8. Gebetan Penurun Demam

1303 Words
Jauh setelah acara berbalas pesan itu berakhir, senyum masih membayang di wajah Mia. Perlahan, kombinasi antara hati yang berbunga dengan pengaruh obat demam juga flu mengantarkan Mia ke alam mimpi, hingga suara bel membangunkannya. Awalnya Mia malas menanggapi, pikirnya Martin pasti bisa masuk sendiri. Namun, akhirnya Mia sadar. Tidak mungkin Martin yang membunyikan bel apartemen mereka. Meski lemas, Mia memaksa dirinya bangun untuk melihat siapa yang datang. Dari lubang kecil di pintu ia bisa melihat sosok Riri dan Hani, teman dekatnya sejak pertama tiba di Jakarta. Tanpa ragu, Mia membukakan pintu. "Kalian ngapain ke sini?" Hani nyengir. "Kita boleh masuk?" Mia mengangguk kecil. "Boleh." "Yuk, balik ke kamar! Orang sakit harus banyak istirahat!" Riri merangkul Mia sambil membawanya kembali ke kamar setengah memaksa.  "Lo pucet banget," ujar Hani prihatin. "Lo sakit apa, sih?" tanya Riri khawatir. "Cuma demam sama flu," jawab Mia pelan. "Kalian kok tiba-tiba ke sini, sih?" "Diajak Kak Arcel," celetuk Hani polos. "Hah?" sontak Mia melongo. Bisa-bisanya sang kakak kelas menjenguknya sambil memboyong kedua teman dekat Mia di kelas. "Sst!" Riri mendelik galak pada Hani. Mia melihatnya dan merasa curiga. "Lio yang ajak kalian ke sini?" Jangan heran mengapa kedua teman Mia memanggil Kak Arcel sementara gadis itu hanya Lio saja. Alasannya tentu klasik, karena Mia istimewa untuk Lio. Kedua temannya saling berpandangan. Akhirnya, Riri mengembuskan napas dan menjawab jujur. "Iya. Katanya lo sendirian, dia khawatir." "Terus Lio mana?" "Enggak tau ke mana dulu. Nanti bakal nyusul katanya." "Lo enak banget ya tinggal sendirian gini," celetuk Hani antara kagum dan iri. "Enggak sendiri kali, kan ada kakaknya," koreksi Riri. "Ya, maksud gue enggak ada ortu gitu. Bebas." Hani terkekeh. "Enak enggak, sih?" "Ada enak ada enggaknya," jawab Mia jujur. Belum sempat Mia menjelaskan plus minusnya, bel apartemen Mia kembali berbunyi. "Eh, itu kayaknya Kak Arcel!" seru Riri yang langsung sigap berdiri. "Biar gue yang bukain. Lo diem-diem aja di sini!" Riri segera melesat keluar dan kembali membawa Lio. Cowok itu tersenyum canggung di ambang pintu kamar Mia. "Hai!" "Hai …!" balas Mia sama canggungnya. "Sini masuk!" "Enggak keberatan kan kita temenin di sini?" tanya Lio sopan. "Malah makasih. Cuma enggak enak aja ngerepotin." "Buat gebetan mana ada kata repot," celetuk Hani yang langsung dihadiahi pelototan Riri lagi. Keempatnya membicarakan beberapa hal, lebih tepatnya ketiga cewek itu mengobrol sementara Lio mendengarkan saja. Menjelang sore, Lio meminta izin. "Aku pinjem dapur kamu, boleh?" "Mau ngapain?" tanya Mia heran. "Masak." "Buat apa?" "Buat kamu makan." "Kita?" tanya Hani. "Nanti dimasakin juga." "Baiknya!" ujar Hani senang. Lio hanya tersenyum menanggapi ocehan Hani. "Aku ke dapur dulu." "Mau aku bantu?" Mia segera menawarkan bantuan sebagai tuan rumah yang tahu diri. Lio langsung menolak. "Kamu istirahat aja." Setelah Lio keluar dari kamar, Hani mencibir. "Emang lo ngerti urusan dapur?" "Enggak." Mia menjawab apa adanya. "Emang Lio bisa masak?" Riri tersenyum geli. "Lo enggak tau Kak Arcel dulu pernah ikutan acara lomba masak anak-anak yang di tivi itu?" Mia terbelalak. "Mini Chef?" "Iya." "Dia pernah ikutan?" Mia masih tidak percaya. "Iya. Pas umur sebelas apa dua belas gitu." "Menang?" "Masuk tiga besar tapi enggak menang." Riri banyak tahu tentang Lio karena meski mereka berbeda dua angkatan, tetapi selalu satu sekolah sejak SD. Obrolan ketiganya terus berlanjut hingga Lio muncul kembali dengan membawa nampan berisi makanan. "Masakannya udah jadi, kalian makan gih, nanti keburu dingin enggak enak." Hani langsung berdiri dan mendekati Lio, mengintip isi mangkuk di nampan. "Kak Arcel bikin apa?" "Cuma sup krim ayam jamur sama garlic bread." "Kayaknya enak!" Hani bertepuk tangan senang lalu segera memanggil Riri. "Ayo, Ri! Biarin mereka pacaran berdua." Mia tertunduk malu mendengar ejekan Hani, untung ia sedang demam dan wajahnya memang sudah merah sejak tadi. "Kamu makan juga, ya?" bujuk Lio sambil perlahan menarik kursi dan duduk dekat Mia. "Kamu ngapain repot-repot masak?" "Kan kamu selalu bilang enggak selera makan. Padahal kalo lagi sakit ya harus makan yang banyak biar badannya kuat lawan penyakit." Mia kembali tersipu. Inilah yang membuat Mia terpikat pada Lio. Cowok ini sopan, perhatian, tidak sok keren dan berlagak dingin pada semua cewek, tapi juga tidak asal mengumbar kebaikan hatinya. "Aku suapin mau?"  "Enggak usah. Aku sendiri aja." Mia cepat-cepat menggeleng dan mengambil mangkuk dari tangan Lio. "Makasih ya." Lio memandangi Mia saat gadis itu makan perlahan, lalu tiba-tiba saja terdengar suara lembutnya. "Cepet sembuh, ya!"  "Hm?" "Sekolah kerasa beda tanpa kamu." "Uhuk!" Langsunglah Mia tersedak. "Pelan-pelan makannya, masih panas," ujar Lio mengingatkan. Sama sekali tidak sadar kalau dialah yang membuat Mia tersedak. "Terakhir cek suhu kapan?" "Kayaknya tiga jam yang lalu." "Berapa?" "39.1" "Coba cek lagi, ya!" Lio mengambil termometer lalu menyerahkannya pada Mia.  Ketika melihat angka di termometer, Mia terlihat takjub. "Wah!" "Kenapa?" tanya Lio penasaran. "38.2, turun." Sehebat inikah efek ditengok oleh gebetan? Jauh lebih manjur dari kerja Parapanakol. Lio mengambil termometer dari tangan Mia dan menyimpannya kembali. "Abis ini tidur lagi, biar panasnya makin turun." "Ada kalian masa aku tidur." "Aku ajak mereka ke sini buat jagain kamu, karena kamu sendirian. Bukan mau main di sini." "Kamu mau sampe jam berapa di sini?" "Sampe kakak kamu pulang." "Kamu enggak takut?" "Takut apa?" "Ketemu kakak aku." Lio menggeleng tenang. "Aku kan enggak aneh-aneh, ngapain takut?" "Udah, sekarang abisin makannya, abis itu tidur! Aku tungguin di sini." Sore itu, Mia benar-benar merasakan nikmatnya perhatian seorang gebetan. Manis manja bikin jantung cekot-cekot. Ia sampai lupa kalau Riri dan Hani masih ada di luar. Ia sampai lupa kalau kakaknya bisa pulang kapan saja. Mia hanya terfokus pada Lio.  Malam harinya Martin kembali ke apartemen dengan perasaan bingung. Begitu masuk, ada suara televisi menyala dan cekikikan gadis yang ia kenali bukan milik Mia. Benar saja, di sofa duduklah dua gadis berpakaian seragam yang wajahnya terlihat asing. "Kalian teman-teman Mia?" "Iya. Kakaknya Mia ya?" balas Riri canggung. "Iya, saya Martin." Martin mendekat dan mengulurkan tangan pada mereka. "Riri."  "Hani." "Mia tidur?" tanya Martin. "Iya, Kak." Riri mengangguk cepat. Seketika ia dilanda kepanikan. "Kalian enggak pulang?" "Tungguin kakak pulang dulu." "Baik banget kalian." Martin tersenyum senang. Tidak sangka adiknya punya teman baik juga mengingat betapa judesnya gadis itu. "Mia ngerepotin?" "Enggak, Kak. Kita malah enggak ngapa-ngapain dari tadi," sahut Hani. "Udah pada makan?" "Udah. Kakak kalo mau makan masih ada juga." Riri menunjuk ke arah dapur. Kening Martin berkerut. "Kalian masak?" "Bukan kita berdua, Kak," jawab Hani cepat. "Terus? Enggak mungkin Mia pastinya." Riri berusaha mencegah Hani menjawab, tapi terlambat. "Kak Arcel, Kak." "Arcel?" Martin memicing curiga. "Kakak kelas kita yang lagi deket sama Mia," jawab Riri gugup. Ia khawatir Martin akan marah pada Lio. Mia pernah cerita betapa posesif kakaknya kalau menyangkut urusan laki-laki yang dekat dengan sang adik. "Cowok?" tanya Martin. Riri dan Hani saling berpandangan ketika menangkap aura menyeramkan yang keluar dari diri Martin. "Arcel itu cowok?" ulang Martin. Keduanya perlahan mengangguk. "Di mana dia?" Hani menunjuk takut-takut. "Di kamar Mia." Mendengar ada cowok tidur di kamar adiknya, Martin langsung berderap ke sana. Terbayang sudah di kepala Martin adegan-adegan tak patut yang membuatnya panik. Apalagi mengingat Mia yang sedang putus asa mencari jalan keluar dari si Broto. Bukan tidak mungkin adiknya ini jadi nekat, bukan? Riri bergegas mengekor di belakang Martin, berusaha menghentikan pemuda itu. "Kak, mereka lagi tidur." "HAH?" Mendengar kata 'mereka lagi tidur', Martin makin hilang akal. Sudah dibilang, menjaga Mia itu merepotkan!  Martin bergegas membuka pintu kamar Mia dengan kasar dan menemukan adiknya tengah terlelap di tempat tidur, sementara ada seorang cowok yang tertidur juga dengan posisi terduduk di lantai dan kepala menelungkup di kaki tempat tidur Mia. Sama sekali tidak ada kontak fisik di antara keduanya.  Seketika Martin mengembuskan napas lega. "Bikin kaget aja! Kirain tidur, taunya tidur." . Sampai hari ini, Mia tidak pernah melupakan momen itu. Bagaimana manisnya perhatian Lio saat ia sakit dulu, selalu terkenang dalam benak Mia. Bahkan, setiap kali mengingatnya, d**a Mia masih berdebar. Sayangnya, ia terlalu gengsi untuk mengakui. Apalagi kalau ingat bagaimana Lio telah mengecewakannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD