain gue! Kan gue jadi nggak percayaan sama lo." "Tenang aja. Kali ini gue serius. Kalo perlu, gue bakal datengin tuh calon lo," ujar Martin dengan lagak kakak sejati yang akan berjuang demi adiknya. "Buat apa?" Martin menjengit kemudian menjawab datar. "Buat suruh dia cepet kawinin lo." "MAS!" jerit Mia tiba-tiba. "Lagian lo nanyanya pinter banget. Jelas buat nyuruh dia mundurlah!" Martin mengacak gemas rambut Mia yang memang sudah berantakan. Mia langsung duduk kemudian menatap Martin dengan mata berbinar-binar. "Beneran, Mas?" "Iya!"  "Makasih ya, Mas!" Mia menerjang Martin dan memeluk kakaknya kuat-kuat. Martin tersenyum geli kemudian menepuk kepala Mia. "Kadang-kadang lo bisa manis juga, Dek." Setelah memeluk Martin beberapa detik, Mia segera melepaskan diri karena teringat sesuatu. "Tapi emang lo berani, Mas?" "Nggak tau juga sih,” jawab Martin jujur. “Tergantung orangnya kayak gimana." Kalau lawannya langsing seperti Aming, jelas Martin tidak takut. Tapi kalau lawannya kekar macam Agung Hercules, Martin gentar juga. "Kalo gitu kita mesti cari tau dulu orangnya modelan gimana." "Gampang! Serahin sama gue."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD